Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ketika Cinta dan Politik Tak Saling Menyapa
8 Maret 2023 20:36 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Zackir L Makmur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Penyair sufi Jalaluddin Rumi (1207-1273) begitu indah berpesan: "Cinta mengubah kekasaran menjadi kelembutan". Maka setitik cinta di kepala lalu merembes ke hati, sejak saat itu manusia punya semangat profetik yang mendamaikan hati dan sekelilingnya.
ADVERTISEMENT
Relevansi hal itu sangat menarik ketika ditarik dalam konteks politik dewasa yang semakin mendengus dan bergemuruh. Terlebih Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima) yang dilayangkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 8 Desember 2022, dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, untuk menunda Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 –keadaan dunia politik pun semakin bergemuruh.
Bukan pada tempat tempatnya di sini membahas apakah putusan PN Jakarta Pusat itu bisa digugurkan lewat banding, ataukah putusan itu belum berkekuatan tetap.
Hal yang terpenting di sini untuk disoroti adalah dunia politik selalu bergemuruh –baik ada putusan PN Jakarta Pusat itu, atau pun tidak. Gemuruh dunia politik semakin menderu-deru sewaktu dekat masa pemilihan umum.
ADVERTISEMENT
Gemuruh Politik
Kisah gemuruh dunia politik ini adalah realitas tanpa mukjizat, tapi punya sesuatu yang selalu menakjubkan. Menakjubkan, karena “menolak untuk berpartisipasi dalam politik adalah saat Anda akhirnya diperintah oleh bawahan" –sebagaimana diingatkan filsuf Plato (427 SM-347 SM).
Banyak orang tidak sudi diperintah oleh bawahan, maka lebih menginginkan menjadi atasan. Bukan saja posisi punya wewenang untuk memerintah dan menghukum, juga posisi ini memberikan kemuliaan sosial –walau belum tentu secara transendetal. Dari itu, pada taraf tertentu, kompetisi dalam dunia politik juga memperebutkan posisi atasan.
Sulit sekali dalam dunia politik membedakan antara atasan dan pemimpin. Dan sangat ganjil pula untuk mengimplementasikan nasihat filsuf Ralph Waldo Emerson (1803-1882), yang berbunyi: "Setiap orang yang saya temui adalah atasan saya."
ADVERTISEMENT
Persaingan yang kasar adakalanya menggeser makna kompetisi yang sehat, sehingga apa pun dan bagaimanapun caranya dipakai demi mencapai sebuah kemenangan. Hal ini bisa membuat dunia politik tercemar limbah kebusukan.
Masyarakat jadi pasif pada politik dan yang lebih parah sampai ke tahap tak percaya. Pada 21 Februari 2022, ada temuan survei nasional yang disampaikan Indikator Politik Indonesia bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik (parpol), cukup rendah. Bahkan, hanya 54% masyarakat yang masih menaruh kepercayaan kepada partai politik.
Lima bulan kemudian dari hasil survei itu, pada 27 Juli 2022, Survei Indopol membuktikan bahwa lebih dari sepertiga atau 35,93 persen responden tak percaya terhadap (partai) politik.
Semua hasil survei itu membuktikan bahwa ada masalah serius di dunia politik maupun partai politik yang membuat masyarakat tidak percaya. Masalah serius itu antara lain muncul karena persaingan di dalam politik tidak disukmai cinta.
ADVERTISEMENT
Politik Tanpa Cinta
Cinta, sebagaimana di muka dikatakan oleh penyair sufi Jalaluddin Rumi (1207-1273), “mengubah kekasaran menjadi kelembutan" menjadi relevan untuk diaplikasikan. Hal ini penting untuk meredam persaingan politik yang kasar dan keras menjadi suatu aktivitas yang mengedepankan hati nurani.
Sekurang-kurangnya, energi cinta yang ada membuat persaingan antar individu maupun kelompok dalam politik tak mudah terbakar, tidak mudah terprovokasi. Sehingga kalah dan menang dalam persaingan adalah hal alami, yang membuat si kalah berjiwa besar dan berpikir positif. Dan si menang, tidak arogan dan menindas.
