Konten dari Pengguna

Kini, Siapa Saja Bisa Mencalonkan Diri Sebagai Presiden dan Wakil Presiden

Zackir L Makmur
Pemerhati masalah sosial budaya, menulis beberapa buku fiksi dan non fiksi, dan bergiat di IKAL Strategic Center (ISC).
6 Januari 2025 11:54 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zackir L Makmur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK), pada 2 Januari 2025, mengeluarkan putusan penting yang mengubah ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden, atau yang dikenal dengan istilah presidential threshold.
ADVERTISEMENT
Dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024, MK membatalkan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang selama ini membatasi hak partai politik dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dengan keputusan ini, MK memberi sinyal yang kuat bahwa demokrasi Indonesia harus bergerak lebih inklusif, memberikan ruang yang lebih luas bagi setiap partai politik tanpa adanya batasan yang terlalu ketat.
Karuan saja keputusan ini menciptakan peluang baru: di mana seluruh partai politik peserta pemilu bisa mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa harus memenuhi ambang batas tertentu terkait persentase kursi di DPR, atau suara sah nasional.
Dalam perspektif demokrasi yang sehat, hal ini adalah langkah penting untuk memperkuat sistem politik yang lebih terbuka dan representatif. Sebab sebelumnya, partai politik dengan kekuatan besar seringkali mendominasi pencalonan, sedangkan partai kecil atau independen terkendala dalam mengajukan calon mereka.
ADVERTISEMENT
Kini, dengan dibatalkannya presidential threshold, siapa saja—baik dari partai besar maupun kecil—memiliki hak yang setara untuk mencalonkan diri. Peluang ini membuka jalan bagi para pemimpin yang mungkin tidak terduga untuk maju dalam pencalonan presiden dan wakil presiden.
Dengan demikian, keputusan ini membawa semangat demokrasi yang lebih sehat, di mana setiap individu yang memiliki dukungan rakyat dapat berkompetisi tanpa adanya penghalang struktural yang membatasi hak mereka. Partai politik yang selama ini mungkin tidak memiliki kekuatan besar di parlemen –bisa lebih bebas untuk mengusulkan calon yang dianggap memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat, dan menciptakan lebih banyak pilihan bagi pemilih.
Selain itu, dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika, keputusan MK ini juga mencerminkan usaha untuk menjaga keberagaman dalam proses politik. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menghargai setiap elemen dalam masyarakat, tanpa terkecuali.
ADVERTISEMENT
Keberagaman latar belakang politik, yang selama ini sering terpinggirkan karena ambang batas pencalonan yang tinggi, kini bisa lebih terwakili. Proses politik yang lebih inklusif ini pun memberi ruang bagi suara-suara yang selama ini mungkin tidak terdengar, meningkatkan kualitas debat publik dan memperkaya pilihan politik yang ada.
Hak Politik dan Kedaulatan Rakyat
Ketentuan yang mengharuskan calon presiden dan wakil presiden memenuhi ambang batas 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional, yang menguntungkan partai besar, jelas mengurangi kualitas demokrasi. Hanya partai-partai besar yang mampu memenuhi ambang batas ini, sementara partai-partai kecil atau calon independen kesulitan untuk ikut serta dalam kontestasi pemilu.
Tentu saja hal ini mengurangi kesempatan bagi mereka yang memiliki ide dan visi politik berbeda untuk berkompetisi, dan membuat pilihan yang tersedia bagi pemilih semakin terbatas. Dengan membatalkan pasal ini, MK berupaya untuk memperluas ruang bagi berbagai partai dan calon yang memiliki potensi untuk berkontribusi terhadap perkembangan politik bangsa.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, pembatalan Pasal 222 juga menegaskan bahwa dalam demokrasi yang sehat, hak untuk memilih dan dipilih adalah hak dasar setiap warga negara yang tidak boleh dibatasi oleh kepentingan politik tertentu. Sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, setiap warga negara berhak untuk turut serta dalam proses politik tanpa terkekang oleh pengaruh dominasi politik yang terlalu besar.
Dengan membuka kesempatan bagi lebih banyak calon presiden dan wakil presiden, maka MK mengembalikan hak konstitusional rakyat untuk menentukan pemimpinnya secara bebas. Hal ini sejalan dengan prinsip demokrasi yang inklusif, di mana setiap individu, tanpa melihat latar belakang politik atau kekuatan ekonomi, seharusnya memiliki kesempatan yang sama dalam proses politik.
Kendati keputusan MK ini merupakan langkah positif menuju demokrasi yang lebih terbuka, perlu diingat bahwa keberagaman dalam pencalonan juga harus tetap dijaga agar tidak menimbulkan fragmentasi politik yang berlebihan. Terlalu banyak calon dalam pemilu presiden dapat menyebabkan kebingungannya pemilih, yang pada gilirannya bisa menurunkan kualitas pemilu itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Dari itu MK memberi pedoman agar dalam revisi UU Pemilu, calon presiden yang diajukan tetap mempertimbangkan efektivitas dan kejelasan dalam pemilu. Tujuan dari pembatalan Pasal 222 adalah untuk memberikan kebebasan lebih bagi calon yang memenuhi syarat, namun tetap harus ada upaya untuk menjaga stabilitas dan kejelasan dalam proses pemilihan presiden.
