Konten dari Pengguna

Perihal Menata Regulasi

Zainal Arifin Mochtar
Pengajar Ilmu Hukum FH UGM Yogyakarta.
30 November 2017 0:19 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zainal Arifin Mochtar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Tulisan Pertama dari Dua Tulisan)
Zainal Arifin Muchtar, ahli hukum UGM (Foto: dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Zainal Arifin Muchtar, ahli hukum UGM (Foto: dok. Istimewa)
Presiden Jokowi telah meminta secara langsung agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membatasi perundang-undangan. Hal yang ditujukan untuk menghilangkan kerumitan khususnya untuk perkembangan ekonomi dan bisnis. Sekaligus menghindari adanya transaksi dalam penyusunan undang-undang. Harapan ini melengkapi beberapa pembicaraan Presiden Jokowi sebelumnya tentang gelaja over regulasi dan gemuknya regulasi di Indonesia serta tumpang tindih.
ADVERTISEMENT
Beberapa Kendala Regulasi
Sebelum memulai menganalisis tentang penataan regulasi, sebenarnya ada beberapa kendala besar yang menghantui proses penyusunan regulasi di Indonesia. Pertama, begitu banyak pihak yang saling mendahului ingin mengajukan UU. Sehingga, ada banyak UU yang seharusnya tidak dalam level UU. Seperti adagium lama, “Tuhannya kuda dalam bentuk kuda”, membuat semua orang merasa urusannyalah yang paling penting sehingga harus dibuatkan UU. Walhasil, ada banyak UU yang sesungguhnya masih bisa dipertanyakan kelevelan UU-nya.
Kedua, gejala delegasi yang kemudian didelegasikan lagi. UU seharusnya sudah dalam kondisi yang lengkap sehingga menghindari kemungkinan didelegasikan ke aturan lebih di bawah. Akan tetapi biasanya UU hanya mengatur secara sederhana. Lalu didelegasikan ke PP atau Perpres. Bahkan perbedaan mendasar materi muatan PP dan Perpres saja seringkali belum selesai dibicarakan. Tapi lebih lanjut, PP dan Perpres ini lalu kemudian mendelegasikannya lagi ke Perda, bahkan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Sehingga, ada begitu banyak peraturan yang mengatur hal yang sama. Dan konyolnya, kadang-kadang bahasanya diulang begitu saja.
ADVERTISEMENT
Ketiga, ketidaklengkapan ini kemudian diisi dengan Peraturan Menteri. Dan pada titik inilah terjadi kelebihan berat (obesitas) peraturan. Jumlah UU yang berlaku saat ini (dari tahun 2000-2015), terdapat sekitar 504 dalam bentuk UU, ada 27 untuk Perpu, Peraturan Pemerintah sebanyak 1386, Perpres sebanyak 1129, Inpres 117, Keppres 977, serta 8331 dalam bentuk Peraturan Pemerintah (Diani Sadiawati, 2015). Ini melengkapi 3ribuan Peraturan Daerah Propinsi dan 25ribuan Perda Kabupaten/Kota. Postur ini menunjukkan bahwa yang menggemuk memang berada pada wilayah Peraturan Menteri. Yang jika dirata-ratakan secara sederhana, setiap UU melahirkan 2-3 Peraturan Pemerintah dan 2-3 Peraturan Presiden, serta sekitar 16-17 Peraturan Menteri.
Dan pada Peraturan Menteri inilah paling susah kontrolnya, oleh karena setiap menteri merasa memiliki kewenangan untuk mengeluarkan hal tersebut. Ditambah dengan doktrin diskresi, lengkap sudahlah kebiasaan menteri untuk mengeluarkan aturan yang memperbanyak jumlah Permen ini dalam sistem hukum nasional.
ADVERTISEMENT
Keempat, ketiadaan kelembagaan yang dapat mengontrol dengan baik perihal sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan tersebut. Ego sektoral membuat kesulitan tersendiri tatkala akan dirapikan.
Idealnya Jumlah Aturan
Rasanya, memang peraturan kita mulai mengalami obesitas. Terlalu banyak aturan yang seringkali tanpa cetak biru (bisa dibaca politik hukum) yang jelas tentang mau dibawa ke mana sebenarnya ide besar di balik mengeluarkan peraturan. Setidaknya dalam dua langkah yakni perbaikan subtansi pengaturan dan kelembagaan pengaturnya.
