Konten dari Pengguna

Inferioritas vs. Superioritas dalam Cerpen Anak Kebanggaan melalui Prinsip Adler

Zahra Salbiyah Aniqah Syach
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12 Mei 2025 16:09 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zahra Salbiyah Aniqah Syach tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi buku yang sudah usang dan bunga layu menggambarkan perasaan inferioritas yang mulai tumbuh dalam diri, sementara keinginan untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi terasa seperti superioritas yang hanya ada dalam angan-angan. (Sumber: https://www.istockphoto.com).
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku yang sudah usang dan bunga layu menggambarkan perasaan inferioritas yang mulai tumbuh dalam diri, sementara keinginan untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi terasa seperti superioritas yang hanya ada dalam angan-angan. (Sumber: https://www.istockphoto.com).
Sastra tidak hanya menjadi media ekspresi estetika, tetapi juga cermin kehidupan yang merekam berbagai persoalan sosial dan psikologis manusia. Cerpen sebagai salah satu bentuk karya sastra pendek memiliki kekuatan untuk menyampaikan pesan secara padat dan tajam. Dalam kajian sastra, pendekatan psikologi sastra menjadi salah satu cara untuk memahami lebih dalam karakter dan konflik batin tokoh-tokohnya. Melalui pendekatan ini, pembaca diajak menyelami sisi kejiwaan tokoh dan dinamika batin yang mendorong tindakan mereka dalam cerita. Pendekatan ini memperkaya pemahaman pembaca terhadap makna tersirat dalam karya sastra, terutama yang berkaitan dengan latar belakang psikologis tokoh. Hal ini membuka ruang bagi interpretasi yang lebih dalam terhadap pesan-pesan moral maupun kritik sosial yang disampaikan pengarang.
ADVERTISEMENT
Cerpen Anak Kebanggaan karya A.A. Navis merupakan salah satu karya sastra yang menyuguhkan potret hubungan antara orang tua dan anak dalam masyarakat yang menjunjung tinggi prestasi sebagai standar keberhasilan. Melalui tokoh Ompi, cerpen ini menampilkan harapan terlalu tinggi terhadap anak yang dapat menimbulkan tekanan, tidak hanya bagi sang anak, tetapi juga bagi orang tua itu sendiri. Cerpen ini menyuarakan kritik sosial yang halus namun tajam, terkait kecenderungan masyarakat yang menjadikan pencapaian akademik dan pengakuan sosial sebagai sumber utama kebanggaan. Selain itu, cerpen ini menggambarkan dinamika sosial yang sangat menekankan pencapaian, sehingga menciptakan perasaan tertekan bagi individu dan berdampak pada hubungan antar pribadi. Konflik batin yang dialami tokoh-tokohnya juga mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh individu dalam memenuhi ekspektasi masyarakat dan keluarga.
ADVERTISEMENT
Artikel ini akan membahas cerpen Anak Kebanggaan dengan pendekatan psikologi sastra menggunakan teori psikologi Individual dari Alfred Adler. Fokus analisis diarahkan pada dua prinsip dasar dalam teori tersebut, yaitu inferioritas (rasa rendah diri) dan superioritas (dorongan untuk unggul). Prinsip-prinsip ini akan digunakan untuk mengurai motivasi tokoh, konflik batin yang dialami, serta dinamika kepribadian yang mendorong tindakan-tindakan dalam cerita. Dengan pendekatan ini, pembaca diharapkan mampu menelusuri aspek psikologis tokoh Ompi dalam merespons harapan yang ia tujukan kepada anaknya, serta melihat peran rasa rendah diri dan dorongan untuk meraih pengakuan sosial dalam pembentukan karakter dan kepribadiannya.
