Konten dari Pengguna

Ada Apa di Balik Hiruk-pikuk dan Isu Negatif Mengenai IDI Belakangan Ini?

Zainal-Muttaqin
Ahli bedah saraf, Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip.
26 Maret 2023 9:05 WIB
·
waktu baca 7 menit
Tulisan dari Zainal-Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dokter gigi anak Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dokter gigi anak Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Apakah hiruk-pikuk dan isu negatif terstruktur dari pejabat pemerintah dan legislatif untuk meruntuhkan marwah dokter di Indonesia adalah terkait dengan pemulusan jalan pembahasan UUOBL Kesehatan?
ADVERTISEMENT
Dunia kedokteran di Indonesia memiliki sejarah panjang dan membanggakan, yang tidak mungkin dihapus atau dinegasikan oleh sebuah bangsa yang besar. Seperti kata Sukarno sebagai Proklamator bahwa “Bangsa yang besar adalah yang menghargai jasa para pahlawannya”.
Lihatlah para tokoh kebangkitan nasional yang didominasi oleh dokter/ mahasiswa kedokteran. Demikian pula saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini, siapa sangka kalau Abdurrahman Saleh adalah seorang dokter.
Nama dokter Kariadi tidak bisa dipisahkan dari kisah Pertempuran Lima hari di Semarang, dan hampir di setiap kota/ daerah selalu saja ada peran dokter yang tampil dalam pelbagai peristiwa heroik dalam konteks perjuangan kemerdekaan masa itu.
Ilustrasi hasil tes PCR COVID-19. Foto: Shutter Stock
Saat bangsa ini didera oleh pandemi COVID-19, betapa besar peran dan jasa para dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang bahkan rela mengorbankan jiwa dan raganya berjibaku di garda terdepan.
ADVERTISEMENT
Begitu besarnya pengorbanan mereka dalam membangun kesadaran masyarakat untuk mencegah penularan dan penyebar-luasan COVID-19 melalui program vaksinasi, hingga akhirnya pandemi ini insya Allah bisa segera jadi endemi.
Di sudut yang lain, pemerintah bersama DPR baru-baru ini berhasil meng-gol-kan penyusunan sampai pemberlakuan UU Omnibus Law (UUOBL) bidang Ekonomi dan Industri-Investasi, yang prosesnya begitu cepat dan singkat serta memperoleh perlawanan dari para pekerja dan banyak ormas, bahkan sampai saat ini.
Program berikutnya dari pemerintah dan DPR adalah bekerja sama bahu membahu, mungkin kalau bisa dalam tempo sesingkat-singkatnya, untuk segera bisa meloloskan pengesahan UUOBL bidang Kesehatan.
Petugas kesehatan yang mengenakan alat pelindung diri (APD) bersiap merawat pasien di rumah sakit darurat penyakit virus corona (COVID-19), di Jakarta, Indonesia, 17 Juni 2021. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters
Alasan utama yang paling sering disampaikan oleh Pak Menkes sebagai jubir pemerintah adalah persoalan kurangnya SDM kesehatan, khususnya dokter spesialis. Padahal kita bisa berdebat panjang lebar terkait kegagalan pemerintah dalam program distribusi dokter dan dokter spesialis (Kompas, 27 Des.2022, dan http://www.kompas.id/baca/opini/2023/02/08)
ADVERTISEMENT
Berbagai Organisasi Profesi Kesehatan, terutama IDI (termasuk di dalamnya ada perhimpunan dokter umum Indonesia/PDUI) dan persatuan perawat nasional Indonesia/PPNI sejak awal telah menyatakan penolakan terhadap RUUOBL Kesehatan ini (Deklarasi Gandaria Jakarta, 12 Nopember 2022 dan Deklarasi Kesehatan Rasuna Said, Jakarta 22 Desember 2022).
Perlu masyarakat ketahui, sampai detik ini IDI masih merupakan satu-satunya induk organisasi dokter di Indonesia sesuai dengan Pasal 1 Ayat 12 UU Praktik Kedokteran No.29-2004, dan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 10/PUU-XV/2017.
