Sejarah Sekolah di Indonesia Zaman Kolonial Jadi Pemasok Birokrasi

Zackir L Makmur
Pemerhati masalah sosial budaya, menulis beberapa buku fiksi dan non fiksi, dan bergiat di IKAL Strategic Center (ISC).
Konten dari Pengguna
16 Februari 2023 11:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zackir L Makmur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gedung sekolah. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung sekolah. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Seiring memasuki abad 16, Portugis memasuki Indonesia. Mulanya bertujuan berdagang sambil memberikan nilai-nilai pendidikan, karena menilai bangsa Indonesia perlu dididik agar lebih beradab.
ADVERTISEMENT
Lantas pada tahun 1536 didirikanlah sebuah sekolah di Ternate, yang merupakan sekolah agama bagi anak-anak orang terkemuka, juga di Solor didirikan semacam seminarie.
Sekolah-sekolah tersebut memang mengajarkan agama, membaca, bahasa Latin, menulis, dan berhitung. Namun khusus untuk "anak-anak orang terkemuka" bahasa halus dari diskriminasi terhadap penduduk pribumi. Sekolah yang menganut azas ini dipelihara demi kelanggengan kekuasaan, dan memang Portugis semakin berkuasa.
Sehingga sekolah yang didirikan pun bagian dari menopang kekuasaan, dengan cara ini “diproduksilah” para lulusan sekolah tersebut untuk pelumas mesin birokrasi dan administrasi pemerintahan kolonial Portugis. Maka sekolahan begini mirip “pabrik” yang memproduksi “barang-barang” buat kelanggengan kekuasaan.

Memproduksi Birokrat

Ilustrasi sekolah. Foto: Shutter Stock
Namun di akhir abad 16 adalah era yang menyusahkan buat Portugis. Wilayah-wilayah jajahannya bergolak, termasuk di Indonesia. Pergolakan-pergolakan ini semakin berkobar dan membakar, membuat masa kejayaan Portugis di Indonesia pun berakhir. Karuan saja usaha-usaha pendidikan terpaksa harus dihentikan ataupun bubar.
ADVERTISEMENT
Dan ironisnya, ketika Portugis angkat kaki justru datang Belanda, tak ubahnya singa pergi datang macan. Sama seperti Portugis, mulanya mau berdagang. Tapi lama kelamaan Belanda pun begitu berkuasa. Lewat Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), kekuasaan itu demikian menghujam. Dengan kekuasaannya ini pula VOC mendirikan sekolah yang pertama, di Ambon, tahun 1607.
Barulah sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1617, VOC mendirikan sekolah di Jakarta. Sekolah-sekolah yang didirikan ini adalah “pabrik” untuk menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang cakap, yang kelak dapat dipekerjakan pada administrasi birokrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Ilustrasi VOC. Foto: Getty Images
Kemudian pada abad ke-17 dan ke-18 lewat Nederlands Zendelingen Genootschap (NZG), VOC mengurus tanah jajahan dan mengurus pendidikan untuk kaum “inlanders” di Indonesia. Maka pada masa ini VOC ikut membiayai kegiatan pendidikan, bukan dari pemerintah kolonial Belanda. Tapi pada tahun 1799, VOC bubar maka kebijakan pendidikan menjadi tanggungjawab pemerintah kolonial Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Pada periode abad 19 ini, di Jawa, Dadendels terlebih dahulu “mendidik” para bupati untuk mengorganisir sekolah buat anak-anak pribumi. Tujuannya biar anak-anak pribumi “dididik” menjadi lebih baik. Jadi para bupati “dididik” dan para warganya “dididik” pula agar menjadi lebih baik, tentu saja lebih baik untuk kepentingan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Menolak Cara Intelektual

Suasana di sebuah pabrik kulit di Batavia, Hindia Timur Belanda, sekarang Jakarta, Indonesia sekitar tahun 1920. Foto: Hulton Archive/Getty Images
Dan menjelang Politik Etis ini banyak sekolah didirikan di seantero Nusantara, namun sekolah-sekolah ini menjadi “pabrik” yang memasok pegawai rendahan yang sangat diperlukan dalam mendukung mesin birokrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Indonesia.
Bersamaan dengan ini sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Hindia Belanda sangat diskriminatif bagi anak-anak pribumi, diskriminasinya melebihi cara-cara pemerintah kolonial Portugis.
Kuku diskriminasi yang menghujam itu teramat sangat didapati R.A. Kartini, tambahan pula ia anak perempuan. Putri kelahiran Japara, 21 April 1879, ini saat tahun 1885 masuk sekolah dasar eropa atau Europesche Lagere School (ELS) diperlakukan diskriminatif, seperti pandangan rendah dari sesama siswa dan guru dari Belanda.
ADVERTISEMENT
Namun perlakuan diskriminatif ini memacu Kartini untuk tetap semangat belajar dan meraih prestasi. Penolakan ini adalah cara-cara intelektual. Maka Kartini pun memberi perlawanan, menolak sekolahan jadi semacam “pabrikk”.
Ilustrasi R.A. Kartini. Foto: Shutter Stock
Pertama, ia melakukan perlawanan terhadap kebudayaan di mana ia hidup. Menurut Irma Nailul Muna dalam buku Pendidikan Feminis R.A. Kartini bahwa dalam tradisi saat itu R.A. Kartini sudah melakukan pertentangan, karena anak perempuan masuk sekolah dan keluar rumah merupakan pelanggaran tradisi walaupun putri bangsawan.
Dan kedua, melakukan perlawanan terhadap kaum dan bangsanya yang ditindas. Dalam buku Sisi Lain Kartini yang disusun oleh Tim Museum Kebangkitan Nasional (2016) diungkapkan bahwa Kartini sudah belajar pemikiran pejuang wanita dari India, Pundita Ramambai.
Pada waktu itu Kartini masih berumur 10 tahun, maka seiring waktu pikiran itu berkobar-kobar untuk memerdekakan kaum “perempuan Hindi kulit hitam.”
ADVERTISEMENT
Perlawanan yang tidak gamblangnya juga dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara. Motif sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial itu sangat merusak sistem nilai kebudayaan Nusantara.
Ilustrasi guru di sekolah inklusi. Foto: Shutter Stock
Selain sekolah tersebut untuk dijadikan “pabrik” buat kepentingan kekuasaan pemerintah kolonial, juga membudayakan diskriminasi bahwa kaum inlander itu rendah dan tidak bisa dididik.
Lantas Raden Mas Soewardi Soeryaningrat kelahiran Yogyakarta, tanggal 2 Mei 1889, yang dalam usia 40 tahun ini berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara pun mendirikan sekolah.
Pada 3 Juli 1922, sekolahan yang bercorak nasional itupun berdiri, bernama Perguruan Nasional Tamansiswa (Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa). Sekolahan ini sangat menekankan pendidikan kebangsaan kepada peserta didik, agar mereka mencintai bangsa dan tanah air lantas berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Dan dari situ pula profesi guru terpulihkan ke makna hakikinya bahwa profesi guru adalah sebuah ekspresi idaman banyak manusia. Idaman itu tentang kehormatan, sosok yang digugu dan ditiru: menjadi panutan dan teladan.
Nyaris sempurna sosok ini karena punya wawasan luas, kewibawaan tinggi, dan budi pekerti halus. Maka sekolah-sekolah yang dihadiri oleh guru-guru semacam ini tidak lagi menjadi “pabrik”. ***