Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Salah Asuhan: Saat Corrie dan Rapiah Menjadi Refleksi Perempuan Masa Kini
9 April 2025 10:22 WIB
·
waktu baca 18 menitTulisan dari Zahra Salbiyah Aniqah Syach tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Novel Salah Asuhan merupakan sastra klasik Indonesia karya Abdoel Moeis yang pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1928. Novel ini menyajikan konflik antara budaya Timur dan budaya Barat yang dirangkai dalam balutan cinta berujung nestapa. Lingkup tempat dalam novel ini berpusat di daerah Minangkabau, Solok, dan Jakarta. Pertentangan adat antara Minangkabau dan Belanda menjadi fokus utama dalam novel ini. Novel Salah Asuhan menghadirkan tokoh-tokoh, seperti Hanafi yang merupakan seorang pemuda pribumi berpendidikan Belanda, terdapat pula Corrie du Bussee yang digolongkan sebagai gadis keturunan Eropa. Selain itu, terdapat Rapiah dan ibu Hanafi yang merepresentasikan perempuan pribumi dengan menjunjung pada adat dan tradisi, serta Tuan dan Nyonya de Bussee yang mencerminkan kebudayaan Barat.
ADVERTISEMENT
Pada artikel ini akan menyoroti perbedaan kedua tokoh perempuan dalam novel Salah Asuhan, yaitu Corrie du Bussee dan Rapiah dengan menggunakan teori Burhan Nurgiyantoro. Menurut Nurgiyantoro (2018), perbedaan tokoh dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis, seperti (1) Tokoh utama dan tokoh tambahan, (2) Tokoh protagonis dan tokoh antagonis, (3) Tokoh sederhana dan tokoh bulat, (4) Tokoh statis dan tokoh berkembang, (5) Tokoh tipikal dan tokoh netral. Melalui analisis penokohan ini, pembahasan akan berfokus pada kategori tokoh, yaitu tokoh statis dan tokoh berkembang guna memahami perbedaan watak keduanya dalam membentuk alur cerita, serta memperkuat konflik dalam novel. Tokoh statis adalah tokoh yang tidak mengalami perubahan signifikan dalam dirinya sepanjang cerita. Karakteristik dan pandangan hidupnya cenderung tetap dan tidak terpengaruh oleh kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya. Sementara itu, tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami perubahan dalam hal watak, pemikiran, atau sikap terhadap situasi yang dihadapinya. Perubahan ini biasanya terjadi sebagai respons terhadap peristiwa atau konflik yang dialami oleh tokoh tersebut.
ADVERTISEMENT
Artikel ini juga akan membahas korelasi antara tokoh Corrie du Bussee dan Rapiah dengan kehidupan saat ini. Konflik yang dihadapi kedua tokoh mencerminkan tantangan yang masih relevan di kalangan perempuan masa kini, yaitu antara mempertahankan nilai-nilai tradisional dan mencapai kebebasan pribadi, serta kesempatan untuk berkembang dalam dunia yang semakin global. Seperti yang tergambar dalam novel Salah Asuhan, pilihan yang dihadapi oleh Corrie dan Rapiah mencerminkan adanya dilema pada perempuan dalam mencari keseimbangan antara kebebasan pribadi dan tuntutan sosial. Konflik ini menggambarkan ketegangan antara hasrat untuk mengejar impian pribadi dan tekanan untuk mematuhi norma-norma yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks ini, perjalanan kedua tokoh perempuan tersebut memberikan gambaran tentang perjuangan perempuan modern dalam menentukan arah hidup, di tengah tuntutan untuk tetap mempertahankan nilai-nilai budaya yang diwariskan.
