Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bebal Legislasi UU Cipta Kerja
29 Agustus 2023 9:29 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Zainal Arifin Mochtar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam tiga tahun terakhir, perjalanan UU Cipta Kerja beserta bentuk dan isinya adalah bak rollercoaster. Dibuat secara terburu-buru dan tergesa di tahun 2020 (UU No. 11 Tahun 2020), sehingga MK akhirnya meniadakan daya ikatnya melalui uji formil di penghujung tahun 2021 dengan kewajiban untuk melakukan perbaikan selambatnya dua tahun semenjak putusan (Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020).
ADVERTISEMENT
Luar biasanya, alih-alih melakukan perbaikan, tetapi Presiden malah mengeluarkan Perpu No. 2 Tahun 2022 yang isinya nyaris persis sama dengan UU Cipta Kerja yang dibatalkan secara bersyarat oleh MK.
Kemudian, seperti yang telah diduga, DPR menerima Perpu tersebut menjadi UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2022 Menjadi Undang-undang. Dari keseluruhan proses tersebut, kita disuguhkan betapa bebalnya proses legislasi yang mengitari UU Cipta Kerja. Kebebalan apa saja itu?
Pertama, harus diingat bahwa UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dibatalkan oleh MK dengan alasan formil yang salah satu di antaranya adalah ketiadaan partisipasi yang berarti (meaningful participation).
MK mengingatkan bahwa membuat UU, apalagi yang strategis dan memiliki dampak luas, itu harus melibatkan publik setidaknya dalam tiga konsep; right to be heard (hak untuk didengarkan), right to be considered (hak untuk dipertimbangkan), dan right to be explained (hak untuk dijelaskan).
Sederhananya, semua partisipasi itu harus didengarkan, kemudian masukan tersebut harus dipertimbangkan serta selain didengarkan dan dipertimbangkan maka pembentuk UU harus menjelaskan masukan tersebut mengapa diterima dan mengapa tidak dapat diterima.
ADVERTISEMENT
Mudah untuk menyadari bahwa yang diinginkan oleh MK adalah agar para pembentuk undang-undang kembali ke “jalur koridor konstitusional yang benar” dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja.
Perintah MK melalui Putusan MK tersebut merupakan perintah konstitusional kepada para pembentuk Undang-Undang agar UU Cipta Kerja dibuat berdasarkan tata kelola regulasi yang baik dan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (principles good regulatory practices).
Alasan sederhananya, karena Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi memiliki kekuasaan yang otoritatif dalam merawat dan menjaga nilai-nilai konstitusi agar setiap undang-undang yang dibentuk haruslah didasarkan pada kepatuhan konstitusional.
Luar biasanya, tidak ada proses partisipasi yang bermakna dilakukan, malah Pemerintah memilih untuk mengeluarkan Perpu dan kemudian diaminkan oleh DPR dengan bentuk persetujuan. Mudah untuk menyimpulkan bahwa menggeser ke Perpu adalah cara Pemerintah untuk menghindari hak yang digariskan ke MK tersebut, plus pada saat yang sama merupakan bentuk pembangkangan pada konstitusionalitas ajudikasi yang diinginkan oleh MK.
Pembangkangan konstitusional, kata Louis Michael Seidman (2012) adalah hal yang mustahil dapat dibernarkan, baik secara normatif maupun etis. Karena ketidaktaatan konstitusional aparat pejabat pemerintah dan pembentuk undang-undang dapat mendorong kekacauan sosial, bahkan dapat mengancam kebebasan sipil, dan melanggar hak-hak konstitusional warga negara.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak kasus, ketidaktaatan konstitusional seringkali dilakukan oleh pembentuk UU untuk menghindari proses pengambilan keputusan dan/atau pembentukan regulasi yang bersifat prosedural, termasuk prosedur partisipasi. Padahal, partisipasi dan proseduralnya adalah berkaitan erat dengan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat itu sendiri.
Kedua, UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, sebenarnya memiliki kadar kedaruratan yang tidak dapat diterima. Oleh karena, membaca UU No. 6 Tahun 2023 ini harus mulai dari pembentukan Perpu itu sendiri.
Mengapa harus membahas konstitusionalitas Perpu No. 2 Tahun 2023, padahal yang diujikan adalah UU No. 6 Tahun 2023? Hal ini jelas karena karena beda antara UU biasa yang tunduk pada hukum tata negara biasa dan UU penetapan perpu yang merupakan produk dari hukum tata negara darurat.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, konstitusionalitas UU No. 6 Tahun 2023 mustahil untuk dilihat dari konteks inisiasi, pembahasan, persetujuan, pengesahan dan pengundangan dalam konteks UU biasa. keberadaan UU ini hanya dapat diteropong manakala melihat ke penetapan perpu oleh presiden, kemudian persetujuan perpu di DPR dan penetapan menjadi UU serta pengundangannya. Perpu Cipta Kerja itu sendiri.
