Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Konten dari Pengguna
Feminisme dari Kacamata Perempuan Disabilitas
12 Oktober 2022 11:10 WIB
Tulisan dari Zahra Az-Zahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak diterbitkannya UU No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, pemerintah Indonesia telah menetapkan definisi resmi penyandang disabilitas di Indonesia dan kategorinya. Peraturan resmi ini mendefinisikan penyandang disabilitas di Indonesia dan tipe individunya. Penyandang disabilitas menjadi acuan bagi semua pihak yang terlibat dalam masyarakat Indonesia.
Jumlah penyandang disabilitas yang signifikan tidak boleh diperlakukan berbeda dalam pemenuhan haknya dibandingkan dengan masyarakat biasa. Mengenai latihan fisik, orang dengan gangguan mengenali dan mengakui bahwa mereka berbeda. Mengenai kemampuan mereka dalam menciptakan karya seni, terbukti dari banyaknya karya mereka yang benar-benar menakjubkan.
ADVERTISEMENT
Penyandang disabilitas memiliki hak untuk bersaing di semua bidang kehidupan berdasarkan sifat dan tingkat keparahan kecacatannya. Berbekal kemampuan dan keterampilannya, beberapa penyandang disabilitas bahkan telah berhasil meningkatkan taraf hidupnya. Penyandang disabilitas memiliki karakteristik gender yang sama dengan non-disabilitas dalam hal memperjuangkan hak-hak gender mereka.
Disabilitas sering kali menjadi alasan mengapa seseorang diperlakukan dengan buruk. Selain itu, penyandang disabilitas adalah seorang perempuan, sehingga ada lebih dari satu jenis diskriminasi yang didapatkan. Pertama, mereka rentan karena seorang disabilitas. Kedua, mereka rentan karena mereka adalah seorang perempuan, karena dalam budaya patriarki perempuan dipandang lemah dan berada di bawah laki-laki.
Hal ini berdampak pada terbatasnya akses mereka terhadap hak-hak, seperti hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas pelayanan kesehatan, dan hak atas tempat tinggal yang layak. Hal ini disebabkan karena mereka tidak dapat mencapai tempat dengan mudah, maka kemungkinan mereka terluka akan lebih besar, mereka akan lebih mungkin terluka, terutama secara seksual.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi berdasarkan ras, suku, agama atau kepercayaan, dan orientasi seksual memperburuk kondisi. Hal ini dapat lebih buruk karena faktor tempat, seperti di tempat pengungsi, setelah bencana alam, atau saat perang.
Selain diskriminasi, kasus yang berhubungan tentang seksualitas manusia juga kerap ditemukan korbannya berasal dari disabilitas, terutama perempuan. Diskriminasi dipengaruhi oleh perilaku budaya, praktik keagamaan, dan interpretasi agama yang mempengaruhi hubungan sosial dalam masyarakat.
Pengaruh lainnya berasal dari sistem politik, ekonomi, dan sosial yang muncul dalam bentuk kebijakan di negara-negara yang masih belum mengutamakan kebutuhan dasar perempuan penyandang disabilitas terlebih dahulu.
Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 menunjukkan ada 87 kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2019. Sebagian besar kekerasan seksual adalah pemerkosaan dan sebagian besar pelakunya tidak pernah ditemukan. Komisi Nasional Perempuan juga telah memantau perempuan penyandang disabilitas psikososial di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dan pusat rehabilitasi.
ADVERTISEMENT
Hasil pemantauan menunjukkan bahwa perempuan dengan gangguan psikososial berulang kali mengalami pelanggaran hak asasi manusia, seperti kekerasan seksual dan penyiksaan, yang bertentangan dengan aturan dalam Convention Against Torture (CAT).
Pada tahun 2020 kasus kekerasan perempuan disabilitas lebih di dominasi oleh kasus pemerkosaan yang mana kelompok paling rentannya adalah disabilitas intelektual dengan presentase sebesar 47%.
Disabilitas intelektual menjadi kelompok yang paling berpengaruh pada tahun 2021, yaitu sebagai kelompok yang paling tinggi mengalami kekerasan seksual dengan total 22 kasus dan 13 kasus bersumber dari disabilitas ganda.
Kasus yang belum lama terjadi adalah seorang penyandang disabilitas intelektual dan daksa yang berusia 30 tahun menjadi korban kekerasan seksual yang mana saat ini dirinya sedang hamil. Kasus ini terjadi di Sumatera Selatan. Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa disabilitas perempuan perlu mendapatkan hak asasi manusia sebagaimana mestinya.