ADVERTISEMENT
Tokoh Corrie du Bussee
1. Kebebasan dalam Pergaulan
ADVERTISEMENT
Melalui kutipan-kutipan tersebut menggambarkan karakter Corrie du Bussee sebagai sosok yang memiliki kebebasan dalam pergaulannya sesuai dengan kebudayaan Barat. Kutipan pertama menunjukkan adanya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang berlangsung dengan lebih bebas dan tanpa keterikatan pada aturan. Hal ini sejalan dengan kepribadian Corrie du Bussee yang gemar bersosialisasi, sebagaimana yang disampaikan dalam kutipan kedua. Pada kutipan ketiga terlihat bahwa sejak usia muda, Corrie du Bussee telah menganggap dirinya sebagai “nona besar” yang mampu menarik perhatian banyak laki-laki dari berbagai usia. Pesonanya membuatnya selalu dipuji dan disanjung oleh orang-orang di sekitarnya. Dengan begitu, perlahan hal tersebut dapat memengaruhi pandangannya terhadap interaksi sosial. Pada kutipan keempat menunjukkan bahwa sejak kecil Corrie du Bussee telah terbiasa menjadi pusat perhatian dalam ruang lingkup pergaulannya. Ia memiliki otoritas yang kuat, sering dipercaya untuk memimpin kegiatan, meredakan konflik, dan mengatur jalannya permainan. Sikapnya yang dinamis, penuh keyakinan, dan leluasa dalam pergaulan mencerminkan pengaruh budaya Barat yang lebih bebas daripada aturan sosial di kalangan Bumiputera pada masa itu.
ADVERTISEMENT
2. Kesombongan dan Dominasi dalam Hubungan
Melalui kutipan tersebut dapat terlihat bahwa Corrie adalah sosok yang cerdas dan terpelajar, namun pendidikan yang dimilikinya justru menumbuhkan sikap angkuh dalam dirinya. Ia menganggap dirinya setara atau bahkan lebih tinggi kedudukannya daripada Hanafi. Dalam pergaulannya dengan Hanafi, Corrie tidak hanya berinteraksi sebagai teman dekat, tetapi juga berusaha menunjukkan dominasinya, seolah-olah memiliki kendali penuh atas laki-laki tersebut. Ia merasakan kepuasan dalam menunjukkan dominasinya, terutama ketika ia mampu membuat Hanafi menuruti keinginannya. Selain itu, Corrie sangat menyukai pujian dan sanjungan, terutama yang berkaitan dengan kecantikannya. Ia begitu terobsesi dengan pengakuan orang lain terhadap keindahan parasnya, hingga siapa pun yang meragukan pesonanya akan menjadi musuhnya. Meskipun Corrie memiliki sisi baik hati, sifat sombong dan keinginannya untuk selalu diakui membuatnya sulit untuk menerima perbedaan pendapat atau kritik dari orang lain.
ADVERTISEMENT
3. Ketidaktetapan Hati dan Konflik Batin
Corrie digambarkan sebagai sosok yang mengalami ketidaktetapan hati dan konflik batin dalam hubungannya dengan Hanafi. Meskipun ia berusaha menolak perasaannya, Corrie tetap merasakan gejolak emosi yang sulit dikendalikan. Dalam salah satu kutipan, ia bahkan menyatakan bahwa dirinya mungkin terkena guna-guna, sebagai bentuk penyangkalan terhadap perasaan yang mulai tumbuh. Pergulatan antara logika dan perasaan semakin terlihat ketika ia menyadari bahwa hatinya lebih kuat daripada pikirannya, tetapi ia tetap berusaha mempertahankan prinsipnya dengan menegaskan bahwa dirinya tidak akan "membuang diri." Hal ini menunjukkan bahwa Corrie berusaha mempertahankan identitas dan budayanya sebagai seorang perempuan keturunan Barat, sehingga ia tidak ingin menyerahkan dirinya kepada Hanafi yang berasal dari kaum Bumiputera. Pada akhirnya, seiring bertambahnya usia, Corrie semakin menyadari sifat keras kepalanya dan mengakui bahwa hatinya tidak tetap, sering berubah-ubah dalam mengambil keputusan. Sikapnya ini mencerminkan konflik batin yang terus terjadi dalam dirinya antara perasaan, prinsip, dan kenyataan sosial yang dihadapinya.
ADVERTISEMENT
4. Penolakan terhadap Perkawinan Campuran
Melalui kutipan tersebut, Corrie menyadari bahwa pernikahannya dengan Hanafi dapat membawa lebih banyak kesulitan daripada kebahagiaan. Sejak awal, ia meyakini bahwa pernikahan lintas budaya, khususnya antara dirinya yang tumbuh dalam budaya Barat dan Hanafi yang merupakan seorang Bumiputera, lebih cenderung menimbulkan kesengsaraan daripada keuntungan. Kesadaran ini mendorongnya untuk menjauhi Hanafi, sebab ia tidak ingin terperangkap dalam hubungan yang dapat membatasi kebebasannya. Setelah menikah, ketakutannya terbukti, sehingga ia merasa bahwa dunia yang dahulu luas dan bebas, kini terasa terbatas. Pernyataannya bahwa dunia menjadi sempit setelah bersuami menunjukkan betapa perbedaan budaya dalam pernikahannya menciptakan keterbatasan bagi dirinya, baik secara sosial maupun emosional. Hal ini menunjukkan bahwa Corrie mengalami konflik antara cinta dan realitas, sehingga membuatnya merasa terjebak dalam kehidupan yang tidak sesuai dengan harapannya.