Upaya untuk memuluskan pembahasan dan pengesahan UUOBL Kesehatan ini dilakukan secara membabi-buta, bahkan menurut saya bisa disamakan dengan cara Politik Devide et Impera yang tanpa etika, sebagaimana pernah dilakukan penjajah kolonial kepada bangsa Indonesia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Balai Sudirman Jakarta, Selasa (14/3/2023). Foto: Ghinaa Rahmatika/kumparan
Saya pribadi menilai bahwa upaya-upaya sistematis ini dimulai oleh Budi Gunadi Sadikin (BGS) dengan mengundang PDUI (yang merupakan komponen terbesar dalam IDI), bukan mengundang PB-IDI terkait pembahasan RUUOBL Kesehatan (Surat Menkes RI No. UM.02.08/A.V/3935/2022, tanggal 13 November 2022). Undangan ini ditolak mentah-mentah oleh PDUI dengan Surat No. 203/PP-PDUI/B/XII/2022, tanggal 13 Desember 2022.
ADVERTISEMENT
Senada dengan ini adalah narasi BGS terkait adanya perbedaan ‘kasta’ antara dokter dan perawat di Indonesia. Kegagalan BGS untuk memecah belah (devide et impera) organisasi profesi para dokter dan perawat ini membuat BGS seperti membuat narasi-narasi negatif.
Bahkan cenderung berupa fitnah keji terkait IDI yang secara asimetris dilontarkan langsung kepada masyarakat luas, sebagai upaya untuk meruntuhkan marwah dan wibawa IDI di mata rakyat Indonesia. Benarkah begitu? Entahlah.
Jika kita runut, narasi pertama muncul (detikHealth, Minggu 29 Jan 2023) dengan menyalahkan IDI sebagai ‘biang kerok’ kurangnya produksi dokter, dan kegagalan distribusi dokter (Rapat Kerja BGS dengan Komisi IX DPR RI, Selasa 24 januari 2023).
Ini lumayan menggelikan karena hal itu adalah cerminan wajah buruk dari gagalnya tugas kemenkes (yang saat ini dipimpin oleh BGS) untuk membuat perencanaan dan pemetaan terkait kebutuhan dokter di Indonesia.
Ilustrasi tulisan tangan resep dokter. Foto: DW labs Incorporated/Shutterstock
Seolah kegagalan pemerintah dengan sengaja dan cara yang keji ditimpakan kepada organisasi profesi (OP) para dokter (IDI), karena menurut saya salah satu tujuan utama dari UUOBL Kesehatan adalah mengebiri peran OP.
ADVERTISEMENT
Klaim BGS bahwa RUUOBL Kesehatan bisa menyelesaikan masalah kesehatan di Indonesia tidak sesuai dengan draf RUU tersebut. Draf RUU ini justru mengancam keselamatan masyarakat, memecah belah OP, mempersulit birokrasi nakes, mempermudah masuknya tenaga kesehatan asing, kriminalisasi nakes dan kapitalisme Kesehatan, serta menjadikan Kemenkes sebagai super power, demikian pernyataan Wakil Ketua Umum PB IDI, Slamet Budiarto ( Merdeka.com- 1 Februari 2023).
Pernyataan BGS bahwa pemerintah tidak memiliki kewenangan dalam mendistribusikan dokter secara nyata adalah informasi yang tidak benar dan fitnah kepada IDI (karena seolah IDI adalah biang keladi masalah tersebut). Berdasarkan UU No. 36-2014 tentang Nakes, Pasal 13 dan Pasal 25, distribusi dokter berada di tangan pemerintah pusat dan daerah, bukan OP.
ADVERTISEMENT
Narasi BGS bernada sumir berikutnya adalah terkait ‘bisnis’ pengurusan STR dan SIP dokter yang bisa menghasilkan trilliunan (Merdeka.com, 24 Maret 2023).
Pada narasi yang juga muncul di media TikTok (@drtonysetiobudi) berjudul “Pemerasan terselubung di dunia kedokteran’ jelas juga merupakan fitnah yang menyesatkan. Secara eksplisit BGS menuduh ada kepentingan OP (IDI) terkait biaya Rp 6 juta untuk satu STR, yang bila dikalikan 77 ribu jumlah dokter spesialis, menghasilkan 430 miliar setiap tahun.