1. Prinsip Inferioritas
Menurut Alfred Adler, sebagaimana dikutip oleh Irawan (2015), Prinsip inferioritas adalah dorongan psikologis yang muncul dari perasaan rendah diri dalam diri seseorang. Perasaan ini timbul saat seseorang merasa belum mampu mencapai sesuatu yang dianggap penting atau bernilai, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh lingkungan sosialnya. Setiap manusia memiliki kecenderungan untuk merasa rendah diri ketika melihat orang lain mampu mencapai hal-hal yang belum bisa ia capai. Perasaan ini biasanya muncul karena adanya keinginan untuk menyaingi atau melampaui orang lain, sehingga mendorong individu untuk terus berkembang. Namun, meski sudah mencapai suatu tingkat perkembangan, sering kali muncul lagi perasaan kurang ketika melihat orang lain yang lebih unggul. Artinya, manusia selalu terdorong oleh rasa tidak puas dan ingin menjadi lebih baik. Adler juga mengenalkan konsep masculine protest, yaitu dorongan untuk menutupi rasa rendah diri yang berkaitan dengan kelemahan atau sifat kewanitaan, sehingga seseorang berusaha menjadi kuat dan unggul sebagai bentuk respons terhadap perasaan tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat ditemukan kutipan dalam cerpen mengenai tokoh Ompi yang menunjukkan adanya perasaan rendah diri sekaligus dorongan untuk mendapat pengakuan. Berikut ini kutipan yang ditemukan:
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menunjukkan perasaan rendah diri dari tokoh Ompi atau ayah Indra Budiman. Ia tidak hanya merasa sedih karena kehilangan seseorang, tetapi juga merasa kecewa pada dirinya sendiri karena belum berhasil menjadikan anaknya seorang dokter. Dalam pandangan Alfred Adler, perasaan rendah diri seperti ini muncul saat seseorang menyadari bahwa dirinya belum mampu mencapai harapan atau tujuan tertentu. Dalam hal ini, sang ayah memiliki harapan besar agar anaknya menjadi dokter, yaitu profesi yang dianggap penting, berguna, dan terhormat di mata masyarakat. Ketika ada orang yang meninggal dan ia merasa anaknya belum bisa membantu karena belum menjadi dokter, muncul rasa bersalah dan ketidakberdayaan. Ia merasa gagal memenuhi peran sebagai orang tua. Ucapan "belum sanggup menghindarkan kemalangan ini" menunjukkan bahwa dia merasa memiliki tanggung jawab, meskipun tidak secara langsung terlibat. Ia mengukur harga dirinya dari pencapaian anaknya. Rasa rendah diri ini tidak hanya muncul karena membandingkan diri dengan orang lain, tetapi juga karena tidak mampu memenuhi ekspektasi pribadinya sendiri. Perasaan rendah diri semacam ini adalah hal yang wajar dan bisa menjadi dorongan untuk terus berkembang. Namun, jika tidak disikapi dengan sehat, perasaan tersebut juga bisa membuat seseorang merasa putus asa atau tidak berharga.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan perasaan rendah diri (inferiority feeling) yang dirasakan oleh tokoh ayahnya. Ia merasa kecewa dengan kondisi rumah-rumah di lingkungannya yang dianggapnya kuno dan kurang modern. Dalam benaknya, ia membayangkan jika anaknya menjadi seorang insinyur, maka anaknya bisa membantu masyarakat dengan menciptakan rumah-rumah yang lebih baik dan indah. Perasaan rendah diri ini muncul karena sang ayah merasa tidak mampu memberikan perubahan yang signifikan untuk memperbaiki kondisi tersebut. Keinginan untuk memiliki anak yang sukses, terutama di bidang yang dianggap penting, seperti insinyur. Hal ini menunjukkan harapan besar yang dimiliki ayahnya terhadap anaknya. Ia membandingkan kondisi saat ini dengan ideal yang ada dalam pikirannya, yaitu anak yang bisa memberi solusi nyata bagi masalah-masalah sosial, seperti desain rumah yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan prinsip inferioritas menurut Adler yang menyatakan bahwa perasaan rendah diri muncul ketika seseorang merasa tidak dapat mencapai tujuan atau harapan tertentu. Perasaan tersebut mendorong individu untuk terus berusaha mencapai kondisi yang lebih baik, namun juga bisa menumbuhkan rasa kecewa atau putus asa jika harapan tersebut belum tercapai.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan perasaan rendah diri yang muncul dalam bentuk penolakan dan kemarahan. Tokoh ayah merasa dirinya atau anaknya diragukan oleh orang lain. Ketika orang lain mencoba menyampaikan kebenaran, ia justru menolaknya dan bereaksi dengan memaki, serta menuduh orang lain sebagai iri hati. Ini menunjukkan adanya ketakutan dalam diri sang ayah untuk menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan atau kebanggaannya terhadap anaknya. Dalam konteks prinsip inferioritas menurut Alfred Adler, perasaan rendah diri bisa membuat seseorang bersikap defensif, terutama saat dirinya merasa terancam atau tidak dihargai. Penolakan terhadap masukan dan kecenderungan menyalahkan orang lain menjadi cara untuk melindungi harga diri yang rapuh. Sang ayah tidak siap menghadapi kenyataan yang mungkin menunjukkan bahwa anaknya tidak seistimewa yang ia bayangkan. Oleh karena itu, ia menutupi rasa tidak aman dan rendah dirinya dengan kemarahan dan tuduhan kepada orang lain. Reaksi ini memperlihatkan bahwa rasa tidak mampu atau kegagalan, jika tidak diolah dengan baik, dapat menimbulkan konflik dengan lingkungan sekitar dan memperkuat perasaan inferioritas itu sendiri