ADVERTISEMENT
5. Pelarian dalam Setiap Permasalahan dan Sosok yang Mandiri
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Corrie bukan sekadar menginginkan kebebasan, tetapi lebih cenderung menghindari masalah dengan cara pergi dan menjauh, terutama dari Hanafi. Setiap kali menghadapi kesulitan dalam hubungannya, ia memilih untuk meninggalkan tempat yang membuatnya merasa tertekan, tanpa tujuan yang jelas, asalkan ia merasa aman secara emosional. Sikap ini mencerminkan ketidaktetapan hatinya dalam menghadapi konflik. Meskipun demikian, Corrie juga memiliki sifat yang mandiri. Ia tidak bergantung pada orang lain dalam menjalani hidupnya, terbukti dari keputusannya untuk mencari pekerjaan setelah lulus sekolah dan juga setelah meminta cerai dari Hanafi. Dengan kemandiriannya, ia berupaya membangun kembali kehidupannya tanpa mengandalkan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ia sering menghindari masalah, tetapi Corrie memiliki tekad untuk mandiri dan berjuang dengan usahanya sendiri.
ADVERTISEMENT
6. Ketidakmampuan untuk Memaafkan
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Corrie adalah sosok yang teguh dalam pendiriannya dan sulit untuk memaafkan kesalahan orang lain, terutama suaminya. Setelah merasa dikhianati dan dituduh tanpa alasan yang jelas, ia memilih untuk pergi tanpa memberi kesempatan bagi Hanafi untuk meminta maaf atau memperbaiki keadaan. Sikapnya mencerminkan ketegasan dan kebulatan hati dalam menghadapi rasa sakit yang dialaminya. Hingga akhir hidupnya, Corrie tetap mempertahankan jarak dan tidak kembali kepada Hanafi. Meskipun Hanafi akhirnya datang ke Semarang untuk menjemputnya, Corrie yang telah menderita penyakit kolera dan akhirnya dinyatakan meninggal dunia.
Berdasarkan kutipan dan pembahasan yang telah disajikan, Corrie du Bussee dapat diklasifikasikan sebagai tokoh berkembang (karakter dinamis) dalam novel yang dijelaskan. Ia mengalami perubahan karakter seiring perjalanan hidupnya, dipengaruhi oleh pengalaman, pergaulan, dan konflik yang dihadapinya. Pada awalnya, Corrie digambarkan sebagai sosok yang bebas dalam pergaulan, percaya diri, serta dominan dalam hubungannya dengan orang lain, terutama Hanafi. Kebiasaannya bersosialisasi dan menjadi pusat perhatian mencerminkan pengaruh budaya Barat yang lebih bebas daripada norma sosial di kalangan Bumiputera. Namun, seiring berkembangnya alur cerita, Corrie mulai mengalami konflik batin yang menampilkan ketidaktetapan hatinya, terutama dalam interaksinya dengan Hanafi dan dalam menghadapi kenyataan sosial yang tidak sesuai dengan harapannya.
ADVERTISEMENT
Perubahan signifikan terjadi ketika Corrie menyadari bahwa kebebasan yang ia inginkan bertentangan dengan kenyataan kehidupan yang dijalaninya, terutama setelah menikah dengan Hanafi. Ia merasa semakin terbelenggu dan kehilangan ruang geraknya, sehingga memilih untuk pergi sebagai bentuk pelarian dari masalah. Meskipun memiliki sikap mandiri dan tegas dalam mempertahankan prinsipnya, Corrie juga menunjukkan ketidakmampuan untuk memaafkan, sehingga membawa dirinya pada penderitaan hingga kematian. Dengan demikian, perkembangan karakter Corrie menunjukkan perubahan dari sosok yang penuh percaya diri dan dominan menjadi pribadi yang dilanda kebimbangan, serta konflik batin akibat tekanan sosial dan emosional. Karakter Corrie sebagai tokoh berkembang memperlihatkan bahwa lingkungan dan pengalaman hidup dapat membentuk, serta mengubah kepribadian seseorang, baik secara psikologis maupun emosional.
