Imlek Bersama: Menolak Politik Diskriminasi

Zackir L Makmur
Pemerhati masalah sosial budaya, menulis beberapa buku fiksi dan non fiksi, dan bergiat di IKAL Strategic Center (ISC).
Konten dari Pengguna
22 Januari 2023 20:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zackir L Makmur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perayaan Imlek. (Foto. Donny Haryadi/unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Perayaan Imlek. (Foto. Donny Haryadi/unsplash)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Warga masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa, pada 22 Januari merayakan Hari Raya Imlek. Saya ucapkan Selamat Hari Raya Imlek bagi yang merakayakan.
ADVERTISEMENT
Perayaan Imlek, sebagaimana dikutip dari laman China Highlights, sebenarnya sudah muncul pada 3.500 tahun yang lalu yakni masa Dinasti Shang pada 1600-1046 SM. Awalnya, orang-orang mulai mengadakan upacara pengorbanan untuk menghormati dewa dan leluhur pada awal atau akhir setiap tahun.
Sedangkan perayaan Imlek di Indonesia, acuan yang bisa dipakai untuk identifikasinya adalah pada era bangsa Tionghoa memasuki Nusantara, yakni abad ke-4. Hal ini berkat penemuan benda arkeologi.
Malah lebih jauh lagi yang ditelisik buku "Tionghoa dalam Pusaran Politik" karya sejarawan Benny G Setiono, acuannya adalah penemuan benda kuno yang memperlihatkan awal masuknya bangsa China antara lain tembikar di Jawa Barat, Lampung, dan Kalimantan Barat; juga kapak batu dari zaman Neolitikum.
ADVERTISEMENT
Paling tidak bahwa abad ke-4 kedatangan Tionghoa ke Indonesia ini bisa menandai adanya perayaan Imlek di Indonesia, maka ini sudah mendalam akar tradisinya. Barulah setelah Indonesia menjadi bangsa modern, pada tahun 1946 ditetapkan hari-hari raya umat beragama. Presiden Soekarno menetapkan Penetapan Pemerintah No.2/OEM-1946.
Di pasal 4 peraturan itu, ditetapkan 4 hari raya orang Tionghoa. Keempatnya yaitu Tahun Baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu pada tanggal 18 bulan 2 Imlek, Ceng Beng, dan hari lahirnya Khonghucu pada tanggal 27 bulan 2 Imlek. Lewat peraturan tersebut, Hari Raya Tahun Baru Imlek Kongzili ditetapkan sebagai hari raya Agama Tionghoa.
Dalam hubungan ini, sepertinya takdir datang begitu indah karena perayaan Imlek sebagai hari libur nasional diterapkan pada era Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002. Presiden Megawati Soekarnoputri adalah putri presiden yang mengeluarkan Penetapan Pemerintah No.2/OEM-1946.
ADVERTISEMENT
Meski begitu tidak bisa dinafikan begitu saja era Presiden RI keempat KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres No.14/1967 pada 17 Januari 2000. Pencabutan aturan ini menjadikan masyarakat Tionghoa mendapatkan kebebasan lagi untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat-istiadatnya.