Dengan begitu, keputusan MK ini bisa menjadi landasan untuk mewujudkan pemilu yang lebih inklusif tanpa mengorbankan kualitas dan keefektifan pemilu itu sendiri. Keputusan ini juga menggambarkan pentingnya sistem pemilu yang responsif terhadap dinamika politik dan kebutuhan masyarakat.
Selama ini, ambang batas pencalonan presiden terbukti mempersempit ruang bagi calon-calon yang memiliki dukungan dari masyarakat tetapi tidak memiliki kekuatan politik yang besar. Dengan membuka peluang lebih lebar bagi partai kecil atau calon independen, sistem pemilu Indonesia menjadi lebih inklusif dan demokratis.
ADVERTISEMENT
Keberagaman pilihan calon yang tersedia akan mencerminkan keragaman aspirasi rakyat, yang merupakan dasar utama dalam memperkuat demokrasi Indonesia. Ini juga memungkinkan terciptanya ruang bagi inovasi dan ide-ide baru dalam pengelolaan negara, yang lebih merepresentasikan keinginan rakyat secara keseluruhan.
Polarisasi Politik dan Ancaman Calon Tunggal
MK dalam putusannya juga menyoroti masalah polarisasi yang semakin menguat di Indonesia, khususnya dalam konteks pemilihan presiden. Pasal 222 UU Pemilu yang menetapkan ambang batas pencalonan presiden telah menciptakan potensi bagi munculnya hanya dua pasangan calon dalam setiap pemilu presiden.
Ketentuan ini berisiko memperburuk polarisasi politik di masyarakat, yang semakin terfragmentasi antara dua kubu besar yang saling berhadapan. Polarisasi yang semakin tajam bisa memperburuk dinamika politik, di mana kelompok-kelompok yang berbeda semakin terpisah dan mengurangi kemampuan untuk berdialog secara konstruktif.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, MK menilai bahwa dengan menghilangkan ambang batas tersebut, sistem pemilu bisa menjadi lebih inklusif dan mencerminkan keberagaman aspirasi politik rakyat.Fenomena ini juga berpotensi memperburuk praktik pemilihan kepala daerah (Pilkada), yang dalam beberapa tahun terakhir semakin sering menghadirkan calon tunggal.
Ambang batas pencalonan yang tinggi memaksa partai-partai kecil dan calon independen untuk mundur, karena mereka tidak mampu memenuhi syarat yang ditetapkan. Hal ini menurunkan kualitas demokrasi dan mengurangi pilihan yang tersedia bagi pemilih. Dalam kasus Pilkada, calon tunggal berisiko menjadi pilihan yang memaksa masyarakat menerima calon yang mereka anggap tidak cukup representatif.
Jika ketentuan ini terus dipertahankan, MK memperingatkan bahwa pemilu presiden dapat terjebak dalam situasi dengan hanya dua pilihan terbatas. Bahkan, dalam skenario yang lebih buruk, hal ini bisa berujung pada pemilu dengan calon tunggal, yang jelas merugikan prinsip demokrasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Pemilih akan kehilangan hak mereka untuk memilih dari beragam calon yang memiliki visi dan misi berbeda. Oleh karena itu, MK menegaskan pentingnya keberagaman dalam pencalonan presiden sebagai bagian dari proses demokrasi yang sehat. Dengan menghapus ambang batas tersebut, MK berharap pemilu presiden dapat mencerminkan spektrum yang lebih luas dari aspirasi politik masyarakat Indonesia.
Polarisasi yang semakin tajam tidak hanya mengurangi pilihan yang tersedia bagi pemilih, tetapi juga meningkatkan ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem pemilu yang dianggap tidak mencerminkan keberagaman.
Jika hanya ada dua pilihan utama yang saling bertentangan, maka masyarakat merasa terjebak dalam pilihan yang terbatas dan tidak dapat mengungkapkan pandangan politik mereka secara bebas.
Dengan demikian, MK menyarankan bahwa sistem pemilu harus dirancang agar menciptakan ruang bagi beragam suara politik, yang mencerminkan keragaman pandangan dan aspirasi rakyat. Ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa demokrasi Indonesia tetap inklusif dan representatif.
ADVERTISEMENT
Rekayasa Konstitusional: Menciptakan Pemilu yang Efektif
Walaupun MK membatalkan Pasal 222 yang membatasi ambang batas pencalonan presiden, keputusan ini tidak berarti bahwa MK mengabaikan potensi dampak negatif dari kebebasan yang lebih besar dalam pengusulan calon presiden.
MK tetap memberikan pedoman agar dalam revisi UU Pemilu, jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak boleh terlalu banyak. Pembatasan ini diperlukan untuk menjaga agar pemilu presiden yang langsung oleh rakyat tidak kehilangan makna dan tujuan utamanya.
