Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Apakah Bisa Substitusi dari Nasi Demi Ketahanan Pangan Yang Lebih Baik?
7 Oktober 2024 17:19 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Zahra Haaniyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai masyarakat Indonesia, kita sering berasumsi bahwa ‘Belum Kenyang, Kalau Belum Makan Nasi,’ seolah-olah beras hanyalah sumber karbohidrat utama yang wajib dikonsumsi. Dalam konteks ini, Indonesia terhitung lama ketika menghadapi tantangan ketahanan pangan terlepas dari populasi yang beragam dan terus bertambah. Sayangnya, sugesti tersebut muncul dari konsep makan yang keliru serta kebijakan pangan yang saling tumpang tindih.
ADVERTISEMENT
Semenjak orde baru, beras menjadi bahan pangan utama dari penyeragaman konsumsi yang membuat pangan pokok lokal lainnya terabaikan. Meskipun beras sebagai komoditas superior, terlalu banyak mengkonsumsi beras dapat berdampak buruk bagi gizi dan ekonomi. Hal ini membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga dan gangguan pasokan di pasar global. Ditambah, pola makan yang sebagian besar didasarkan pada beras tidak memiliki variasi nutrisi lainnya yang ditemukan di jenis karbohidrat lain.
Faktanya, bahan pangan pokok selain beras dapat berfungsi setara sebagai sumber karbohidrat. Melalui diversifikasi pangan, konsumsi jenis makanan dapat diupayakan lebih beragam dengan gizi seimbang untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis pangan. Namun, praktik diversifikasi pangan di Indonesia belum sepenuhnya terwujud dengan baik dan masih mengalami sejumlah tantangan yang perlu diatasi.
ADVERTISEMENT
Diversifikasi pangan pada hakikatnya tidak dimaksudkan untuk mengganti peran beras sebagai pangan pokok secara total, melainkan mengubah pola konsumsi tersebut untuk gizi yang lebih baik. Meskipun terdapat pedoman untuk mengukur diversifikasi konsumsi pangan, Pola Pangan Harapan (PPH) belum mencapai angka yang maksimal. Hal ini dikarenakan transisi pergeseran konsumsi pangan merupakan langkah yang signifikan dan dapat menjadi dasar rekomendasi strategi implementasi yang lebih spesifik.
Sebagai poin pendukung, diversifikasi pangan terlihat lebih seperti ‘anjuran’ ketimbang ‘kebijakan’ yang mengikat. Kebijakan diversifikasi pangan terbaru pada Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2024 lebih mengarah kepada bagaimana meningkatkan ketersediaan aneka ragam sumber daya lokal bersamaan dengan mempromosikan praktik pertanian yang lebih berkelanjutan. Didorong oleh faktor-faktor yang menghambat seperti kebiasaan konsumsi, diversifikasi pangan membutuhkan waktu dan upaya yang cukup besar dalam implementasinya.
ADVERTISEMENT
Telah dilakukan juga berbagai program sebagai anjuran yang salah satunya melalui Gerakan Diversifikasi Pangan oleh Kementrian Pertanian sebagai antisipasi krisis pangan. Namun, program tersebut belum secara efektif dilaksanakan secara kesinambungan. Masyarakat masih kurang memahami manfaat diversifikasi pangan dan bagaimana cara mengolah pangan lokal tersebut. Meskipun masyarakat memiliki keinginan untuk mengkonsumsi pangan bergizi, tidak semua dari mereka memiliki akses untuk mendapatkannya.
Ketimpangan sosial terkait dengan pola konsumsi pangan juga terlihat bagi mereka yang dapat menikmati jenis makanan yang lebih beragam. Bagi masyarakat dengan rumah tangga berpenghasilan tinggi, lebih banyak memiliki akses untuk mensubstitusi konsumsi pangan hariannya. Terlepas dari pentingnya edukasi terkait konsumsi cakupan nutrisi, diversifikasi pangan lebih mudah dilakukan apabila terdapat kemudahan yang sama dalam mengakses pangan bagi semua orang.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, instrumen untuk mendorong diversifikasi pertanian tidak hanya bergantung kepada kebijakan harga melainkan pola pikir masyarakat itu sendiri. Pangan lokal juga cukup banyak tersebar, tetapi harga yang ditawarkan kepada masyarakat umumnya berubah karena terdapat perbandingan nilai setelah mengalami proses produksi. Alih-alih mencari alternatif bahan pangan terjangkau lainnya, mereka akan cenderung lebih memilih beras yang jelas-jelas lebih ‘mengenyangkan’. Bagi sebagian masyarakat yang menerima distribusi sumber daya pangan tersebut, akses untuk mendapatkannya belum tentu memadai.
Kemudian, kebijakan apa yang sekiranya dapat merubah kebiasaan konsumsi pangan?
Bersamaan dengan pengimplementasian kebijakan yang merubah kebiasaan dan pola pikir masyarakat terhadap pangan, sebaiknya akses atas distribusi pangan perlu diperbaiki dengan sosialisasi dan edukasi yang mengikat. Dari sana, masyarakat secara perlahan akan lebih mudah mengubah persepsi dengan ketersediaan pangan non-beras lainnya sehingga substitusi pangan pun lebih mudah dilakukan. Mengubah kebiasaan konsumsi pangan yang tidak diimbangi dengan pemerataan distribusi tentunya tidak akan berdampak secara signifikan.
ADVERTISEMENT
Konsistensi juga merupakan kunci dari perubahan itu sendiri. Evaluasi berkala terkait efektivitas program diversifikasi pangan perlu dilakukan dengan inovasi-inovasi pengembangan dan strategi promosi. Kolaborasi juga berperan sebagai elemen yang esensial dalam memperluas jangkauan terhadap seluruh pihak, misalnya melalui mahasiswa sebagai generasi penggerak perubahan.
Maka dari itu, kebijakan dibuat sebagai acuan prioritas nasional untuk mendorong berbagai pihak terlibat aktif melalui komitmen bersama. Diversifikasi pangan tidak hanya sebagai anjuran, melainkan sebuah kebutuhan mendesak untuk meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia. Dalam mendukung perubahan tersebut, kita sebagai bagian dari masyarakat dan agen perubahan dapat mengubah kebiasaan dengan mulai mengonsumsi alternatif pangan pokok lokal lainnya dan berpartisipasi dalam mempromosikan kegiatan tersebut. Melalui langkah kecil, generasi muda berperan penting sebagai konsumen yang cerdas serta menjadi pelaku usaha sosial dalam mewujudkan kedaulatan pangan.
ADVERTISEMENT