Konten dari Pengguna

Resensi Novel Dewi Rimba: Menguak Cinta dan Tradisi di Tengah Kepercayaan Mistik

Zahra Salbiyah Aniqah Syach
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24 Oktober 2024 17:17 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zahra Salbiyah Aniqah Syach tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hutan yang gelap dan penuh hal-hal mistik. (Sumber: https://www.istockphoto.com/id).
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hutan yang gelap dan penuh hal-hal mistik. (Sumber: https://www.istockphoto.com/id).
ADVERTISEMENT
Identitas Buku
Judul Buku: Dewi Rimba
Penulis: M. Dahlan Idris dan Nur Sutan Iskandar
ADVERTISEMENT
Tahun Terbit: 1935
Penerbit: Balai Pustaka
Jumlah Halaman: 150 Halaman
ISBN: 979-666-179-9
Novel “Dewi Rimba” merupakan novel yang ditulis oleh M. Dahlan Idris dan Nur Sutan Iskandar pada tahun 1935. Novel ini mengisahkan percintaan sepasang pemuda yang terhalang dengan adat istiadat setempat. Novel ini pula menyajikan berbagai nilai-nilai dan kepercayaan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Selain itu pula, terdapat kepercayaan terhadap orang Bunian atau makhluk-makhluk halus. Dalam novel ini diilustrasikan secara jelas penggabungan kisah percintaan sepasang pemuda dengan unsur-unsur mistik yang sangat dipercayai oleh masyarakat.
Penulis menggambarkan secara menyeluruh terkait tradisi dan kepercayaan di masa itu, sehingga pembaca dapat membayangkan kehidupan masyarakat pada zaman tersebut. Novel “Dewi Rimba” terlihat sangat berbeda dengan novel pada umumnya. Hal ini disebabkan bahwa novel “Dewi Rimba” mengilustrasikan kehidupan manusia yang beriringan dengan makhluk-makhluk halus, seperti hantu yang dikatakan di dalam novel tersebut. Dengan menghadirkan unsur-unsur mistik di dalamnya, penulis berhasil membangun suasana yang dapat meningkatkan emosional pembacanya.
ADVERTISEMENT
Sinopsis
Novel ini mengisahkan hubungan percintaan sepasang pemuda bernama Umar dan Sariah yang berjanji untuk selalu setia dan tidak akan menikah dengan orang lain. Namun, kisah percintaan mereka harus terhalang dengan kepercayaan adat istiadat setempat. Umar merupakan anak seorang bangsawan dan bapaknya yang bernama Mat Daga merupakan kepala kampung. Berbeda dengan Umar, Sariah hanyalah masyarakat biasa yang berasal dari Tanah Alas dan dianggap sebagai kaum rendah. Perbedaan status sosial tersebut menjadi penghalang utama bagi kisah mereka. Melalui hal itu, orang tua Umar dan Sariah tidak merestui hubungan mereka berdua. Masing-masing orang tua Umar dan Sariah telah menyiapkan pasangan bagi anaknya yang setara dalam hal status sosialnya.
Di sisi lain, penghalang kisah cinta Umar dan Sariah tidak hanya terlepas dari itu saja, terdapat pula berbagai konflik lainnya. Seperti halnya, kedatangan Kubah sebagai pembantu di rumah Umar menjadi memperumit hubungan antara Umar dan Sariah. Kubah merupakan seorang janda tua yang matanya buta sebelah. Ia tidak sengaja berpapasan dengan Umar ketika berjalan. Janda tua tersebut sangat menyukai pemuda laki-laki yang belum beristri. Ketika Kubah bertemu pertama kali dengan Umar, ia langsung jatuh hati pada Umar. Segala cara dilakukan oleh janda tua tersebut untuk mendapatkan cinta Umar, seperti menjadi pembantu di rumah Umar pun merupakan bagian dari rencananya untuk mendapatkan hati Umar. Kubah awalnya tidak mengetahui bahwa Umar telah mencintai seorang gadis muda di kampungnya, tetapi akhirnya Kubah pun menyadari bahwa gadis yang dicintai Umar itu adalah Sariah. Kubah sangat membenci Sariah, sehingga Kubah pun berencana untuk memfitnah Umar kepada Sariah dengan mengatakan yang menyakitkan hati gadis perempuan itu. Selain itu, Kubah pun bersekongkol dengan Juras. Juras adalah seorang yang juga mencintai Sariah dan menjadi musuh Umar. Kubah bekerja sama dengan Juras untuk memisahkan Umar dan Sariah dengan cara yang tidak baik. Namun, cara tersebut pun tidak berhasil juga.