Faktanya adalah pengurusan STR berbiaya Rp 300 ribu untuk lima tahun, yang dibayarkan kepada Negara (bukan IDI) lewat KKI (sebuah institusi negara yang dilantik oleh Presiden). Jumlah Rp 6 juta adalah akumulasi dari iuran keanggotaan organisasi profesi spesialis (IKABI, POGI, PAPDI, IDAI, dsb.) yang rata-rata besaran nya Rp 100 ribu setiap bulan (atau Rp 1,2 juta setahun, atau Rp 6 juta setiap 5 tahun).
ADVERTISEMENT
Bagi OP dokter umum dan dokter gigi, iuran dengan besaran Rp 40-50 ribu setiap bulan ini habis untuk kegiatan pertemuan rutin setiap 3 bulan, dan tidak seorang pun di luar OP, termasuk BGS yang bukan dokter yang berhak mempersoalkan besaran iuran keanggotaan OP ini.
Narasi sesat ini tentu saja langsung digoreng oleh banyak anggota DPR yang asal ngomong tanpa bukti, hanya berdasarkan narasi sesat seorang BGS. Perlu kita ingat, di negeri tercinta ini DPR dan pejabat pemerintah menduduki peringkat tertinggi jumlah anggota nya yang terlibat kasus korupsi.
Sebagaimana tanggapan anggota komisi IX, Irma Suryani (Bergelora.com, 24 Maret 2023) berjudul ‘Bongkar Kejahatan IDI’ yang meminta segera dilakukan Audit.
ADVERTISEMENT
Audit inilah yang diminta dan dinanti oleh IDI, untuk membuktikan kepada masyarakat luas bahwa dokter Indonesia tidak mungkin mengkhianati para pendahulunya yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan bangsa ini sejak masa Sumpah Pemuda 1908, perjuangan mempertahankan kemerdekaan, hingga saat menghadapi Pandemi Covid-19, bahkan sampai kapanpun juga.
Lambang IDI. Foto: Instagram/@ikatandokterindonesia
Sebagai sebuah institusi, IDI memang tidak mungkin sempurna, pasti ada kasus kekurangan terkait perseorangan yang tidak bisa di generalisir menjadi kesalahan institusi (Kasus KPK yang melibatkan 2 (dua) orang Ex Menkes terdahulu tidak menjadikannya sebagai kejahatan seluruh pejabat dan jajaran Kemenkes).
Pemerintah dan DPR boleh membuat peraturan berdasarkan kepentingan politik dan kebutuhan masyarakat umum. Terkait dengan Ilmu kedokteran yang spesifik, serta sumpah dan etika dokter dalam berprofesi.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut hanya bisa dimengerti dan dirumuskan oleh para dokter dengan badan-badan khusus seperti OP dan kolegium bidang Ilmu terkait. Sehingga wajar bila pendidikan dan pengembangan ilmu kedokteran serta pengawasan praktik kedokteran menjadi tanggung jawab profesi kedokteran, bukan pemerintah maupun politisi, demikian ungkap Prof. Djohansjah Marzoeki, 30 Nov. 2022.
Alangkah naif dan kerdilnya (jika benar) para pejabat dan anggota DPR yang beramai-ramai berupaya merusak marwah dan nama besar IDI dengan fitnah dan tuduhan keji tanpa bukti, hanya untuk kepentingan politik sesaat yaitu meloloskan UUOBL-Kesehatan yang dipenuhi konsep liberalisasi bisnis kesehatan dan karpet merah bagi nakes asing, yang urgensinya perlu dipertanyakan.
Pemerintah mutlak harus bekerja sama dan menjadikan OP sebagai mitra dalam membuat kebijakan, dan bukan malah memecah belah dan menguasai serta mengkooptasi OP serta mengkerdilkan peran OP dengan narasi-narasi sesat yang menghancurkan marwah OP di masyarakat luas seperti yang masih terus berlanjut hingga saat ini.
ADVERTISEMENT