Konten dari Pengguna

Membaca Weton Reshuffle Kabinet

Zackir L Makmur
Pemerhati masalah sosial budaya, menulis beberapa buku fiksi dan non fiksi, dan bergiat di IKAL Strategic Center (ISC).
8 Januari 2023 11:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zackir L Makmur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wacana reshuffle kabinet hari-hari ini semakin marak. Dalam berbagai kesempatan, termasuk pada acara peresmian Bendungan Sukamahi di Bogor (23/12/2022), Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi sinyal peluang untuk melakukan reshuffle. Ketika ditanya wartawan mengenai kemungkinan reshuffle, jawaban Presiden Jokowi: "Mungkin. Ya, nanti."
ADVERTISEMENT
Jawaban demikian adalah bertanda bahwa Presiden Jokowi masih dalam kerangka menghitung waton: alon-alon waton kelakon (pelan-pelan saja asalkan berhasil). Waton secara substansif adalah semacam metode menghitung masak-masak dan cermat.
Sepanjangan pemerintahannya sejak tahun 2014, reshuffle kabinet sudah tujuh kali dilakukan Presiden Jokowi, maka atas pengalaman ini menghitung waton tak bisa dinafikan begitu saja. Reshuffle kabinet harus menghitung waton: tidak terburu-buru, tidak boleh gegabah. Selain menghitung waton, juga harus dihitung weton.
Dalam falsafah kearifan lokal dari kebudayaan Jawa ini bahwa hitungan waton itu pelan-pelan (alon-alon) menanjak, memasuki fase hitungan weton. Perhitungan weton dalam tradisi masyarakat berkebudayaan Jawa berarti pula momentum menentukan kapan hari terbaik untuk memulai. Hal ini makin kentara saja karena setiap reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Jokowi selalu jatuh pada hari Rabu.
ADVERTISEMENT
Reshuffle kabinet pertama yang dilakukan Presiden Joko Widodo, pada hari Rabu tanggal 12 Agustus. Resfuffle kedua, pada hari Rabu tanggal 27 Juli 2016. Reshuffle ketiga, Rabu 17 Januari 2018. Reshuffle keempat, Rabu 15 Agustus 2018. Reshuffle kelima, Rabu 23 Desember 2020. Reshuffle keenam, Rabu 28 April 2021. Dan Reshuffle ketujuh, Rabu 15 Juni 2022.
Sama sekali ini tidak mistis, melaikan semacam “tanda” setelah membaca situasi.
Dengan demikian perhitungan weton dalam bahasa kontemporernya adalah membaca situasi. Pakar filsafat Jawa dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Iva Ariani, dilansir dalam laman Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa fenomena weton berkaitan dengan ilmu titen, titen ini adalah ilmu membaca situasi (14/7/2022).
Membaca Situasi
ADVERTISEMENT
Sebagai pucuk pimpinan kabinet, presiden adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap lancar dan stagnannya roda pemerintahan. Dengan membaca falsafah weton, dapat dipahami bahwa Presiden Joko Widodo mesti cermat membaca situasi agar tidak “salah arah”.
Sekurang-kurangnya dengan membaca situasi sebelum reshuflle kabinet, bisa mengantisipasi atau menghindari gonjang-ganjing politik. Lantaran perombakan kabinet bisa menjadi menu sangat gurih yang bisa diolah oleh dapur-dapur perpolitikan Indonesia.
Sejarah gonjang-ganjing politik pernah dialami Indonesia gara-gara reshuffle kabinet. Sewaktu kabinet pertama dalam sejarah pemerintahan Indonesia, bernama Kabinet Presidensial dibentuk pada 2 September 1945, demikian terasa aroma “bulan madu” partai politik. Tapi dua bulan kemudian terjadi perselisihan politik, maka Kabinet Presidensial dibubarkan lalu diganti oleh Kabinet Sjahrir I pada 11 November 1945.
ADVERTISEMENT
Dalam era Presiden Seokarno kurun 1945-1966 telah terjadi sebanyak reshffle kabinet sebanyak 20 kali. Kemudian era berganti menjadi era Reformasi, reshuffle kabinet dalam bingkai riwayat yang “menyenangkan” dan “menyakitkan” bagi partai politik pun terjadi pula. Dalam masa Presiden BJ Habibie terjadi 2 kali reshuffle kabinet.
Sedangkan era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur reshuffle kabinet telah terjadi sebanyak 13 kali, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) reshuffle kabinet dan pergantian menteri, yakni sebanyak 20 kali. Dan era Presiden Joko Widodo reshuffle kabinet sebanyak tujuh kali (15 Juni 2022).
Saat mana bangsa dan negara dalam keadaan sulit, terjadi reshuffle kabinet mudah menimbulkan gonjang-ganjing politik. Begitupun manakala suhu politik memanas terlebih menjelang pemilihan umum, perombakan kabinet punya risiko risiko politik yang berat. Dalam kurun riwayat sejarah pemerintahan Indonesia, hal-hal pedih demikian telah dialaminya.