ADVERTISEMENT
Kubah pun tak kehabisan akal, ia pun berusaha dengan menggunakan ramuan guna-guna dari dukun yang bernama guru Dullah. Hal itu pun dilakukan oleh Kubah dengan perasaan yakinnya bahwa Umar akan jatuh ke tangannya, tetapi kehendak berkata lain, Umar justru sangat membenci Kubah. Yusuf sebagai sahabat Umar, ia sangat mencintai Sariah, tetapi cintanya tertolak oleh Sariah. Sama seperti Kubah, Yusuf pun menggunakan ramuan guna-guna untuk menghancurkan Umar dan memikat hati Sariah. Namun, hal ini tidak berjalan mulus, ramuan yang seharusnya diminum Umar, justru diminum oleh Kubah. Dengan meminum ramuan guna-guna itu, Kubah pun sakit gatal-gatal dan tidak lama kemudian ia meninggal dunia.
Berbagai penghalang yang dilakukan oleh Juras, Yusuf, dan Kubah pun sudah tidak ada. Namun, penghalang dari masing-masing orang tua Umar dan Sariah yang kini menjadi pokok persoalan. Orang tua Umar dan Sariah teguh dengan pendiriannya masing-masing dan tidak ingin merestui hubungan Umar dan Sariah, justru telah menyiapkan pasangan bagi anak-anak mereka di kampung halaman keduanya. Hal ini membuat Umar dan Sariah mengalami tekanan karena keduanya tidak ingin menikah dengan orang lain. Berbagai upaya dilakukan Umar untuk membuat orang tuanya dapat berubah pikiran dan merestui pernikahan Umar dan Sariah, seperti meminta Abang Lebar untuk datang kerumah menemui Ibu Umar dan memohon agar menyetujui pernikahan anaknya dengan Sariah, tetapi hal itu tidak dapat mengubah keputusan orang tua Umar.
ADVERTISEMENT
Di hadapan kedua orang tuanya, Umar hanya mengiyakan saja ucapan-ucapan orang tuanya dan tidak ingin membantahnya. Namun, hal ini sangat berlainan dengan apa yang ada di dalam hati dan pikirannya. Pada suatu hari, orang tua Umar pun menanyakan kesiapan Umar untuk menikah dengan Mariah yang merupakan gadis pilihan orang tua Umar di kampung halamannya. Umar meminta waktu selama enam bulan untuk menyiapkan dirinya. Saat itu, Umar hanya berdalih agar ia dapat memikirkan segala cara untuk bisa menikahkan Sariah.
Waktu telah berkurang empat bulan, Umar pun merasa cemas. Melalui hal itu, Umar pun berniat untuk menikahkan Sariah tanpa persetujuan orang tuanya. Sariah pun menyetujui keinginan Umar. Hari yang telah dinantikan Umar dan Sariah pun tiba. Namun, pada hari itu hal yang tak terduga pun terjadi. Ketika itu sampailah Umar di rumah Tuan Kadi, orang yang akan menikahkan Umar dan Sariah hari itu. Saat itu, Umar mendapat kabar bahwa Sariah telah dinikahkan oleh laki-laki yang telah dipilih ayahnya di kampung halamannya, tepatnya pada sebulan lalu. Umar terkejut dan seketika badannya sangatlah lemah. Semenjak hari itu, Umar banyak mengurung diri di kamar atau bahkan ia tidak pulang seharian ke rumah, bahkan Umar pun ingin mengakhiri hidupnya saja ketika ia tahu bahwa Sariah akan pergi meninggalkannya dan menetap bersama suaminya di Tanah Alas selama-lamanya.
ADVERTISEMENT
Ketika Umar ingin menggantungkan diri pada sehelai kain yang telah diikatkan pada kayu di atap rumahnya, terdengarlah olehnya bahwa Sariah dan keluarganya hanyut di Sungai. Umar pun bergegas mencari keberadaan Sariah yang telah hilang itu. Ketika itu, Umar bertemu dengan sosok yang menyerupai sahabatnya bernama Yusuf. Ia pun megarahkan Umar masuk ke dalam dimensi kehidupan orang-orang Bunian atau makhluk halus di sana. Umar pun melihat Sariah yang sedang duduk di atas panggung.
Di dalam cerita dikatakan bahwa Sariah telah diambil dan disembunyikan oleh orang-orang Bunian. Sariah dianggap istimewa oleh orang-orang Bunian karena ia lahir ketika gung emas kencana itu dibunyikan dan ketika usia 18 tahun pun akan ditarik oleh orang-orang Bunian ke dalam dunianya, yakni kehidupan yang tak kasat mata. Menurut kepercayaan orang Bunian pula bahwa ketika anak perempuan lahir saat gung emas kencana itu dibunyikan, maka saat usia 18 tahun, ia harus menggantikan kedudukan Dewi Pematang. Kini Sariah telah menjelma menjadi Dewi Rimba sebagai pengganti Dewi Pematang tersebut.