Dari sini terlihat setidaknya dalam dua hal mengenai proses Perpu menjadi UU. Tentu saja yang utama adalah hal ihwal kegentingan memaksa dan proses perpu menjadi UU itu sendiri. Pada konsep konstitusi tertulis, Pasal 22 UUD 1945 setelah empat kali perubahan menyatakan bahwa dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Perpu tersebut harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya dan tatkala tidak mendapatkan persetujuan maka peraturan pemerintah tersebut harus dicabut. Dari sini dapat dianalisis bahwa harus ada hal ihwal kegentingan memaksanya, baru kemudian Presiden menetapkan perpu yang hanya akan menjadi UU jika mendapatkan persetujuan oleh DPR.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, aturan Perpu di dalam UUD itu nyaris tidak pernah berubah. Konsep Perpu ini pertama kali hadir melalui "Rantjangan Permulaan Undang-Undang Dasar Negeri Indonesia" yang disusun oleh Soepomo, A. Soebardji dan A.A Maramis pada tahun 1942.
Pada Pasal 5 menyatakan bahwa "Djika ada keperluan mendesak untuk mendjaga keselamatan umum atau mentjegah kekatjauan umum dan djika Dewan Perwakilan Rakjat tidak bersidang, Kepala Negeri jang membuat aturan aturan pemerintah sebagai gantinja undang-undang.
Aturan-aturan pemerintah sematjam itu harus diserahkan sebelum waktu persidangan jang berikut dari DPR dan djika badan ini tidak menyetujui atutan aturan itu, maka pemerintah harus menerangkan bahwa aturan-aturan tadi tidak berlaku untuk waktu jang akan datang".
Naskah ketiga pendiri bangsa ini dapat ditelusuri di dalam lampiran buku "Naskah Persiapan UUD 1945" oleh Muhammad Yamin. Seperti yang kita ketahui, ketiga pendiri bangsa tersebut sekaligus terlibat menjadi Panitia Kecil yang diketuai oleh Soepomo yang mengajukan "Hukum Dasar" tanggal 13 Juli 1945 yang kemudian disepakati namanya menjadi Undang-Undang Dasar.
ADVERTISEMENT
Pada rancangan UUD inilah hadir Pasal 23 mengenai Perpu yang kemudian berubah menjadi Pasal 22 oleh karena ada salah satu pasal dalam rancangan UUD tersebut yang dihapuskan. Pasal 22 dalam rancangan itulah yang kemudian menjadi UUD 1945 yang pasalnya bertahan hingga UUD saat ini.
Hanya dalam Konstitusi RIS dan UUD Sementara 1950 namanya jadi UU Darurat. Ini juga yang menunjukkan bahwa Pasal 12 dalam UUD 1945 sebenarnya memang memiliki keterkaitan erat dengan Pasal 22 UUD 1945.
Secara historis, konsep Perpu ini sudah memberikan batas yakni Perpu ini adalah aturan yang dibuat dalam keadaan bahaya atau ada kegentingan memaksa dan karenanya harus diperlakukan secara "keadaan bahaya dan/atau kegentingan memaksa".
Diperlakukan secara luar biasa. Misalnya, hanya dapat dikeluarkan ketika DPR sedang tidak bersidang. Artinya jika sedang bersidang, pembentuk UU sangat mungkin membuat UU cepat melalui fast track legislation, dan tidak perlu mengeluarkan perpu.
ADVERTISEMENT
Kemudian, diperlakukan juga secara cepat yakni diserahkan kepada DPR sebelum dimulainya masa sidang, dan DPR memperlakukannya secara cepat yakni menyidangkannya begitu masa sidang di mulai. Ada semacam suasana kebatinan yang sama di seluruh negeri bahwa memang ada keadaan mendesak dan luar biasa yang membutuhkan tindakan cepat oleh pembentuk UU.
Anehnya, Perpu Cipta Kerja tidak demikian halnya. Meski Perpu ini dikeluarkan pada saat DPR sedang tidak bersidang (30 Desember 2022) tetapi harus diingat bahwa ada konteks Putusan MK yang memerintahkan perbaikan UU Cipta Kerja selama dua tahun.
Artinya, 13 bulan terlewat oleh Pemerintah dan DPR tidak memperbaiki UU Cipta Kerja tetapi kemudian malah memilih mengeluarkan Perpu di saat DPR reses. Logika ini sulit diterima sebagai hal ihwal kegentingan memaksa oleh karenas terlewat tigabelas bulan dari perintah MK dan sudah ada sebenarnya pembahasan untuk perbaikan UU Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Tentu jadi aneh ketika tiga belas bulan melakukan perbaikan dan masih tersisa sebelas bulan untuk menuju ke batas akhir konstitusaionalitas oleh MK, tetapi yang dipilih malah mengeluarkan Perpu. Keanehan lebih lanjut adalah begitu masuk masa sidang berikutnya, DPR tidak kunjung menyetujuinya.