ADVERTISEMENT
Tokoh Rapiah
1. Fisik dan Latar Belakang Rapiah
Kutipan tersebut menggambarkan karakter Rapiah sebagai seorang yang memiliki rupa yang tidak buruk, menunjukkan bahwa ia memiliki penampilan yang cukup menarik. Selain itu, ia menyelesaikan pendidikannya hingga tingkat HIS (Hollandsch-Inlandsche School), menandakan latar belakang pendidikan yang baik pada masanya. Lebih dari itu, Rapiah juga dibesarkan dengan baik oleh orang tuanya. Hal ini menandakan bahwa Rapiah berasal dari keluarga yang mengutamakan pendidikan dan pengasuhan yang baik, sehingga ia tumbuh menjadi pribadi yang berilmu dan berbudi pekerti luhur. Selain itu, ia juga tumbuh sebagai sosok perempuan yang memegang teguh adat dan tradisi masyarakat Minangkabau, sehingga menjadikannya sebagai representasi perempuan pribumi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan norma yang berlaku di lingkungannya.
ADVERTISEMENT
2. Kepribadian dan Sifat Rapiah
Kutipan-kutipan tersebut menggambarkan Rapiah sebagai sosok yang sabar, tulus, dan berlapang dada, bahkan ketika diperlakukan buruk oleh suaminya. Kesabarannya tampak dalam kemampuannya menahan diri dan tetap bersikap lembut meskipun mendapatkan perlakuan kasar. Ia tidak mudah marah atau mendendam, melainkan menerima perlakuan tersebut dengan senyum dan wajah yang jernih. Rapiah tetap tabah selama dirinya tidak disia-siakan, menunjukkan keteguhan hati dan pengendalian emosi yang baik. Sikapnya mencerminkan ketulusan dan ketegaran seorang perempuan yang menghadapi perlakuan buruk dengan kesabaran dan keikhlasan.
ADVERTISEMENT
3. Kesadaran dan Kepasrahan Rapiah dalam Hubungannya dengan Hanafi
Kutipan-kutipan tersebut menggambarkan kesadaran dan kepasrahan Rapiah dalam hubungannya dengan Hanafi. Ia menyadari posisinya sebagai istri yang tidak mungkin berada di atas suaminya, sehingga ia memilih untuk tunduk dan menerima keadaan dengan penuh kepasrahan. Sikapnya mencerminkan kepatuhan terhadap norma yang mengharuskan seorang istri untuk menghormati dan mengikuti suaminya, meskipun harus menahan perasaan sendiri. Ketika menghadapi perlakuan yang menyakitkan, Rapiah tidak melawan atau membantah, melainkan hanya menangis dalam diam. Hal ini menunjukkan bahwa ia adalah sosok perempuan pribumi yang merepresentasikan nilai-nilai tradisional tentang ketundukan dan kesetiaan seorang istri dalam budaya masyarakat saat itu.
ADVERTISEMENT
4. Cinta dan Kesetiaan Rapiah
Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahwa Rapiah adalah sosok perempuan yang penuh cinta dan kesetiaan. Meskipun mengalami berbagai perlakuan yang tidak baik dari suaminya, ia tetap teguh dalam perasaannya dan tidak pernah berpikir untuk menggantikan Hanafi dengan orang lain. Kesetiaannya tidak goyah, bahkan ketika ia harus menanggung kesedihan dan penderitaan. Cintanya yang tulus tercermin dalam keteguhannya mempertahankan hubungan, menunjukkan bahwa bagi Rapiah, pernikahan bukan sekadar ikatan lahiriah, tetapi juga wujud dari kesetiaan, pengabdian dan ketulusan hati dalam menjaga ikatan suci pernikahan.