ADVERTISEMENT
Umar yang melihat dan mengetahui itu, ia ingin menolong Sariah agar kembali pada kehidupannya di dunia. Namun, takdir berkata lain. Seolah-olah Umar telah diperolok-olok oleh orang-orang Bunian. Saat itu Umar ditemukan warga sedang memeluk pohon dengan sangat erat, tetapi dalam penglihatan Umar itu berbeda, ia berkata sedang memeluk Sariah, yakni kekasihnya.
Umar dibawa warga pulang ke rumah. Namun, semenjak itu Umar dapat dikatakan tidak waras. Umar terlihat seperti orang gila. Pada akhirnya keinginan Umar untuk menikah dengan Sariah pun tidak dapat terlaksana. Sariah telah diambil oleh orang-orang Bunian sedangkan Umar seperti orang tidak waras hidupnya.
Kekurangan
Terdapat kekurangan novel “Dewi Rimba”, yakni penyelesaian akhir cerita yang terkesan menggantung. Pembaca tidak diberikan kejelasan terkait nasib Umar, apakah ia akhirnya menikah dengan Mariah atau tidak. Hal inilah menimbulkan rasa penasaran pembaca yang tidak dapat terpenuhi. Selain itu, terdapat pula kata-kata yang tidak sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), seperti pada kata “mencucuk”, “sukati”, “terperanyak”, “kuatir”, “terjojol”, “sekendaknya”, dan “separo”. Penggunaan kata-kata ini dapat membuat pembaca kebingungan untuk memahami teks yang dimaksud karena tidak mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
ADVERTISEMENT
Pada novel ini pula ditemukan kesalahan dalam pengetikan, seperti penyebutan nama “Abang Lebar” yang keliru dan justru ditulis menjadi “Abang Kebar”. Di sisi lain, ditemukan pula bahasa-bahasa klasik yang digunakan, dengan diksi dan gaya penulisan yang khas pada zaman tersebut. Meskipun hal ini dapat memperkaya suasana unsur-unsur tradisional. Namun, bagi pembaca, pemilihan diksi dan gaya penulisan tersebut dapat sulit untuk dipahami oleh generasi muda pada zaman sekarang, sehingga dapat mengurangi keefektifan pembacaan teks dalam mengikuti alur ceritanya.
Kelebihan
Kelebihan novel “Dewi Rimba”, yakni terdapat kekayaan budaya, adat istiadat yang digambarkan secara mendalam di dalam cerita. Novel ini berfokus pada kehidupan masyarakat Sumatra, terutama dalam hal perjodohan, kepercayaan terhadap makhluk halus, dan hubungan antara manusia dengan alam gaib. Melalui penggambaran kehidupan hutan yang penuh dengan unsur-unsur mistik, menjadikan novel ini memiliki keunikannya tersendiri. Pembaca dapat mengimajinasikan terkait suasana khas daerah Sumatra pada zaman tersebut melalui pemilihan diksi yang tepat dan menciptakan makna yang mendalam.
ADVERTISEMENT
Gaya bahasa yang digunakan di dalam novel “Dewi Rimba” sangat indah dan puitis, meskipun banyak menggunakan bahasa-bahasa klasik pada zaman tersebut. Penulis dapat memilih diksi yang tepat, memperkaya narasi melalui syair, pantun, perumpamaan, peribahasa, dan mantra. Hal ini menciptakan suasana yang dapat mengajak pembaca untuk merasakan keindahan kata-kata dan memahami maknanya secara mendalam. Melalui bahasa puitis ini, dapat pula memperkuat unsur-unsur mistik yang sangat melekat dengan isi cerita, sehingga menjadikan novel ini tidak hanya sekadar kisah percintaan biasa, tetapi terdapat penggambaran budaya dan kepercayaan masyarakat pada masa itu yang disajikan oleh penulis.
Novel “Dewi Rimba” ini memiliki nilai-nilai sejarah yang sangat penting bagi pembaca. Novel ini menjadi saksi perkembangan sastra Indonesia pada masanya. Di dalamnya penuh dengan penggambaran terkait kondisi sosial, budaya, dan pemikiran masyarakat pada zaman tersebut. Novel ini tidak hanya sebagai sebuah cerita yang bersifat fiksi, tetapi juga cerminan kehidupan masyarakat terkait tradisi, kebudayaan, dan kepercayaannya.
ADVERTISEMENT
Novel “Dewi Rimba” sangat disarankan untuk dibaca oleh generasi sekarang. Dengan kekayaan tradisi, budaya, dan kepercayaan yang diangkat, novel ini dapat memberikan wawasan mendalam mengenai kehidupan masyarakat Sumatra pada masa itu. Melalui kisah percintaan yang dipenuhi konflik dan unsur-unsur mistik, pembaca dapat mengenal lebih dalam terkait tradisi perjodohan, kepercayaan terhadap makhluk halus, serta kehidupan yang penuh dengan misteri. Membaca novel ini tidak hanya sekadar menghibur pembaca, tetapi juga dapat menghubungkan sejarah dan kearifan lokal yang mungkin sudah jarang ditemui pada karya sastra zaman sekarang.