Konten dari Pengguna

Mengintegrasikan Kognitif, Metakognitif, dan Konstruktivisme dalam Pembelajaran

Zahra Salbiyah Aniqah Syach
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3 Oktober 2024 8:31 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zahra Salbiyah Aniqah Syach tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak kecil sedang menulis di kertas. (Sumber: https://www.istockphoto.com).
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak kecil sedang menulis di kertas. (Sumber: https://www.istockphoto.com).
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pembelajaran di sekolah tidak hanya berfokus pada penyampaian materi, tetapi melibatkan berbagai teori yang mendukung perkembangan kognitif, metakognitif, dan konstruktivisme. Setiap teori belajar memberikan pendekatan yang berbeda dalam membentuk pemahaman siswa. Ketiga teori ini menekankan pentingnya proses berpikir, pengalaman, dan interaksi dalam meningkatkan kualitas pembelajaran siswa, serta mampu mengembangkan strategi belajar yang lebih efektif. Berikut ini penjelasan terkait teori belajar kognitif, metakognitif, dan konstruktivisme.
ADVERTISEMENT
1. Kognitif
Teori belajar kognitif menekankan pentingnya proses berpikir dalam pembelajaran. Pemahaman seorang individu akan meningkat atau bahkan mengalami perubahan melalui pengalaman belajarnya. Proses kognitif meliputi beberapa tahapan, seperti pemahaman, analisis, dan penerapan yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Dalam perihal ini, peran guru sangatlah penting, yakni sebagai fasilitator untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa. Seorang guru bukan hanya sebatas mengajarkan, tetapi juga turut mendukung siswa untuk mengembangkan pemikiran kritisnya. Misalnya, ketika seorang siswa memahami terkait suatu prinsip tertentu, mereka akan melalui proses pemikiran yang awalnya hanya sebatas mengetahui (knowledge) hingga akhirnya memahami (understanding). Hal ini dapat dihubungkan dengan taksonomi bloom yang memfokuskan pada perkembangan berpikir dari tingkat dasar hingga tingkat analisis dan rekonstruksi.
ADVERTISEMENT
Contoh lainnya, ketika seorang anak kecil yang berinteraksi dengan objek baru, seperti cabai. Jika orang tua melarang anak tersebut untuk tidak menyentuh cabai tanpa memberikan penjelasan, maka anak tidak akan memahami alasan orang tua memberikan larangan tersebut. Di sisi lain, ketika orang tua memberikan kesempatan pada anak untuk menyentuh cabai dan menjelaskan bahwa cabai itu rasanya pedas, maka anak tersebut akan belajar dan memahami atas pengalaman langsung yang dilakukannya. Melalui pengalaman langsung ini, memungkinkan anak untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan apa yang telah mereka pahami sebelumnya, sehingga menghasilkan pemahaman yang mendalam. Proses ini mencerminkan pendekatan kognitif dengan menekankan bahwa pemahaman dibangun melalui pengalaman, analisis, dan refleksi atas tindakan yang dilakukan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks pendidikan, pembelajaran yang berorientasi pada kognitif memfokuskan pada pentingnya proses berpikir kritis, bukan hanya sebatas hafalan semata. Siswa diajak untuk berpikir dengan aktif, mengolah informasi yang didapat, dan menganalisis terhadap sesuatu yang dipelajarinya. Dengan demikian, pemahaman yang diperoleh akan lebih bermanfaat dan mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-harinya.
2. Metakognitif
Metakognitif merupakan kemampuan untuk mengontrol dan memonitor proses berpikir. Dalam ruang lingkup pendidikan, metakognitif ini dapat membantu siswa untuk merancang strategi belajar yang lebih efektif. Seorang siswa yang memiliki kemampuan metakognitif tinggi akan mampu mengidentifikasi masalah dalam proses belajarnya dan berusaha untuk menemukan cara dalam menyelesaikan masalah tersebut. Hal ini biasa disebut dengan problem solving.
