Konten dari Pengguna

Isi Cerita Pendek Karya Kuntowijoyo Berjudul "Dilarang Mencintai Bunga-Bunga"

Zahra Maulida
Mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2 Juli 2024 18:00 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zahra Maulida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Memotret Sendiri, Cover Cerpen "Dilarang Mencintai Bunga-Bunga"
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Memotret Sendiri, Cover Cerpen "Dilarang Mencintai Bunga-Bunga"
ADVERTISEMENT
Koentowijoyo lahir di Ngawen, Gunungkidul, Yogyakarta pada 18 September 1943. Dia dibesarkan dalam budaya Jawa yang kaya. Sejak muda, ia telah tertarik pada sastra dan sejarah. Ia berkuliah di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada sebelum melanjutkan studi di Amerika Serikat, di mana ia meraih gelar Master dan Ph.D. dalam Sejarah dari Universitas Connecticut. Setelah kembali ke Indonesia, ia menjadi profesor sejarah di Universitas Gadjah Mada dan juga menjadi seorang penulis terkenal. Karya-karyanya, seperti "Khotbah di Atas Bukit" dan "Mastodon dan Burung Kondor," sering mengangkat tema-tema kompleks dari sejarah dan mitologi Indonesia. Koentowijoyo juga merupakan penulis dari cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”. Meskipun meninggal pada tahun 2006, warisannya dalam sastra dan sejarah tetap berpengaruh di Indonesia dan di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Cerpen "Dilarang Mencintai Bunga-Bunga" ini menyoroti masalah yang lebih besar dari sekadar kisah seorang anak dan bunga. Buyung melambangkan kebebasan, sementara ayahnya mewakili aturan yang terlalu ketat. Penulis seolah mengingatkan bahwa terlalu banyak batasan bisa mematikan kreativitas dan cinta pada alam.
Melalui kisah Buyung, penulis mengungkap dilema universal manusia: hak menjadi diri sendiri di tengah tekanan sosial. Buyung mewakili setiap orang yang merasa terkekang oleh harapan masyarakat. Cintanya pada bunga menjadi simbol minat yang dianggap "tidak sesuai" oleh lingkungan.
Dari sudut psikoanalisis, larangan ayah Buyung bisa dilihat sebagai superego - perwakilan norma sosial. Keinginan Buyung mencerminkan id - dorongan alamiah kita. Konflik mereka menggambarkan pergulatan batin antara keinginan berekspresi dan kebutuhan diterima masyarakat.
ADVERTISEMENT
Cerita ini mengajak kita merenungkan keseimbangan antara kebebasan pribadi dan tuntutan sosial, serta pentingnya tetap setia pada diri sendiri meski dunia mungkin tidak selalu memahami.