ADVERTISEMENT
5. Ketegaran dan Pengorbanan Rapiah
Kutipan tersebut menggambarkan ketegaran dan pengorbanan Rapiah sebagai seorang ibu yang penuh kasih sayang. Ketika mendengar tangisan anaknya yang sangat kencang, ia segera berlari tanpa memedulikan penampilannya yang berantakan, dengan lengan baju tergulung, pakaian kusut, serta wajah dan tangan yang kotor. Ia tidak menghiraukan kehadiran teman-teman Hanafi yang berasal dari bangsa Barat karena yang ada dalam pikirannya hanyalah anaknya. Baginya, naluri keibuan lebih kuat daripada rasa malu atau takut dipandang rendah oleh orang lain. Namun, meskipun tindakannya didasarkan pada kasih sayang, ia justru mendapat penghinaan dari suaminya. Rapiah hanya bisa menangis dan meratapi nasibnya, tetapi yang tetap ia pikirkan bukan dirinya sendiri, melainkan anaknya yang membutuhkan perlindungan dan kasih sayangnya. Meskipun menerima penghinaan dari suaminya, ia tetap menunjukkan ketulusan dan pengorbanan sebagai seorang ibu. Bagi Rapiah, kebahagiaan dan keselamatan anaknya jauh lebih penting daripada harga diri atau pandangan orang lain terhadapnya.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, Rapiah merupakan tokoh statis yang sejak awal hingga akhir cerita tetap mempertahankan karakter dan prinsip hidupnya. Sebagai representasi perempuan pribumi, ia mencerminkan sosok yang tunduk pada adat dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang mengatur peran perempuan dalam masyarakat. Kesabarannya, kepasrahannya dalam menghadapi perlakuan suaminya, serta keteguhan cintanya menunjukkan penerimaan dan kepatuhannya terhadap norma yang berlaku. Meski mengalami berbagai penderitaan, Rapiah tidak memberontak atau menentang tradisi, melainkan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kesetiaan, kepatuhan, dan pengorbanannya. Hal ini menjadikannya sebagai simbol perempuan pribumi yang terikat oleh adat, serta mengedepankan kehormatan keluarga, pengabdian terhadap suami dan anaknya.
Konflik Budaya dalam Perkembangan Tokoh Corrie du Bussee dan Rapiah, serta Korelasinya dengan Realitas Kehidupan Saat Ini
ADVERTISEMENT
Interaksi antara Corrie du Bussee dan Rapiah dalam novel Salah Asuhan menggambarkan benturan budaya yang terjadi pada masa kolonial. Tokoh Corrie du Bussee dengan pemikiran modern dan pengaruh pendidikan Barat, berusaha melepaskan diri dari norma-norma tradisional yang dianggapnya mengekang. Sementara itu, Rapiah tetap teguh memegang nilai-nilai lokal yang menekankan kepatuhan dan peran perempuan terhadap tatanan sosial dalam kehidupannya sehari-hari. Perbedaan ini tidak sekadar mencerminkan karakter pribadi, tetapi juga memperlihatkan pertarungan antara modernitas dan tradisi dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan. Meskipun novel ini tidak secara eksplisit berpihak pada salah satu nilai, perjalanan hidup kedua tokoh menunjukkan bahwa masyarakat lebih menerima seseorang yang tetap berpegang pada norma yang ada. Corrie yang memilih jalannya sendiri, akhirnya menghadapi keterasingan dan kesulitan dalam menyesuaikan diri, sementara Rapiah menjalani kehidupan yang lebih stabil meskipun dalam keterbatasan. Hal ini mencerminkan adanya perubahan sosial yang sering kali menghadapi tantangan, terutama ketika bertentangan dengan nilai-nilai yang telah lama dianut oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Konflik budaya yang dialami Corrie dan Rapiah dalam novel Salah Asuhan tetap relevan dalam kehidupan modern. Benturan antara tradisi dan modernitas terus terjadi, terutama dalam isu-isu seperti peran perempuan, kebebasan individu, dan pengaruh budaya asing. Di tengah arus globalisasi, perbedaan nilai antara tradisi dan modernitas semakin kompleks. Hal ini dapat menciptakan dilema bagi banyak individu, khususnya perempuan yang harus menghadapi ekspektasi masyarakat, serta dampak budaya asing yang berkembang melalui media dan teknologi. Adanya pergolakan tersebut melahirkan tantangan baru bagi seseorang dalam menentukan pilihan hidup dengan nilai-nilai yang diyakininya. Oleh karena itu, novel ini tidak hanya menjadi potret kehidupan pada masa kolonial, tetapi juga menjadi refleksi atas tantangan sosial yang masih dihadapi hingga kini.