ADVERTISEMENT
Korban dari disabilitas memang lebih banyak korban dari kategori disabilitas intelektual. Namun, hal ini juga menjadi tolak ukur bahwa anggapan masyarakat mengenai perempuan disabilitas adalah makhluk aseksual.
Di dalam UU No. 8 Tahun 2016 menyebutkan bahwa “Hak keadilan dan perlindungan hukum untuk penyandang disabilitas meliputi hak atas perlindungan dari segala tekanan, kekerasan, penganiayaan, diskriminasi, dan perampasan atau pengambilalihan hak milik.” Payung hukum ini jelas menjadi bukti bahwa disabilitas memiliki posisi yang khusus dalam mata hukum, sehingga para perempuan disabilitas memiliki haknya dalam menjalankan kehidupan yang setara dan aman.
Selain itu, dasar hukum khusus bagi perempuan telah termuat pada nomor-nomor perundang-undangan yang mencakup segala aspek kehidupan perempuan. Salah satunya adalah UU No. 19 Tahun 2011 tentang pengesahan konvensi hak-hak penyandang disabilitas. Hak tersebut meliputi banyak hal terutama mengenai edukasi seks bagi perempuan disabilitas di Indonesia.
Perempuan disabilitas tidak pernah disebut sebagai manusia seksi yang tidak cakap melakukan aktivitas seksual serta tidak memiliki keindahan ragawi.
ADVERTISEMENT
Di zaman yang semakin berbahaya ini, siapa saja bisa menjadi korban seksual, dari anak dibawah umur hingga wanita berusia lanjut menjadi sasaran para predator. Sehingga perempuan disabilitas banyak yang menjadi korban kekerasan seksual, pelakunya bervariatif ada yang dari tetangga sekitar dan orang yang tidak dikenali korban.
Feminisme adalah ide gender yang terus bergema hingga saat ini. Demikian pula, feminisme sering disertai dengan keuntungan dan kerugian. Namun, ternyata gerakan ini memiliki banyak manfaat baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Konsep feminisme bersifat normatif dan deskriptif. Feminisme normatif adalah gambaran ideal tentang perempuan (atau siapa mereka seharusnya tidak) dan bagaimana mereka harus diperlakukan atas dasar keadilan atau moralitas. Sebaliknya, feminisme deskriptif menggambarkan sikap dan perlakuan perempuan di dunia nyata.
ADVERTISEMENT
Persepsi kontemporer tentang perempuan adalah hasil dari feminisme normatif dan deskriptif yang bersatu. Feminisme bukan lagi sekadar revolusi ide, itu juga dapat digunakan untuk membawa perubahan sosial yang bermanfaat.
Pada kenyataannya, feminisme berusaha menyamakan hak perempuan dan laki-laki yang dalam banyak tradisi dianggap sebagai gender superior. Feminisme juga memungkinkan perempuan untuk memilih jalan hidup mereka sendiri, bahkan jika itu bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang sudah mapan.
Antara feminisme, disabilitas, dan seksualitas ketiganya memiliki kaitan satu sama lain yang tidak boleh luput dari perhatian para tokoh-tokoh pentingnya. Namun, para aktivis feminisme dalam topik seks bagi perempuan disabilitas masih dianggap hal yang tabu sehingga jarang disinggung urgensinya.
Nyatanya para feminisme menjadikan reclaiming seks sebagai salah satu hal yang diperjuangkan. Tentu peran fenimis untuk menyelaraskan perempuan difabel sangat dibutuhkan untuk edukasi dasar layaknya perempuan non-disabilitas.
ADVERTISEMENT
Hubungan antara feminis dengan disabilitas yang membahas topik seks menjadi upaya pencegahan kasus kekerasan seksual pada perempuan disabilitas. Sehingga tema dalam beberapa isu perempuan lebih banyak yang melibatkan perempuan disabilitas dalam bersinergi pada wadah yang tepat.
Sesuai dengan pesan R.A. Kartini yaitu “Sampai kapanpun, kemajuan perempuan itu ternyata menjadi faktor penting dalam peradaban bangsa.” Maka perjuangan perempuan disabilitas memiliki faktor penting sekaligus khusus bagi peradaban bangsa Indonesia.