Konten dari Pengguna

Kamuflase Benevolent Sexism Dalam Balutan Perilaku Princess Treatment

Zahira Hilman
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Semester 5, Universitas Brawijaya
1 Oktober 2024 20:51 WIB
·
waktu baca 1 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zahira Hilman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi princess. Foto: Unsplash/Cotk_photo
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi princess. Foto: Unsplash/Cotk_photo
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Kamu duduk aja, aku bukain pintu mobilnya”
Kalimat di atas sering terjadi dalam interaksi sehari-hari antara pasangan yang semakin marak terjadi, karena fenomena “princess treatment” yang dilanggengkan oleh banyak pasangan dalam konteks hubungan romantis. Princess treatment sendiri merupakan sebuah sikap atau perilaku yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan sebagai kekasihnya. Mulai dari membukakan pintu mobil, membayar makan saat first date, sampai-sampai perilaku yang tujuannya melindungi perempuan. Perilaku yang dilakukan mungkin tidak banyak dari kita yang menyadari, bahwa perilaku tersebut termasuk sebagai bentuk dari princess treatment dan banyak para perempuan yang menyukai perilaku tersebut. Akan tetapi, jika dilihat dari kacamata gender, sikap princess treatment ini dapat dikaitkan dengan benevolent sexism. Benevolent sexism sendiri merupakan sikap merendahkan yang tampaknya positif, tetapi memperkuat status subordinat perempuan karena ada harapan bahwa laki-laki dapat memberikan rasa aman untuk perempuan.
ADVERTISEMENT
Perilaku princess treatment jika dikaitkan dengan benevolent sexism, tentunya memiliki dampak buruk. Sikap laki-laki yang menganggap perilakunya sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan justru membatasi kebebasan perempuan untuk bertindak mandiri, sehingga perempuan seolah-olah selalu membutuhkan bantuan mereka. Lagi-lagi hal tersebut memperkuat stereotip di masyarakat bahwa sifat alami perempuan merupakan seorang individu yang lebih lemah dari laki-laki dan membutuhkan perlindungan dari mereka. Hal ini memperlihatkan bahwa perempuan yang pasif dan selalu bergantung terhadap laki-laki. Laki-laki yang notabenenya selalu sigap memegang peran “pelindung” karena dirasa lebih memiliki power daripada perempuan.
Meskipun perlakuan ini sering dipandang sebagai tindakan yang baik dan inisiatif laki-laki, pada kenyataannya hal ini dapat berpotensi mengurangi otoritas diri perempuan juga membatasi ruang lingkup mereka. Namun, di sisi lain, perilaku princess treatment tidak hanya merugikan para perempuan, akan tetapi para lelaki juga dapat dirugikan. Laki-laki akan terus diharapkan bisa melindungi perempuan atau menjadi sosok pahlawan untuk perempuan yang selalu ingin diperlakukan sebagai “putri”, sehingga laki-laki dipaksa untuk terus tampil kuat atau tidak boleh menunjukkan kelemahan. Situasi tersebut juga menjadi salah satu faktor langgengnya stereotip maskulinitas yang selalu dominan dalam masyarakat, terutama di antara para lelaki.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, tindakan princess treatment ini dianggap sebagai tindakan berkonotasi positif karena penuh perhatian. Baik laki-laki maupun perempuan memperlakukan satu sama lain sesuai dengan peran gender masing-masing yang keduanya bisa memperkuat stereotip gender dan berpotensi memunculkan ketidaksetaraan. Hal ini tidak hanya merugikan perempuan saja, namun juga dapat merugikan laki-laki bergantung dari perspektif mana kita melihatnya.
*Ditulis oleh Zahira dan Nailah*