ADVERTISEMENT
Melalui kutipan-kutipan tersebut, tokoh Ompi digambarkan memiliki harapan yang tidak tercapai. Ketika harapan itu gagal terwujud, Ompi memilih untuk menyangkal kenyataan dan tidak mau menerima keadaan yang menjadi tanda adanya konflik batin dan ketidakmampuan menerima kekurangan diri. Rasa benci dan dendam yang begitu kuat kepada orang tua yang memiliki anak gadis cantik menunjukkan bahwa Ompi merasa kurang atau rendah diri dalam hal tertentu, entah karena tidak memiliki keluarga atau kehidupan yang ia anggap ideal. Perasaan ini lalu muncul dalam bentuk emosi negatif seperti kebencian dan dendam, sebagai mekanisme pelampiasan terhadap rasa tidak puas pada dirinya sendiri. Dalam teori inferioritas menurut Alfred Adler, perasaan rendah diri sering kali mendorong seseorang untuk bersikap reaktif atau defensif. Dalam hal ini, Ompi tidak memilih untuk berkembang, melainkan larut dalam kekecewaan dan menyalahkan orang lain. Ia menganggap kebahagiaan atau keberhasilan orang lain sebagai ancaman bagi harga dirinya. Dengan demikian, kutipan-kutipan ini memperlihatkan bahwa Ompi menanggapi rasa rendah dirinya bukan dengan usaha berkembang, tetapi dengan sikap penolakan dan dendam.
ADVERTISEMENT
2. Prinsip Superioritas
Menurut Alfred Adler, sebagaimana dikutip oleh Irawan (2015), prinsip superioritas adalah dorongan alami dalam diri manusia untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Setiap individu secara naluriah ingin berkembang, merasa mampu, dan terbebas dari perasaan rendah diri. Oleh karena itu, manusia terdorong untuk meraih keunggulan, baik dalam bentuk prestasi, kekuasaan, pengaruh, maupun kemampuan pribadi. Dorongan ini muncul sebagai usaha untuk mengatasi kelemahan, kekurangan, atau pengalaman tidak menyenangkan yang pernah dialami. Dalam prosesnya, manusia akan terus berjuang, belajar, dan beradaptasi demi mencapai versi terbaik dari dirinya sendiri. Prinsip ini bersifat universal, artinya dimiliki oleh setiap orang tanpa memandang waktu, tempat, maupun latar belakang. Melalui prinsip superioritas, manusia tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga terus berupaya untuk berkembang, meningkatkan kualitas diri, dan meraih keberhasilan dalam hidup. Prinsip superioritas ini tidak hanya tercermin dalam pemikiran atau tindakan individu secara pribadi, tetapi juga dalam harapan dan pandangan orang lain terhadap individu tersebut. Dalam konteks keluarga, misalnya, dorongan untuk menjadi lebih baik sering kali muncul dari keinginan orang tua agar anaknya meraih posisi yang tinggi dalam masyarakat. Harapan tersebut bisa menjadi motivasi bagi anak untuk mencapai keberhasilan yang dianggap superior secara sosial. Hal ini terlihat jelas dalam kutipan berikut:
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan harapan orang tua kepada anaknya agar menjadi seorang dokter. Dalam konteks prinsip superioritas, harapan ini mencerminkan keinginan untuk meraih posisi atau status yang dianggap lebih tinggi di mata masyarakat. Profesi dokter dipandang sebagai pekerjaan yang mulia, bermanfaat bagi banyak orang, dan memiliki kedudukan yang tinggi secara sosial. Ucapan “Dengan begitu kau akan disegani orang” secara langsung menunjukkan bahwa dorongan untuk menjadi dokter bukan hanya demi kebaikan orang lain, tetapi juga demi mendapatkan penghargaan, rasa hormat, dan pengakuan dari lingkungan sekitar. Hal ini sejalan dengan prinsip superioritas yang menunjukkan bahwa manusia terdorong untuk mengatasi perasaan rendah diri dan berusaha mencapai keunggulan dalam hidupnya, baik melalui kekuatan, prestasi, maupun posisi sosial. Secara keseluruhan, kutipan ini menunjukkan bahwa keinginan untuk menjadi lebih baik, terutama melalui pendidikan dan profesi, merupakan usaha manusia untuk meraih keunggulan (superioritas). Usaha ini pada akhirnya dapat meningkatkan harga diri, serta memberikan identitas sosial yang dihormati oleh lingkungan sekitar.
