Konten dari Pengguna

Mengungkap Citraan melalui Simbol dalam Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga

Zahra Salbiyah Aniqah Syach
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8 Mei 2024 14:16 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zahra Salbiyah Aniqah Syach tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto bunga berwarna merah muda. (Sumber: https://www.pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto bunga berwarna merah muda. (Sumber: https://www.pexels.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Hidup harus penuh dengan bunga-bunga. Bunga tumbuh, tidak peduli hiruk-pikuk dunia. Ia mekar, memberikan kesegaran, keremajaan, keindahan. Hidup adalah bunga-bunga. Aku dan kau adalah salah satu bunga. Kita adalah dua tangkai anggrek. Bunga indah bagi diri sendiri dan yang memandangnya. Ia setia dengan memberikan keindahan. Ia lahir untuk membuat dunia indah. Tataplah sekuntum bunga dan dunia akan terkembang dalam keindahan di depan hidungmu. Tersenyumlah seperti bunga.” - Kuntowijoyo
ADVERTISEMENT
Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga merupakan karya Kuntowijoyo yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1992. Cerpen ini mengeksplorasi terhadap larangan dan keinginan yang dialami tokoh utama untuk mencapai ketenangan jiwa. Cerita ini menyoroti perjuangan seorang anak untuk memahami arti dari sebuah ketenangan jiwa melalui berbagai hal yang terjadi di dalam kehidupannya. Hubungan dekatnya dengan kakek tua tersebut memberikan pemahaman terhadap makna kehidupan melalui filosofis bunga-bunga yang menggambarkan sebagai ketenangan jiwa. Walaupun, hal itu sangat bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh ayahnya.
Citraan merupakan suatu bentuk bahasa yang disampaikan oleh penulis untuk menggambarkan sesuatu yang terjadi di dalam cerita. Citraan memainkan peran penting dalam sebuah cerita karena dapat berfungsi untuk menghidupkan suasana dalam penyampaian cerita. Melalui citraan ini pembaca akan memperoleh gambaran secara penuh terkait suasana dan perasaan yang disampaikan oleh pengarang melalui cerita yang dituliskannya. Dalam tulisan ini akan membahas mengenai citraan yang terkandung di dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga. Citraan yang akan dibahas, yakni citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan penciuman, citraan gerak, dan citraan rabaan.
ADVERTISEMENT
Citraan Penglihatan
Bunga-bunga merah, biru, kuning, ungu. Daun-daunnya hijau. Kumbang terbang antara bunga-bunga. Tanah basah. Daun bergoyang, bayang-bayang matahari. Oya, ayam jantan berkeliaran antara bunga-bunga, berbulu indah dan lagi lari memburu betina.
Kutipan tersebut memberikan gambaran terhadap suasana di sekeliling rumah kakek tua itu. Penyebutan warna memberikan gambaran akan bunga-bunga yang beragam jenisnya. Hal ini membuat pembaca dapat membayangkan taman bunga yang indah penuh dengan keasriannya. Kumbang yang terbang memberikan gambaran bahwa di taman itu tidak hanya tumbuhan saja yang hidup, tetapi banyak serangga yang terbang dan hinggap diantara bunga-bunga tersebut. Tanah yang basah memberikan gambaran bahwa tanah itu subur dan selalu dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Daun-daun bergoyang dan bayang-bayang matahari memberikan gambaran bahwa terdapat angin yang bertiup dengan pencahayaan matahari yang baik di rumah tersebut. Selain itu, digambarkan pula ayam jantan yang memiliki bulu yang indah dan sedang mengejar ayam betina.
ADVERTISEMENT
Citraan Pendengaran
“Jangan sedih, cucu,” katanya. Suara itu serak dan berat
Kutipan pada awal kalimat “Jangan sedih, cucu” hal ini memberikan gambaran kepada pembaca terkait suara kakek dengan nada yang tenang dan lembut, serta penuh dengan kasih sayang. Suara serak dan berat menggambarkan usianya yang sudah tua, namun penuh dengan kebijaksanaan dan ketenangan bagi siapapun yang mendengarnya.
Sehabis makan ia bekerja di bengkel muka rumah, memukul-mukul besi. Seperti dalam bengkel, rumahku jadi gaduh. Kawan-kawan ayah membantunya, dengan pukulan-pukulan besi. Sekali ayah membawa dinamo dan dung-dung-dung mesin itu memenuhi udara.
Kutipan ini memberikan gambaran terkait aktivitas fisik yang dilakukan secara bersamaan, berupa memukul-mukul besi, sehingga menimbulkan suara kebisingan. Hal ini jelas sangat mengganggu bagi anaknya yang mencintai kedamaian dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
Citraan Penciuman
Saputanganku semerbak wangi bunga. Aku menghirup sekuatnya wewangi itu.