Pertama, rasanya kita tidak terlalu penting untuk membuat rentang kendali jumlah aturan yang terlalu banyak. Pada titik ini, sebenarnya Permen bisa dihilangkan. Mengapa? Sederhana saja oleh karena pada dasarnya menteri tidak memiliki kewenangan yang bersifat atributif. Pada dasarnya, dalam sistem Presidensil, menteri adalah pembantu Presiden (lihat Pasal 17 UUD 1945) yang artinya, menteri sebenarnya tidak memiliki kewenangan yang bersifat asali. Kewenangannya lahir dari kewenangan milik Presiden. Di titik inilah tidak tepatnya berbagai UU yang dikeluarkan karena seringkali menaruh dalam Pasal 1-nya bahwa kewenangan untuk UU dipegang oleh Menteri yang membawahi urusan tersebut. Itu membuat menteri “seakan-akan” mendapatkan kewenangan atributif. Padahal sebenarnya itu adalah kewenangan Presiden yang dapat ia delegasikan atau mandatkan kepada menteri untuk dijalankan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, UU yang dikeluarkan selalu membuat corak dan langgam yang sama sehingga menteri merasa memiliki kewenangan untuk mengatur dalam lingkup tersebut. Sehingga setiap menteri mengeluarkan aturannya sendiri dan disinilah kerepotan untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Apalagi hal itu ditugaskan kepada Dirjend Peraturan Perundang-undangan dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang notabene keduanya di bawah kementerian Hukum dan HAM. Tentu mereka akan “kagok” berhadapan dengan kementerian lainnya yang merasa setingkat dengan Menteri Hukum dan HAM sehingga tidak ada kewajiban untuk tunduk dan terikat pada titah kedua bawahan Menteri Hukum dan HAM tersebut. Akhirnya, Permen menjadi jamak tumpang tindih dan tak tertata.
Dalam penalaran hukum, seharusnya rentang kendali aturan berhenti di tingkat Peraturan Presiden. Mengapa? Karena pada titik itulah semuanya dipegang oleh Presiden. UU mngatur hal pokok. Lalu PP menjelaskannya menjadi lebih detail. Serta operasionalisasi dari aturan dan dibuat menjadi teknis berada di tingkat Perpres. Titik! Permen tidak lagi dikeluarkan dalam rangka pengaturan teknis yang mengikat keluar, tetapi lebih pada aturan yang bersifat ke dalam kementerian. Hal ini akan mempermudah Presiden untuk mengontrol semua subtansi aturan teknis sehingga tidak lagi “dirampok” oleh Permen.
ADVERTISEMENT
Pada saat yang sama, dengan bentuk Perpres, Presiden akan punya tanggungjawab langsung dalam menjalankan roda pemerintahan dan tidak lagi membuang tanggungjawab ke tingkat menteri. Kontrol Presiden akan menguat dan menempatkan menteri sebagai pelaksana teknis dan bukan lagi sebagai penyusun kebijakan. Hal yang berarti, aturan teknis yang selama ini menjadi materi muatan Permen, diangkat menjadi Perpres. Ini juga supaya terjadi perbedaan mendasar antara materi muatan PP yang menjalankan UU sebagaimana mestinya dan Perpres yang akan menjadi lebih teknis.
Walaupun memang, dengan mengangkat menjadi Perpres inilah akan membutuhkan penguatan kelembagaan penyusunan peraturan di kantor kepresidenan. Makanya, ide kedua adalah penguatan lembaga biro khusus legislasi yang berada langsung di bawah Presiden. Bayangan saya, mirip dengn Dirjend Perundang-undangan dan Kepala BPHN yang digabungkan dan ditaruh langsung di bawah Presiden sehingga menjadi pejabat setingkat menteri. Tugasnyalah yang akan melakukan sinkronisasi dan mengontrol kualitas UU ditingkat legislasi oleh Presiden, PP serta Perpres yang digunakan untuk menjalankan secara teknis yang dimaksudkan di dalam UU. Paling tidak, mirip di Jepang yang memiliki biro legislasi kabinet (karena Jepang menggunakan sistem Parlementer) yang langsung berada di bawah kabinet sehingga mampu mengontrol semua peraturan yang dikeluarkan, kecuali Permen dan Perda. Permen karena nantinya hanya akan menjadi aturan internal kementerian saja yang tidak lagi operasional mengikat keluar, serta Perda karena dalam kerangka otonomi daerah.
ADVERTISEMENT
Pada titik ini, Presiden harus mengangkat pejabat biro legislasi ini yang menjadi setingkat dengan menteri sehingga mampu bekerja lebih optimal dalam mengawal kerja-kerja penyusunan peraturan yang dilakukan oleh negara. Peraturan akan jauh lebih ramping karena beberapa Permen akan tergabung menjadi Perpres. Pada saat yang sama, memudahkan harmonisasi dan sinkronisasi. Bahkan bayangan saya, tidak akan ada lagi ego sektoral oleh karena tatkala ada ego sektoral antar menteri, akan mudah diselesaikan dengan mengeluarkan satu arahan dalam di konsep Perpres. Sehingga, tidak akan ada lagi bahasa teknis yang bersifat ganda , dan sudah sekian lama diderita oleh nagara ini. Sekaligus juga akan menghilangkan Permen, sehingga sifat permen yang mengatur ke dalam saja dapat berubah menjadi lebih bersifat Surat Edaran Manteri.
ADVERTISEMENT
Tetapi apakah akan selesai, tentu belum. Karena masih ada persoalan di tingkat Perda dan Peraturan oleh lembaga negara independen maupun tentang pengujian atas Peraturan Perundang-undangan yang juga seharusnya dirapikan. Terkhusus ini akan dibahas dalam tulisan selanjutnya... (bersambung).
Zainal Arifin Muchtar, ahli hukum UGM (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Zainal Arifin Muchtar, ahli hukum UGM (Foto: Dok. Istimewa)