Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pola Cinta Tersembunyi: Memahami & Mengatasi Pasangan dengan Avoidant Attachment
8 Mei 2025 15:34 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Zahra Chairunisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pernahkah kamu menjalin hubungan percintaan dengan seseorang yang memiliki kecenderungan avoidant attachment? Atau mungkin saja pasanganmu yang sekarang termasuk dalam kategori tersebut? Menurut John Bowlby, yang diungkapkan dalam penelitian Bartholomew & Horowitz (1991), attachment adalah keinginan alami manusia untuk terhubung dan membangun ikatan emosional dengan orang lain, di mana kasih sayang dan afeksi memainkan peran penting. Attachment memiliki 3 sisi, yaitu secure, anxious, dan avoidant. Dalam penelitian tersebut, Bartholomew dan Horowitz juga menyebut dimensi avoidant sebagai “image of the other” atau cara seseorang memandang orang lain. Mereka biasanya cepat menilai orang lain, menentukan apakah orang tersebut bisa diandalkan atau tidak. Di sisi lain, mereka cenderung melihat diri mereka sendiri secara positif, sementara orang lain dianggap kurang baik.
ADVERTISEMENT
Membangun hubungan percintaan dengan pasangan yang memiliki kecenderungan avoidant sering kali membawa tantangan tersendiri. Mereka cenderung bersikap pasif dalam hubungan, tidak nyaman dengan keintiman, dan cenderung mengurangi interaksi dengan pasangan. Sebenarnya, mereka menghadapi kesulitan dalam membangun hubungan, karena cenderung menolak untuk bergantung pada orang lain. Bagi mereka, bisa mandiri dan berdiri di kaki sendiri tanpa bantuan orang lain adalah prioritas utama.
Untuk lebih memahami ciri-ciri pasangan dengan kecenderungan avoidant, penting untuk mengenali beberapa perilaku yang umum muncul dalam interaksi sehari-hari. Pasangan dengan attachment avoidant cenderung meragukan kemampuan pasangan mereka untuk selalu hadir dan memberikan kasih sayang. Akibatnya, mereka cenderung defensif menghindari ketergantungan emosional. Mereka juga cenderung membatasi kedekatan sehingga bisa merasa lebih aman dan menghindari rentan secara emosional
ADVERTISEMENT
Saat menghadapi tekanan, orang dengan kecenderungan avoidant akan menjauhkan diri, baik dari pasangannya maupun dari hubungan mereka. Dengan menjaga jarak emosional, mereka cenderung kurang mampu menunjukkan empati kepada orang yang membutuhkan. Selain itu, mereka merespons emosi pasangannya dengan cara negatif karena emosi tersebut mereka artikan sebagai kebutuhan akan perhatian lebih. Misalnya, seseorang dengan avoidant cenderung bersikap dingin ketika pasangannya menunjukkan kesedihan atau mencari dukungan. Dalam situasi konflik, mereka menunjukkan kemarahan dan bersikap defensif terhadap emosi negatif yang dialami pasangan, sehingga gaya penyelesaian konflik mereka menjadi kurang efektif, menyebabkan hubungan percintaan yang mereka jalani rentan untuk berpisah.
Dampak dari avoidant attachment tidak hanya dirasakan oleh mereka yang memiliki kecenderungan tersebut, namun juga mempengaruhi dinamika hubungan secara keseluruhan. Ketika satu pasangan merasa tidak bisa sepenuhnya terhubung, ketegangan, dan ketidakpastian sering kali muncul. Hal ini bisa menyebabkan frustasi yang mendalam bagi pasangan yang mengharapkan kedekatan emosional dan dukungan.
ADVERTISEMENT
Ketidakmampuan pasangan dengan avoidant attachment untuk memberikan dukungan emosional bisa membuat pasangan mereka merasa kesepian dan tidak dihargai, menciptakan jarak yang lebih besar dalam hubungan. Akibatnya, rasa aman dan kebahagiaan dalam hubungan tersebut bisa terancam. Tanpa adanya komunikasi yang jelas dan pengertian yang mendalam, hubungan bisa menjadi siklus negatif yang sulit diputus.
Memahami akar penyebab dari kecenderungan avoidant attachment sangat penting agar kita dapat berempati dengan pasangan yang memiliki kecenderungan ini dan mengatasi tantangan yang ada. Salah satu faktor utama yang sering kali berkontribusi pada perkembangan pola ini adalah pengalaman masa kecil. Seseorang dengan avoidant attachment berasal dari latar belakang di mana kebutuhan emosional mereka tidak terpenuhi atau diabaikan, mengajarkan mereka bahwa kedekatan dengan orang lain bisa berbahaya dan rentan.