Proses metakognitif dapat diimplementasikan pada berbagai tingkatan usia, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Metakognitif ini tidak hanya membantu siswa dalam mengenali kelemahan dan kelebihan mereka dalam belajar, tetapi juga memberikan kesadaran terkait cara belajar yang paling efektif dengan kebutuhan pribadinya. Dengan kemampuan ini, siswa dapat dengan mudah mengatur dan memonitor proses belajarnya. Selain itu, dapat dikatakan pula bahwa metakognitif berkaitan dengan perencanaan dan evaluasi diri. Metakognitif berperan pula dalam pengambilan keputusan yang lebih baik saat dihadapkan dengan berbagai tantangan dalam proses belajar. Siswa dengan kemampuan metakognitif akan mampu menilai berbagai alternatif terkait solusi, sebelum menentukan langkah yang tepat untuk melakukannya. Mereka akan memprediksi hasil dari setiap pilihan yang diambil, sehingga memperbesar peluang keberhasilannya dalam menyelesaikan berbagai tantangan yang ada.
ADVERTISEMENT
Kemampuan metakognitif juga mampu meningkatkan kemandirian siswa dalam proses belajarnya. Seorang siswa yang mampu mengelola proses berpikirnya, ia akan dengan mudah beradaptasi dalam berbagai situasi belajar yang dinamis. Siswa tersebut akan mampu mengidentifikasi strategi yang tepat dalam proses belajarnya. Melalui hal ini, dapat mendorong siswa untuk belajar dari kesalahan atau dapat dikatakan bahwa siswa tersebut mampu mengevaluasi dirinya dan memperbaiki cara berpikirnya dengan lebih baik. Dengan adanya kemampuan ini, siswa tidak hanya mampu mengatasi berbagai tantangan yang berkaitan dengan akademiknya, tetapi juga mampu mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pemanfaatan kemampuan metakognitif pada diri siswa, dapat membantu mereka lebih terampil dalam menghadapi perubahan, berinovasi, dan menyesuaikan dirinya dengan berbagai situasi.
ADVERTISEMENT
3. Konstruktivisme
Pendekatan konstruktivisme adalah teori belajar yang menekankan bahwa pengetahuan dibangun oleh individu melalui interaksi dengan lingkungannya. Dalam hal ini, siswa tidak hanya menerima informasi secara pasif, tetapi aktif membentuk pemahaman mereka sendiri berdasarkan pengalaman dan refleksi diri. Konstruktivisme menanamkan bahwa pembelajaran adalah proses untuk membangun. Siswa dapat menggunakan analisis SWOT atau strategi perencanaan lainnya untuk mencapai tujuan belajarnya. Proses ini juga didukung oleh pengalaman, refleksi, dan kemampuan metakognitif yang dapat membantu siswa dalam menyelesaikan konflik kognitif dan menemukan makna dari pembelajaran.
Pendekatan ini sangat bermanfaat dalam merancang pembelajaran yang lebih personal, siswa diajak untuk merencanakan terkait apa yang ingin dicapainya dan bagaimana cara untuk bisa mewujudkannya. Misalnya, pada seorang siswa yang ingin mendapatkan nilai tinggi, maka siswa tersebut akan merencanakan langkah-langkah yang dibutuhkan, seperti dengan mengatur waktu dengan baik, memilih metode belajar yang paling sesuai dengan dirinya, sehingga hasil yang diharapkan dapat terwujud.
ADVERTISEMENT
Pendekatan konstruktivisme juga menekankan pentingnya aspek sosial dalam proses belajar. Teori ini berpendapat bahwa pengetahuan dibangun dengan adanya interaksi sosial, baik itu guru, teman, dan masyarakat di lingkungan sekitar. Dalam hal pendidikan, guru memiliki peranan penting dengan memahami perkembangan kognitif siswa, serta teori belajar yang relevan. Melalui pemahaman ini, guru dapat membangun suasana pembelajaran yang lebih terarah dan efektif bagi siswa. Selain itu, kemampuan untuk mengaitkan antara materi baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya juga ditekankan pada pendekatan konstruktivisme ini. Pembelajaran dapat dikatakan efektif ketika siswa mampu menghubungkan pengetahuan baru dengan konsep yang telah dipahami sebelumnya. Dengan demikian, pendekatan konstruktivisme mengarah pada hal-hal yang sifatnya lebih personal dan berkolaborasi dalam pembelajaran melalui pemahaman yang mendalam.
ADVERTISEMENT