Seni Pertunjukan Politik Tingkat Tinggi

Zackir L Makmur
Pemerhati masalah sosial budaya, menulis beberapa buku fiksi dan non fiksi, dan bergiat di IKAL Strategic Center (ISC).
Konten dari Pengguna
18 Januari 2023 18:09 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zackir L Makmur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memberikan pidato di HUT ke-50 PDIP di JIExpo Kemayoran, Jakarta pada Selasa (10/1). Foto: PDIP
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memberikan pidato di HUT ke-50 PDIP di JIExpo Kemayoran, Jakarta pada Selasa (10/1). Foto: PDIP
ADVERTISEMENT
Hari itu, Selasa, 10 Januari 2023, telah terjadi sebuah seni pertunjukan politik tingkat tinggi di JIExpo Kemayoran Jakarta. Dan, media massa menyampaikan pemberitaan “seni pertunjukan” tersebut berdasarkan fakta ini: DPP PDI Perjuangan merayakan Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-50 PDI-P.
ADVERTISEMENT
Pada momen tersebut Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato politik. Di dalam momen inilah seni pertunjukan politik tingkat tinggi tergelar, begitu memukau dan bersahaja.
Secara umum terlebih dahulu kita ketahui bahwa seni pertujukan adalah istilah yang mengacu pada konsep penampilan. Penampilan dalam hal ini baik ini bernama pentas musik, opera, teater, bahkan lawak, badut, tilawah, baca puisi, dan bahkan pidato.
Dan secara khusus penampilan seni pertunjukan yang menyuguhkan kata-kata bernama teater, baca puisi, maupun pidato pada kelazimannya dalam pertunjukan ini kalimat-kalimat yang muncul mengalir begitu multi tafsir. Termasuk multi tafsir ini terjadi ketika Presiden Joko Widodo menyuguhkan kalimat-kalimat ini: “Bu Mega dalam memutuskan betul-betul sangat hati-hati, betul-betul tenang dan tidak grusa-grusu seperti yang lain-lainnya. Didesak-desak dari manapun tidak goyah meski namanya sudah di kantongnya Bu Mega.”
ADVERTISEMENT

Multi Tafsir

Memutuskan (sengaja cetak miring dari saya) kata yang multi tafsir, karena pertanyaannya secara faktual: memutuskan dalam hal apa? Hanya dalam konteks seni pertunjukan politik, maksud dari kata memutuskan berkaitan dalam penentuan calon presiden (capres) dari PDI Perjuangan.
Demikian pula pada kalimat betul-betul tenang dan tidak grusa-grusu seperti yang lain-lainnya (sengaja cetak miring dari saya lagi), menyimpan multi tafsir. Bila tidak dalam konteks dinamika politik yang hari-hari ini memanas dengan adanya parpol mendeklarasikan capres, dan ada ancang-ancang parpol lainnya mendeklarasikan capres dan cawapres pula, maka perkataan Presiden Joko Widodo boleh jadi menguap.
Dan, sebagaimana nilai kodratik seni pertunjukan, kalimat-kalimat yang terlontar selain mengandung multi tafsir juga mengarah ke fokus sasaran. Lantas, siapa dan pihak mana yang menjadi sasaran dari kalimat-kalimat Presiden Joko Widodo pada pidato politik di acara HUT ke-50 PDI-P itu?
ADVERTISEMENT
Begitu pula multi tafsir terjadi ketika Megawati Soekarnoputri menyuguhkan kalimat-kalimat: "Pak Jokowi itu kayak gitu lho, mentang-mentang. Lah iya, padahal Pak Jokowi kalau enggak ada PDI Perjuangan juga, aduh, kasihan dah.” Apa yang dimaksud kata mentang-mentang (cetak miring dari saya lagi) secara harfiah adalah “hanya karena merasa...” justru di pertunjukan politik beda makna.
Sejumlah kalangan mempersoalkan kata “mentang-mentang” yang disampaikan Megawati Soekarnoputri dalam pidato politik itu, membuat tensi politik tanah air semakin memanas. Bila disandarkan secara harfiah, kata “mentang-mentang” hanya mempunyai tafsir tunggal. Tapi kata “mentang-mentang” justru muncul dalam seni pertunjukan politik, maka tidak bisa dipakai lagi tafsir tunggal.
Hal yang sama muncul pula ketika di dalam momentum yang sama Megawati menyuguhkan kalimat ini: “Sekarang nungguin enggak ada, ini urusan gue.” Nungguin (kata miring lagi dari saya), adalah kata tidak baku dari kata baku “menunggu”, yang secara harfiah berarti “mengharap sesuatu akan terjadi...” justru dalam konteks pidato politik menjadi multi tafsir.
ADVERTISEMENT
Kalaupun kata nungguin itu dikaitkan dalam konstelasi politik hari-hari ini berarti: “menanti pengumuman sebuah keputusan capres yang akan diusung PDI-P.” Tafsir ini pun tetaplah tidak tunggal, sehingga dalam anak kalimat berikutnya Megawati menambahkan kata: urusan gue. Dan dalam kesempatan ini, sepertinya tahu kalimat yang multi tafsir itu mempunyai unsur mengecoh pada pihak tertentu, sehingga ini dinilai sebuah kelucuan makan hadirin pun tertawa bersama-sama.
Pada titik ini apa yang menjadi kelucuan tidak secara verbal dan juga tidak dari tafsir tunggal, melainkan dari kepemahaman yang sama terhadap pengertian multi tafsir kalimat-kalimat yang terlontar, menjadi kelucuan tingkat tinggi. Hanya orang-orang yang berkecimpung dalam politik dan memahami konstelasi politik dewasa ini bisa mengerti.