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, banyak perempuan pada masa sekarang terjebak dalam pertentangan antara keinginan untuk mengejar karir atau pendidikan dengan tuntutan tradisional yang masih melekat dalam keluarga atau masyarakat. Perempuan sering kali dihadapkan pada dilema antara mengikuti aspirasi pribadi atau mempertahankan peran tradisional yang diharapkan oleh keluarga dan masyarakat. Nilai-nilai dalam tradisi lebih banyak mengutamakan keharmonisan keluarga dan menempatkan perempuan pada peran domestik, seperti menjadi istri atau ibu yang baik. Selain itu, pengaruh budaya Barat sering kali memengaruhi pandangan terhadap kebebasan individu dan hak-hak perempuan yang terkadang bertentangan dengan nilai-nilai tradisional. Budaya Barat lebih menekankan pada kebebasan pribadi, kesetaraan gender, dan hak perempuan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, termasuk dalam hal pendidikan dan karir. Namun, di sisi lain, banyak masyarakat di Indonesia yang masih menekankan peran perempuan sebagai pengelola rumah tangga dan pilar keharmonisan keluarga. Pertentangan antara dua pandangan ini sering kali menimbulkan konflik dalam diri perempuan yang mencoba menyeimbangkan keduanya, seperti yang digambarkan dalam karakter Rapiah. Tokoh Rapiah diilustrasikan sebagai tokoh yang selalu berpegang teguh pada adat dan budayanya, namun menghadapi tantangan dalam menjalani kehidupan modern yang semakin berkembang.
ADVERTISEMENT
Konflik yang dialami Corrie, ia berusaha mendobrak norma sosial untuk mengejar kebebasannya, dan Rapiah lebih memilih untuk mengikuti jalan yang sudah ditentukan oleh norma-norma masyarakat. Dalam konteks ini, novel Salah Asuhan membuka ruang refleksi mengenai cara seseorang mengelola perubahan sosial dan budaya dengan tetap menghargai identitas asli, tanpa harus kehilangan esensi tradisi yang membentuk karakter masyarakatnya. Perdebatan ini juga menggambarkan ketegangan antara dua kekuatan besar yang memengaruhi kehidupan individu, yaitu antara yang satu lebih mengutamakan kebebasan pribadi dan kemajuan, sementara pihak lain menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai yang telah ada sebagai bagian dari jati diri budayanya.
Karakter Corrie dan Rapiah dalam novel Salah Asuhan menggambarkan bahwa proses penyesuaian terhadap perubahan sosial bukanlah hal yang mudah, di dalamnya mengandung pilihan-pilihan yang tidak hanya melibatkan individu, tetapi juga keluarga, masyarakat, maupun negara. Di satu sisi, globalisasi membawa peluang besar bagi perempuan untuk berkembang di luar batas-batas yang sebelumnya ditetapkan, namun di sisi lain, ia juga menantang eksistensi dan keberlanjutan tradisi yang sudah mengakar dengan kuat. Novel ini mengajak pembaca untuk mempertanyakan sejauh mana kedua sosok perempuan dalam novel Salah Asuhan mampu menjaga keseimbangan antara mengikuti arus perubahan dan tetap berpegang pada nilai-nilai yang ada dalam budayanya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, novel Salah Asuhan tidak hanya berfungsi sebagai cerminan dari pergulatan budaya yang terjadi dalam masyarakat Indonesia pada masa itu, tetapi juga menawarkan pemahaman menyeluruh mengenai tantangan yang dihadapi oleh individu dalam menavigasi antara keinginan untuk berkembang dan menjaga akar budaya. Karakter Corrie dan Rapiah, meskipun memiliki jalan yang berbeda, pada dasarnya mengajarkan pentingnya menemukan keseimbangan antara mempertahankan identitas tradisional dan beradaptasi dengan perubahan yang datang. Perjalanan keduanya mengajak pembaca untuk merenung bahwa dalam menghadapi arus globalisasi yang kian menguat, setiap individu perlu tetap menghargai nilai-nilai yang telah membentuk kehidupannya, sekaligus membuka diri terhadap potensi perubahan yang dapat membawa kemajuan. Sebagai masyarakat yang dinamis, pemahaman akan perubahan seharusnya tidak berarti kehilangan identitas, melainkan menjadi kesempatan untuk memperkaya budaya dengan cara yang lebih relevan.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Moeis, Abdoel. (2009). Salah Asuhan. Jakarta: PT. Balai Pustaka (Persero).
Nurgiyantoro, Burhan. (2018). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.