Kutipan ini menggambarkan saputangan yang wangi akan bunga-bunga. Kata “semerbak” dapat diartikan bahwa wangi bunga-bunga itu sangat kuat, serta memberikan kesan yang menyenangkan bagi siapa pun yang mencium wanginya.
Masuklah ke kamarku, kapan saja, bau harum bunga! Dan mataku takkan puas-puasnya menikmati warna indah bunga-bunga.
Kutipan ini menggambarkan kamarnya yang wangi dan indah akan bunga-bunga yang ada. Wangi bunga-bunga menggambarkan kamar yang bersih dan rapi, serta dapat memberikan kesan kenyamanan dari kamar tersebut. Hal ini membuat pembaca dapat membayangkan wangi kamar yang indah penuh dengan bunga-bunga.
Citraan Gerak
Ayahku mengangguk saja kepada orang sekitar bila kebetulan berpapasan, lalu buru-buru masuk rumah.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan sosok ayah yang tidak banyak berbicara dan berusaha untuk menghindari tetangganya. Kata mengangguk merupakan bentuk interaksi nonverbal yang dilakukan ayahnya kepada tetangga yang ditemuinya. Pada kata buru-buru masuk rumah, hal ini memberikan gambaran kepada pembaca bahwa ayahnya adalah orang yang sangat tertutup dan tidak banyak berbaur dengan tetangga rumahnya. Dengan hal ini pembaca dapat membayangkan karakter ayahnya dengan jelas bahwa ia merupakan seseorang yang sulit untuk bergaul dengan tetangganya. Lain halnya, dengan sosok ibu yang mudah untuk bergaul dengan tetangga sekitar.
Pulang sekolah aku memanjat tembok pagar dari sebatang pohon kates, berjalan mondar-mandir di atas, mengintai rumah tua itu.
Kutipan ini menggambarkan tindakan yang dilakukan oleh anak kecil sebagai tokoh utama untuk mengetahui rumah tua tersebut. Anak kecil itu memiliki rasa keingintahuan yang begitu besar terhadap rumah tua di sebelah rumahnya. Memanjat tembok pagar menggambarkan aktivitas fisik yang dilakukan untuk meraih sesuatu dengan posisi lebih tinggi. Hal ini dapat dibayangkan tembok pagar yang begitu tinggi, sehingga untuk melihatnya perlu memanjat dari pohon kates. Berjalan mondar-mandir memberikan gambaran pada pembaca terkait suatu tindakan berupa berjalan yang dilakukan secara berulang-ulang. Selain itu, mengintai rumah menggambarkan sesuatu hal yang sedang diperhatikan dengan baik dan penuh kehati-hatian. Dalam hal ini, memperjelas pandangan pembaca terhadap anak kecil yang diceritakan bahwa anak kecil tersebut memiliki keingintahuan yang besar, sehingga segala cara ia lakukan untuk mengetahui isi dari rumah tua itu.
ADVERTISEMENT
Citraan Rabaan
Ayah meraih, merenggutnya dari tanganku. Kulihat bungkah otot tangan ayah menggenggam bunga kecil itu. Ayah melemparkan bunga itu. Tangkai bunga itu patah-patah. Selembar daun bunganya luka.
Kutipan ini memberikan gambaran pada sosok ayahnya yang memiliki sifat yang kasar. Otot tangan ayah yang begitu kuat menggenggam bunga kecil itu dengan sekuat tenaga, sehingga menyebabkan bunga yang indah tersebut menjadi rusak karena adanya sentuhan fisik yang sangat kasar. Bunga dapat dibayangkan dengan teksturnya yang halus dan lembut, namun dapat dengan mudah rusak, serta hancur ketika digenggam dengan penuh kekerasan.
Aku sadar, menangis ialah kesia-siaan. Aku tersenyum. Kakek menghapus air mata dari kulit-kulit mukaku.
Kutipan ini menggambarkan adanya interaksi fisik antara kakek dan anak kecil. Tindakan menghapus air mata menjelaskan adanya sentuhan fisik yang mampu memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi anak kecil yang sebelumnya mengalami kekecewaan pada ayahnya. Kakek tua tersebut dapat digambarkan sebagai sosok yang penuh kasih sayang dan bersikap tenang dalam menyikapi segala sesuatu.
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
Kuntowijoyo. (1992). Dilarang Mencintai Bunga-bunga. Jakarta: Noura Books.
Nurgiyantoro, Burhan. (2013). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wellek, Rene dan Austin Warren. (1990). Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Indonesia.