Beda-beda misi politik, tapi tetaplah ada kesamaan misi, yakni: membangun bangsa dan negara lebih baik lagi. Jadi perbedaan partai politik, atau beda pilihan politik, ketika disukmai cinta membuat bangsa dan negara mempunyai taman kehidupan politik yang indah dan sehat.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya kepentingan misi yang sama untuk membangun bangsa dan negara lebih baik lagi, membuat persaingan politik menjadi semacam dinamika kompetisi yang produktif. Karena cinta mensukmai segala denyut aktivitas politik, maka dinamika inilah yang menyalurkan energi anak bangsa mencapai keberhasilan tidak menggunakan segala cara –melainkan tetap dalam koridor-koridor hukum dan sistem demokrasi.
Kekuasaan politik tumbuh dari laras senjata, kata Mao Zedong (1893-1976). Perkataan ini menandakan cinta tidak menyapa politik. Cinta dianggap bagian perasaan cengeng, dari itu harus diabaikan. Diasumsikan bahwa politik tidak boleh baper (terbawa perasaan), karena politik datang kebudayaan progresif.
Kebudayaan inilah yang memberikan nilai-nilai tegas dan jelas, yang begitu ekspresif terhadap impian dan harapan untuk direalisasikan –walaupun dengan cara-cara kekerasan. Politik dari sistem nilai kebudayaan ini membuat para pelakunya diposisikan dalam kelas superioritas, harus diperlakukan dengan takzim.
ADVERTISEMENT
Maka kekuasaan (politik) yang diraih dengan cara-cara kekerasan, dan dijaga oleh laras-laras senjata, menjadikan pemimpin pada pcucuknya ini memperlakukan para warga negara adalah hamba-hambanya. Alahasil, keterkekangan pun terjadi.
Nilai-nilai politik dalam hidup penuh keterkekangan ini menjelmakan doktrin sebagai kepercayaan. Lantas diperdalam sampai otak agar para warga meyakini kepercayaan ini –kepercayaan terhadap para pemimpin tidak pernah salah. Sehingga apa yang diputuskan sebagai hukum dan apa yang diperkatakan oleh pemimpin itu selalu benar. Jadi untuk apa lagi ada pemilihan umum, bila semuanya sudah rapi, tertib, dan nurut.
Inspirasi Cinta dalam Politik
Perkataan Mao Zedong itu memberi implikasi yang mengerikan ketika cinta tidak menyapa politik. Dari itu premis demikian tidak relevan untuk kehidupan politik Indonesia modern yang telah menyapa cinta. Karena di sini cinta memperlihatkan betapa kekuasaan politik yang diraih dengan laras senjata, memberikan efek yang buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT
Dari sana pula selain tumbuh kebencian, saling curiga, pelanggaran hak asasi manusia, mempermainkan produk hukum, memutus nadi kebebasan berpendapat, menendang demokrasi –juga menjadikan negara adalah tempat yang paling mengerikan buat kehidupan para warga.
Itulah mengapa cinta hadir memberi keseimbangan hidup dan kehidupan bernegara dan berbangsa, agar kekuasaan politik yang diraih dengan cara kekerasan maupun menjaga kekuasaan politik dengan cara kekerasan pula –segera dihindari.
Seperti dijelaskan Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno (1901-1970) bahwa "kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa," menandakan pula kekuasaan politik tidak bisa dilanggeng dengan dijaga oleh laras senjata.
Hal yang menarik pula bahwa cinta memberitahukan watak seseorang ketika berkuasa –termasuk berkuasa dalam kekuasaan politik. Ini pula yang diberitahukan oleh negarawan dan Presiden ke-16 Amerika Serikat, Abraham Lincoln (1809-1865), bahwa: "Hampir semua orang dapat menanggung kemalangan, tapi jika Anda ingin menguji watak manusia, coba beri dia kekuasaan."
ADVERTISEMENT
Sentuhan cinta dalam politik ini secara holistik memperlihatkan semua itu. Bersamaan memberi inspirasi agar para pelaku politik berkenan menyingkirkan ego, dan kembali memahami tujuan utama berpolitik: membangun bangsa dan negara lebih baik lagi.