ADVERTISEMENT
Keinginan untuk meraih keunggulan dan status sosial yang lebih tinggi terkadang dihadapkan pada kenyataan bahwa orang-orang di sekitar sudah memiliki penilaian terhadap diri seseorang berdasarkan sikap dan perilakunya. Jika sikap yang ditunjukkan bertolak belakang dengan impian yang disampaikan, maka keraguan atau cemoohan pun dapat muncul. Hal ini terlihat dalam kutipan yang menggambarkan bahwa harapan untuk menjadi dokter, justru disambut dengan penolakan karena orang-orang di sekitar sudah mengetahui sikap Indra Budiman di kota dan menganggap impian Ompi tidak akan terwujud. Berikut ini kutipannya:
Kutipan ini menggambarkan ucapan Ompi atau ayah Indra Budiman yang menanggapi pandangan orang-orang terhadap anaknya. Ucapan "Awaslah nanti. Kalau Indra Budimanku sudah jadi dokter, akan kuludahi mukamu semua. Sombong" ditujukan kepada orang-orang yang dianggap sombong, terutama yang memiliki anak gadis cantik dan tidak ingin anaknya menikah dengan Indra. Dalam hal ini, Ompi ingin menunjukkan bahwa meskipun orang-orang di sekitar meremehkan anaknya dan menganggap impian untuk menjadi dokter hanya angan-angan semata, ia tetap merasa bangga dan percaya bahwa impian itu bisa terwujud. Kutipan ini dapat dikaitkan dengan prinsip superioritas menurut Alfred Adler yang menekankan dorongan manusia untuk mengatasi rasa rendah diri dan mencapai keunggulan. Ompi percaya bahwa menjadi seorang dokter akan memberikan anaknya status yang lebih tinggi dalam masyarakat, serta mengubah pandangan negatif orang-orang terhadap anaknya. Namun, meskipun Ompi bertekad untuk membuktikan bahwa impian tersebut bisa tercapai, orang-orang di sekitar sudah memiliki pandangan berbeda tentang anaknya yang dinilai tidak mampu atau tidak memiliki kualitas yang dibutuhkan untuk mewujudkan impian tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks superioritas, Ompi menunjukkan rasa hormat terhadap profesi dokter sebagai pencapaian yang lebih tinggi di mata masyarakat, serta ingin anaknya mencapai hal tersebut untuk membuktikan bahwa dirinya mampu mengatasi keraguan dan meraih status sosial yang lebih tinggi. Akan tetapi, masyarakat yang sudah tahu sikap Indra di kota, menganggap bawah impian Ompi hanyalah sebuah harapan kosong. Hal ini menegaskan bahwa dalam prinsip superioritas, dorongan untuk mencapai keunggulan tidak hanya terkendala oleh usaha individu, tetapi juga oleh penilaian sosial yang sering kali menjadi hambatan besar dalam meraih status yang dianggap lebih tinggi.
Daftar Pustaka
Irawan, Eka Nova. (2015). Buku Pintar Pemikiran Tokoh-Tokoh Psikologi dari Klasik sampai Modern. Yogyakarta: Bunga Ircisod.
ADVERTISEMENT
Navis, A.A. (1986). Robohnya Surau Kami. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.