Dengan kata lain, meskipun MK mendukung lebih banyak ruang bagi calon yang beragam, ia juga menyarankan agar jumlah calon yang berpartisipasi tetap terjaga agar pemilu tetap efisien dan tidak membingungkan pemilih.
Dalam konteks ini, MK menekankan pentingnya rekayasa konstitusional (constitutional engineering) untuk memastikan bahwa proses pemilu presiden tetap berjalan efektif. Rekayasa ini bertujuan untuk menemukan keseimbangan antara memberikan kebebasan kepada partai-partai politik untuk mengajukan calon mereka, dan menjaga agar jumlah calon yang muncul tidak terlalu banyak.
ADVERTISEMENT
Dengan cara ini, sistem pemilu tetap berjalan lancar tanpa mengorbankan prinsip inklusivitas dan pluralitas politik yang sangat penting dalam demokrasi Indonesia. MK mengingatkan bahwa kebebasan dalam pencalonan bukan berarti pemilu harus menjadi ajang yang penuh dengan fragmentasi politik yang justru akan membingungkan rakyat.
Penting untuk dipahami bahwa MK tidak menutup kemungkinan bagi partai politik untuk mengajukan calon-calon mereka. Semua partai politik, baik besar maupun kecil, berhak untuk mencalonkan diri, namun jumlah pasangan calon yang diajukan harus tetap terbatas.
Tujuan dari pembatasan ini adalah untuk menjaga agar pemilihan presiden tetap memiliki makna sebagai sarana untuk memilih pemimpin yang benar-benar mewakili kehendak rakyat, bukan hanya sekadar menjadi kompetisi antara banyak partai politik yang terfragmentasi.
ADVERTISEMENT
Maka rekayasa konstitusional yang disarankan oleh MK ini juga bertujuan untuk menghindari kekacauan dalam proses pemilu. Jika terlalu banyak pasangan calon yang muncul, hal itu berpotensi memecah suara rakyat dan menciptakan ketidakjelasan dalam hasil pemilu.
Ketika pilihan semakin banyak, risiko terjadinya polarisasi yang lebih dalam dan fragmentasi politik yang lebih tajam juga meningkat. Dalam pemilu yang sehat, hanya ada beberapa pilihan yang jelas, sehingga pemilih dapat membuat keputusan dengan lebih tegas dan tanpa keraguan. Oleh karena itu, pembatasan jumlah pasangan calon sangat penting untuk menjaga integritas pemilu presiden.
Partisipasi Publik yang Bermakna
Ilustrasi. Foto Gwen King/ unsplash.com
Keputusan MK mengenai pembatalan Pasal 222 juga memberikan panggilan penting bagi pembuat undang-undang untuk lebih memperhatikan partisipasi publik yang bermakna dalam penyelenggaraan pemilu. Dalam revisi UU Pemilu yang akan datang, MK menyarankan agar seluruh pihak yang terlibat dalam proses pemilu, termasuk partai politik yang mungkin tidak memperoleh kursi di DPR, turut dilibatkan.
ADVERTISEMENT
Hal ini penting agar sistem pemilu yang dihasilkan tidak hanya mencerminkan kepentingan partai-partai besar, tetapi juga menjamin hak-hak kelompok minoritas politik. Dengan cara ini, pemilu dapat menciptakan ruang yang lebih luas bagi berbagai suara politik dalam masyarakat, bukan hanya mengutamakan kepentingan segelintir kelompok.
Selain melibatkan lebih banyak pihak dalam penyusunan regulasi pemilu, juga perlu ditekankan bahwa pentingnya pemberian sanksi terhadap partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sanksi ini bertujuan untuk mencegah dominasi satu atau dua partai besar yang dapat menguasai seluruh proses pemilu.
Jika tidak ada sanksi yang tegas, ada risiko bahwa hanya partai-partai besar yang akan terlibat dalam pencalonan, yang pada gilirannya akan membatasi pilihan yang tersedia bagi rakyat. Dengan adanya sanksi, diharapkan partai-partai politik akan lebih bertanggung jawab dalam memastikan bahwa proses pemilu tetap inklusif dan menawarkan lebih banyak pilihan bagi pemilih.
ADVERTISEMENT
Pemberian sanksi terhadap partai yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, bukan hanya tentang menciptakan lebih banyak pilihan, tetapi juga untuk memastikan bahwa tidak ada upaya dari partai besar untuk mengonsolidasikan kekuatan mereka secara berlebihan.
Dominasi satu atau dua partai besar dalam proses pemilu bisa menimbulkan ketimpangan yang merugikan demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, dengan sanksi yang jelas, rakyat berharap agar sistem pemilu dapat berjalan dengan lebih adil dan seimbang, memberikan kesempatan yang lebih luas bagi seluruh pihak untuk berpartisipasi secara setara.
Keputusan MK ini mencerminkan upaya untuk menjaga keberagaman politik dalam sistem pemilu. Keberagaman ini penting agar tidak hanya ada satu suara atau dua suara dominan yang menentukan jalannya pemilu, tetapi lebih banyak pilihan yang mencerminkan beragam aspirasi politik rakyat. ***
ADVERTISEMENT