Momentum Imlek

Pertunjukan barongsai untuk merayakan Tahun Baru Imlek diadakan di Taman Mini Indonesia Indah, di Jakarta. (Foto. Donny Haryadi/unsplash)
Imlek juga punya kedalaman filosofis transendensi untuk “kebersihan” laku, hati, dan pikiran. Setelah sembahyang Toa Pek Kong, berdoa sambil memusatkan pikiran, kemudian setelah ini digelar upacara pembersihan atau pencucian patung dewa atau rupang. Semua ruangan tempat ibadah hingga patung-patung dibersihkan dan ditata kembali sesuai tempatnya masing-masing.
“Kebersihan” ini melambangkan tidak sekadar bersih ragawi, melainkan bersih rohani: kebersihan hati dan pikiran, bersih dari semua perbuatan dan pikiran buruk. Sehingga, selain menjaga lingkungan, maka hati dan pikiran harus lebih dulu bersih, maka saat Imlek semua catatan bersih.
ADVERTISEMENT
Dengan nilai-nilai filosofis transendensi ini, manakala Imlek jatuh dalam tahun politik ini, menjadi relevan untuk kita transformasikan menjadi nilai-nilai “kebersihan” politik, agar tidak muncul politik buruk yang bernama: politik diskriminasi. Bukan apa-apa politik diskriminasi mulai berbiak dalam konstelasi politik jelang Pemilu 2024.
Politik diskriminasi tatkala dimainkan sangat berbahaya buat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena politik ini punya konsep pemikiran merepresentasikan kebencian, menyudutkan kelompok minoritas karena perbedaan suku, ras, agama, jenis kelamin, juga status sosial.
Untuk itu harus dilakukan deteksi dini terhadap sebab munculnya politik diskriminasi dimainkan pada tahun politik, antara lain karena untuk menang meraih kekuasaan politik dan menguatkan sinisme pada eksistensi minoritas.
Deteksi dini ini pula bagian menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Dalam undang-undang ini jelas diatur ancaman pidana bagi orang yang bersikap diskriminatif.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain ada kalanya sejumlah elite-elite politik dan kalangan intelektual tidak berani berterus terang terhadap premis itu, sehingga melawan politik diskriminasi terkesan tanggung. Dalam hal ini baik juga diingat nasihat dari Nelson Mandela (1918-2013) yang menjalani hukuman 25 tahun menentang diskriminasi.
Panutan warga dunia anti diskriminasi dari Afrikan Selatan ini, berkata: "Saya benci diskriminasi dan segala manifestonya. Saya bertarung sepanjang hidup saya, saya bertarung sekarang dan sampai akhir hayat saya."

Berbasa-basi Demokrasi

Memahami Indonesia terdiri dari berbagai etnis, sesungguhnya ini menjadi identifikasi dasar kekuatan sebuah bangsa besar. Oleh karenanya toleransi harus terus menerus kita rayakan, sambil kita gencet munculnya potensi nilai-nilai diskriminatif.
Apa yang menjadi pemikiran dari sebuah pemahaman tersebut, tentulah harus pula disosialisasikan, ditradisikan, dan diawetkan sebagai sebab-sebab terjadinya Indonesia menjadi bangsa yang besar dan kuat.
ADVERTISEMENT
Bersama ini harus pula kita yakini bahwa sikap dan pemikiran yang begitu tanggung menolak politik diskriminasi, boleh jadi kesalahan kita membangun demokrasi yang hanya memancangkan tonggak-tonggak kepentingan politik superioritas sebagai mayoritas. Oleh karena itu minoritas cukup dijadikan kelas penghias demokrasi.
Tragisnya, hiasan ini sebagaimana nasib objek hiasan: mudah dipasang dan gampang dirobek. Dari sejumlah hiasan yang bernasib demikian, bernama etnis Tionghoa. Padahal dalam elemen kebangsaan Indonesia, etnis Arab, etnis India, dan etnis Eropa, juga minoritas.
Berhentilah berbasa-basi demokrasi dengan memposisikan minoritas etnis sebagai hiasan. Ketika ada goncangan politik yang cukup keras, hiasan itu dirobek dengan diktum menyalahkan eksistensi minoritas: cara mencari pembenaran atas kegagalan berdemokrasi dan suksesi. Maka dengan berhenti basa-basi demokrasi ini sekaligus menolak politik diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Jimmy Carter, Negarawan dari Amerika Serikat, pernah berujar begini.
Perkataannya itu selalu dirawat oleh pemimpin-pemimpin berikutnya. Dan ini menjadi relevan pula untuk kita implementasi terhadap penolakan politik diskriminasi. Ya, kita benci diskriminasi. Dalam momentum Imlek, bersama kita menolak politik diskriminasi.
Momen-momen istimewa seperti Idul Fitri, Natal, Galungan, Waisak, bahkan Imlek, adalah kado spesial yang dianugerahi Ilahi untuk bangsa Indonesia agar menjadi contoh bangsa-bangsa di dunia betapa hidup ini harus penuh toleransi. Mohon jangan dirusak contoh itu hanya demi ambisi politik dengan memakai politik diskriminasi.