ADVERTISEMENT
Maka kecermatan membaca situasi, terlebih berkaitan dengan kelangsungan “hidup” masa pemerintahan Presiden Jokowi yang tersisa kurang dari 20 bulan lagi dalam priode kedua ini, tentulah menjadi pertimbangan paling dasar. Hal ini ditempuh agar tidak menimbulkan malapetaka politik.
Pertimbangan demikian sangat mungkin menjadi hitungan waton dan weton yang dilakukan Presiden Joko Widodo dalam melakukan perombakan kabinet. Pada sisi lainnya dalam membaca situasi dimaksudkan pula agar perombakan kabinet memudahkan jajaran menteri beradaptasi. Sehubungan dengan ini karena ada kondisi “kelahiran” baru untuk melangsungkan pemerintahan dalam keadaan kondusif.
Weton membaca situasi inilah yang memberikan terminologi berpikir cermat, selektif, dan tidak gegagah: alon-alon waton kelakon. Pada hakikat ini keputusan yang terlebih dahulu dipikirkan matang-matang, hasilnya bisa maksimal.
ADVERTISEMENT
Boleh dibilang perspektif alon-alon waton kelakon yang dilakukan Presiden Joko Widodo merombak susunan kabinet, memang hasilnya relatif maksimal, setidaknya sejak tahun 2014 terjadi reshuffle tujuh kali tidak mengalami gonjang-ganjing politik. Kalaupun dari sini ada respon politik cukup tajam, hal ini tak terlepas dari dinamika politik.
Membaca Indikasi
Sejumlah analis politik memberitahukan indikasi wacana resshuffle muncul, adalah dampak dari Partai Nasdem yang pada 3 Oktober 2022, mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) untuk Pilpres 2024. Padahal Partai Nasdem adalah partai politik pendukung pemerintah, sedangkan Anies Baswedan diafiliasikan sebagai tokoh oposisi yang mengusung perubahan.
Tambahan pula indikasi desakan reshuffle datang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), partai utama pengusung Presiden Joko Widodo (Jokowi). Indikasi ini terlihat ketika Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ideologi dan Kaderisasi Perjuangan Djarot Saiful Hidayat meminta dua menteri kabinet Presiden Jokowi asal Partai Nasdem untuk dievaluasi (23/12/2022).
ADVERTISEMENT
Sejumlah indikasi itu sekaligus menandakan pula bahwa reshuffle kabinet sebuah riwayat yang menyenangkan dan menyakitkan bagi partai politik; menyenangkan karena ada kadernya “diajak” masuk kabinet, dan menyakitkan sehubungan ada kadernya “digusur”. Maka reshuffle kabinet menjadi bagian sejarah pemerintahan Indonesia dari cerita bulan madu dan perselisihan politik.
Bersama ini reshuffle kabinet juga menjadi kata kerja yang menyimpan psikologis politis: harapan dan kecemasan. Sewaktu Presiden Joko Widodo melakukan reshuffle kabinet pada tanggal 15 Juni 2022, psikologis politis itu kental terbalut. Reaksi politis memunculkan stigma bahwa reshuffle tersebut untuk mengakomodasi kepentingan partai politik pendukung pemerintah masuk ke jajaran kabinet.
Harapan dan kecemasan yang menyimpan psikologis politis itu pun, kemudian, berkombinasi dengan persepsi dan asumsi. Inilah mengapa pengalaman mengajarkan bahwa reshuffle kabinet ditempuh Presiden Jokowi terlebih dahulu menghitung waton dan membaca weton lebih subliminasi.
ADVERTISEMENT
Cara-cara itu adalah semacam usaha untuk fokus pada tujuan, tidak demi “keselamatan politik” hingga terkesan menteri-menteri yang dicopot karena dari parpol yang berseberangan. Ataupun karena takut atas desakan partai pendukung utama.
Presiden adalah pihak yang paling banyak mempunyai sumber informasi dan data-data, oleh karenanya demi melakukan reshuffle kabinet tentulah kita yakin presiden tidak berbekal dari satu sumber informasi, walau ia punya hak kekuasaan istimewa yang dimiliki tanpa dapat dicampuri oleh lembaga lainnya. Maka hitungan waton dan membaca weton merepresentasikan kelengkapan data dan informasi untuk memahami kemungkinan yang ada untuk bersikap alon-alon waton kelakon.
Untuk itu membaca weton menumpukan bawah reshuffle kabinet selalu ditempuh bukan karena dari pertimbangan politik semata, melainkan sudah melewati tahapan proses strategis memetakan situasi dan kondisi kini dengan segala kemungkinan yang ada. Dan kemungkinan yang ada, pada kelazimannya, setelah reshuffle kabinet terjadi dinamika politik yang memanas.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi dan kondisi tensi politik yang meninggi ini acapkali argumentasi politik datang dari opini masing-masing. Bagaimanapun langkah reshuffle kabinet menyediakan hal demikian. ***
Zackir L Makmur (foto. dok. pribadi)