ADVERTISEMENT
Misalnya, jika seorang anak sering merasa diabaikan atau tidak didukung saat mengalami kesedihan, mereka bisa belajar untuk menekan emosi dan menghindari ketergantungan pada orang lain. Hal ini kemudian terbawa ke dalam hubungan dewasa mereka, di mana mereka lebih memilih untuk menjaga jarak emosional sebagai langkah perlindungan.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, kamu bisa mulai memahami bahwa perilaku pasangan dengan kecenderungan avoidant bukanlah hal yang bersifat pribadi, namun lebih merajuk pada mekanisme pertahanan diri yang dibentuk dari pengalaman hidup mereka.
Kamu juga mungkin sudah memahami bahwa menjalin hubungan dengan seseorang yang memiliki kecenderungan avoidant attachment bisa menjadi sebuah tantangan. Namun, jangan khawatir! Ada beberapa stategi yang dapat membantu menavigasi hubungan ini agar tetap harmonis dan saling mendukung. Yuk, kita simak bersama!
ADVERTISEMENT
Salah satu langkah paling penting dalam merangkul pasangan dengan avoidant attachment adalah dengan membangun kepercayaan. Proses ini mungkin memerlukan waktu, jadi bersabarlah. Mulailah dengan menunjukkan ketulusan dan konsistensi dalam perilaku kamu. Usahakan untuk tidak terburu-buru dalam meminta kedekatan emosional, tetapi berikan mereka ruang untuk merasa nyaman. Ketika mereka melihat bahwa kamu bisa diandalkan, kepercayaan bisa tumbuh secara alami.
Satu kunci untuk memahami dan mengatasi tantangan dalam hubungan adalah dengan berkomunikasi secara terbuka. Cobalah untuk menyampaikan perasaanmu tanpa menghakimi. Misalnya, ungkapkan apa yang kamu rasakan ketika jarak emosional muncul, tetapi lakukan dengan nada yang lembut. Ini akan membantu pasanganmu memahami bahwa kamu tidak ingin menuntut terlalu banyak, tetapi lebih kepada mencari cara berhubungan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Apresiasi sifat mandiri pasanganmu. Terkadang, orang dengan kecenderungan avoidant merasa tertekan ketika mereka merasa terlalu terikat. Jadi, berikanlah ruang bagi mereka untuk mengekspresikan diri tanpa merasa terjepit. Ajak mereka beraktivitas yang bisa dilakukan sendiri, seperti hobi pribadi mereka, sambil tetap menjaga kehadiranmu di samping mereka. Ini akan membantu mereka merasa lebih aman dan menghargai kehadiran kamu.
Ciptakan pengalaman positif yang memperkuat ikatan kalian. Ajak pasangan untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan, seperti jalan-jalan, makan bersama, atau aktivitas lainnya yang mereka suka. Saat momen-momen bahagia ini terjalin, semakin besar kemungkinan mereka merasa nyaman untuk membuka diri.
Dalam menghadapi konflik, penting untuk memiliki strategi yang efektif. Cobalah untuk menghindari konfrontasi yang terlalu emosional. Jika konflik muncul, gunakan waktu untuk mendinginkan diri sebelum berdiam diri untuk berdiskusi. Ajukan pertanyaan terbuka yang memungkinkan pasangan merasa didengar, dan hindari tuduhan yang bisa membuat mereka defensif.
ADVERTISEMENT
Cobalah untuk secara aktif memahami perasaan pasanganmu terkait kebutuhannya akan ruang dan kemandirian. Ini termasuk memberikan dukungan yang mungkin mereka butuhkan, tanpa merasa terabaikan diri. Memahami bahwa pola ini berasal dari pengalaman masa lalu mereka dapat memberikan perspektif baru dalam menjalin kedekatan.
Dengan pendekatan yang penuh cinta dan pengertian ini, kamu bisa membantu pasangan yang memiliki kecenderungan avoidant untuk merasa lebih aman dan nyaman dalam hubungan kalian. Ingatlah, memahami adalah langkah awal untuk menciptakan kedekatan dan membangun hubungan yang baik adalah proses yang memerlukan waktu dan ketulusan. Yuk, terus berusaha dan buktikan bahwa cinta bisa menjembatani segala perbedaan!
Daftar Pustaka:
ADVERTISEMENT