Nanti masuk masa sidang berikutnya lagi baru kemudian DPR memberikan persetujuan dan akhirnya menjadi UU. Tentu saja, ini jauh sekali dari elan konstitusional yang membayangkan bahwa yang namanya perpu itu hanya bisa lahir dari suatu keadaan bahaya dan/atau hal ihwal kegentingan memaksa yang ada keadaan dan kondisi yang membutuhkan penanganan cepat dan diperlakukan juga dengan cepat.
Artinya, yang dibutuhkan adalah perspektif untuk melihat bahwa perpu itu dikeluarkan dengan suatu kemendesakan dan karenanya juga harus diperlakukan secara cepat dan mendesak. Karenanya, jika ada yang menggunakan dalih Pasal 52 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), -bahwa karena sebenarnya yang harus dilakukan adalah Presiden mengajukan Perpu ke DPR dalam masa sidang berikutnya, sehingga seakan-akan kewajibannya hanya mengajukan ke DPR sedangkan persetujuannya bisa saja dilakukan pada masa sidang berikutnya setelah pengajuan oleh DPR, tentunya sangat tidak tepat.
Jika menggunakan perspektif Soepomo bahwa seharusnya diajukan sebelum masuk masa sidang. Bahkan jika pun mau menerima Pasal 52 Ayat (1) UU P3, maka hanya mungkin dimaknai bahwa pada saat Presiden mengajukan memasuki masuk masa sidang berikutnya DPR, maka pada masa sidang itu juga harus mendapatkan persetujuan. Karena hanya dalam perspektif itu kita bisa menerima perlakuan cepat akibat kemendesakan dikeluarkannya suatu Perpu.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi mengapa penting untuk mengawal kedaruratan dan/atau hal ihwal kegentingan memaksa yang melatarinya, tentu saja hal ini dikarenakan bahaya dari aturan yang dikeluarkan dalam keadaan darurat atau hal ihwal kegentingan memaksa. Ada potensi besar pelanggaran hak asasi dan demokrasi di dalamnya.
Karenanya, hanya boleh dilakukan dalam kondisi yang amat objektif mendesak dan bukan barang obralan. Karenanya meski merupakan hak Presiden yang menentukannya secara subjektif yang akan diobjektifkan oleh DPR tetapi tidak benar-benar subjektif Presiden semata, dalam artian seenaknya bisa dikeluarkan oleh Presiden.
Harus disertai kondisi objektif di dalamnya. Salah satunya oleh MK dalam Putusan 138/PUU-VII/2009 telah memberikan tiga batasan kemendesakan tersebut. Pertama, ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dengan UU.
ADVERTISEMENT
Kedua, tidak ada UU yang tersedia untuk itu atau ada kekosongan hukum, ataupun ada hukum tapi tak cukup memadai. Ketiga, kekosongan hukum itu sudah tidak mungkin diisi dengan proses legislasi biasa.
Apakah ketiga upaya mengobjektifkan Perpu ini sudah cukup? Kelihatannya tidak, harus ada upaya lebih membatasi Perpu oleh karena besarnya potensi untuk membahayakan demokrasi dengan dalih kedaruratan. Hal ini dikatakan sebagai ironi negara demokrasi oleh Giorgio Agamben (1995). Pada satu sisi, demokrasi memang lahir dari suatu keadaan darurat.
Sejarah memperlihatkan bahwa demokrasi semacam anak kandung dari suatu keadaan darurat, revolusi, reformasi atau apa pun yang sejenis. Tetapi pada saat yang sama, kata Agamben, sangat mungkin negara melakukan infiltrasi keadaan darurat pada kondisi normal.
ADVERTISEMENT
Sehingga, kedaruratan itu menjadi cara suatu rezim untuk menormalkan dilakukannya pembatasan dan peningkatan hak-hak publik. Caranya, dengan membuat hukum yang memihak penguasa dan melemahkan publik yang seharusnya memegang kendali dalam kerangka demokrasi. Sesuatu yang dalam bahasa Agus Sudibyo (2022), bisa menjadi habitus baru dalam upaya mengakali demokrasi itu sendiri.
Sesuatu yang normal, dibuat kondisi seakan tidak normal, sehingga ketidaknormalan ini malah menjadi kenormalan baru. Kebiasaan konstitusionalitas yang menguatkan standar demokrasi malah sedang digerus dengan kegentingan yang dipaksakan.
Artinya, MK harus tetap bisa menguji formil UU No. 6 Tahun 2023 dengan alasan pengajuan dan persetujuan yang dilanggar. Pun MK juga bisa menguji UU tersebut karena ini merupakan lahir dari Perpu. Sehingga pengujian formilnya mustahil dilepaskan dari keberadaan Perpu.
ADVERTISEMENT
Tetapi yang paling penting, MK harus mengawal hak konstitusional warga dari kecenderungan pembentuk UU yang bebal dari konsepsi konstitusional. Sekali ini dibiarkan, maka penggunaan serampangan macam ini akan terus berulang dan makin memangsa hak asasi dan demokrasi itu sendiri.