Pertunjukan Politik

Dunia politik penuh pertunjukan, di mana lazim kata dan perbuatan tak seiring, yang dalam hal ini bisa juga bermakna multi tafsir. Maka sebagaimana lazaimnya dunia pertunjukan, dunia politik pun penuh dengan lambang-lambang pula.
ADVERTISEMENT
Hanya orang-orang yang peka, dan punya daya imaji tinggi, mampu menafsirkan kerumitan lambang-lambang itu secara substansif. Ketertiban memiliki daya kepekaan dan imaji tinggi ini, mirip modal kita sedang menikmati seni pertujukan tonil, teater, atau tari, atau seni rupa instalasi, bahkan pertunjukan badut dan sulap.
Memang, politik adalah seni, dalam bahasa yang puitis dikatakan penyair Nigeria, Ben Okri, bahwa politik adalah seni dari segala kemungkinan, kreativitas adalah seni dari segala ketidakmungkinan. Tapi musikus rock dari Amerika Serikat, Frank Zappa, memberi cap: “politik adalah cabang seni hiburan industri."
Apa pun itu, kita tahu, pertunjukan politik sebagaimana pertunjukan seni, mempunyai panggung depan dan panggung belakang. Pada panggung depan, ada kalanya, cahaya terang benderang memperlihatkan para pelakon.
ADVERTISEMENT
Sedangkan cahaya di panggung belakang selalu temaram, yang sebisa mungkin cahaya di sini jangan sampai tembus ke panggung depan. Bukan cahaya saja, suara pun diredam sebisa mungkin agar tidak mengganggu dialog lakon yang sedang berlangsung di panggung depan.
Tetapi kesibukan-kesibukan di panggung belakang yang bercahaya suram itu, adalah kesibukan-kesibukan yang begitu kukuh demi suksesnya pertunjukan. Ada kejadian secara faktual yang saya alami, sewaktu beberapa tahun lampau, saya bertindak selaku sutradara dan penulis lakon pertunjukan seni teater kontemporer, di Jakarta.
Saat pementasan lakon berlangsung, selaku sutradara pentas saya ada di balik layar, di panggung belakang, sementara di panggung depan para pelakon memainkan perannya. Ketahuilah bahwa di panggung belakang: alangkah banyaknya kesibukan yang tak terkirakan sebelumnya. Semua kesibukan mesti dilakukan begitu sigap dan senyap. Keadaan di sini bisa lebih mencemaskan, tegang, mencekam, atau pun waswas.
ADVERTISEMENT
Dalam pertunjukan faktual saja begitu, apa lagi dalam dunia pertunjukan politik yang demikian ambivalensi, yang kadang kala trik dan intrik lebih terasa terjadi di panggung belakang, ketimbang di panggung depan yang disamar-samarkan oleh adegan, bloking, dan dialog lakon.
Di panggung pertunjukan politik, beberapa tahun lalu, bernama Pemilu 2019, menampilkan dua pasang calon presiden dan wakilnya yang akan dipilih bertarung. Mereka adalah calon presiden dan wakil presiden nomor urut satu Joko Widodo-Ma'ruf Amin, dan nomor urut dua Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Pertunjukan ini, bagi publik, menegangkan, seru, seram, dan ada kalanya mencekam karena kampanye hitam dan ujaran-ujaran kebencian begitu berhamburan, membahana, di tambah lagi pendukung kedua kubu di sana-sini pasang kuda-kuda bersitegang, siap terkam.
ADVERTISEMENT
Kemudian apa yang terjadi? Kemudian kita tahu Joko Widodo-Ma'ruf Amin menang dan, rivalnya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno masuk kabinet menjadi menteri. Sehubungan dengan ini, kita pinjam relevansinya perkataan pendiri Order of Perfectibilists abad 17, John Adams, ternyata “dalam politik jalan tengah tidak ada sama sekali.” Tetapi ini tidak bid’ah, karena dalam alam demokrasi, politik adalah seni membuat orang percaya untuk memerintah.
Pertunjukan politik semacam itu, bukanlah kejadian dadak-sontak, tentulah ada identifkasi kerja di belakang panggung untuk “merapikan” pertunjukan. Kesibukan-kesibukan ini, pada nilai kodratiknya, adalah rahasia. Tetapi dalam politik, rahasia adalah kejutan dari bahasa yang dirancang begitu multi tafsir.