Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kanker di Indonesia: Narasinya Bikin Gaduh, tapi Programnya Kisruh
26 Mei 2024 8:40 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Zainal-Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menurut Globocan (Global Burden of Cancer) dari WHO, kasus kanker di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 396.914 kasus dengan angka kematian mencapai 234.511 atau 59,08 %. Jenis kanker yang paling sering ditemukan adalah kanker payudara (Ca Mame) sebesar 65.858 atau 16,6%, diikuti oleh kanker leher rahim (Ca Serviks) sebanyak 36.633 kasus (9,23%). Dua jenis kanker ini menjadi penyebab kematian tertinggi pada wanita Indonesia, sehingga anak-anaknya jadi piatu.
ADVERTISEMENT
Kejadian kanker Payudara terkait lamanya paparan hormon estrogen pada wanita. Pada abad 18-19, umumnya wanita mengalami haid/ menses pada usia 17-18 tahun, tapi saat ini remaja wanita mulai menses pada usia 10-11 tahun. Hal ini berimbas pada paparan hormon estrogen yang semakin lama.
Di sisi lain, kehamilan dan menyusui bisa mengurangi risiko terjadinya Ca Mame, tapi uniknya masyarakat ‘modern’ mendorong banyak wanita untuk menunda kehamilan misalnya. Juga dengan kompleksitas gaya hidup yang memiliki kecenderungan menyebabkan obesitas, konsumsi alkohol, dan gaya hidup sedenter, menjadikan risiko terjadinya Ca Mammae juga akan semakin meningkat dan tidak mungkin dieliminasi.
Di Indonesia, kanker leher rahim atau Ca Serviks masih menempati urutan ke dua tersering setelah Ca Mame, padahal di bagian dunia lainnya angka kejadian Ca Servis sudah jauh berkurang dan tidak lagi termasuk dalam 5 besar. Berdasarkan sains dan divalidasi oleh WHO (https://www.who.int>) penyebab tersering dari Ca Servis adalah infeksi virus HPV (Human Papilloma Virus, terutama tipe 16 dan tipe 18). Jadi Ca Serviks ini satu-satunya jenis kanker yang seharusnya sudah bisa dicegah, salah satunya dengan program Vaksinasi HPV pada setiap wanita muda usia 9-15 tahun.
ADVERTISEMENT
Infeksi HPV ini hampir tanpa gejala, dan bisa ditularkan melalui hubungan seks. Seperti penularan virus Covid-19, sulit untuk menghindar untuk tidak terinfeksi. Daya tahan tubuh yang baik akan bisa mengatasi infeksi ini, tapi bila infeksi ini terjadi dalam waktu lama (persisten), maka hampir pasti (95%) akan menyebabkan perubahan pada sel-sel di leher rahim menjadi Ca Serviks.
Pencegahan dan Deteksi Dini Kanker yang Jauh di Bawah Target
Baru-baru ini Menkes BGS, dalam sebuah unggahan di sebuah media online, menyatakan bahwa (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7171798/menkes-curhat-sengkarut-polemik-pasien-kanker-di-ri-antreannya-bisa-3-bulan ) “salah satu masalah terbesar penanganan kanker di Indonesia adalah skrining kanker yang masih tergolong rendah, sehingga banyak pasien yang diketahui mengidap kanker setelah stadium lanjut”.
Pernyataan ini 100% benar dan tidak salah. Yang tidak nyambung adalah ketika Menkes tiba-tiba loncat membicarakan ketersediaan alat PET (Positron Emission Tomography) scan sebagai alat deteksi kanker yang hanya ada 3 dan semuanya di Jakarta. Kelanjutan dari pembicaraan ini sudah bisa ditebak, yaitu program beli alat super mahal yaitu 21 Unit PET scan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Mari kita bahas persoalan ini secara utuh, berdasarkan sains dan data klinis yang benar, dan tentu saja mengikuti saran dan pendapat dari Perhimpunan Spesialis yang memang menangani pengobatan pasien kanker. Bicara tentang skrining dan deteksi dini, tentu harus dimulai dengan edukasi masyarakat dan peran dari Faskes tingkat 1 (faskes primer) serta faskes rujukan sekunder.
Contohnya, terkait Ca Mame, ada pemeriksaan payudara sendiri (SADARI), yang kemudian ditindak lanjuti dengan foto Rontgen Mammografi. Lalu ada program pap smear yang menjadi alat deteksi dini sederhana namun efektif untuk deteksi dini Ca Cervix. Terkait kanker usus besar (Colorectal), pemeriksaan adanya darah samar pada feses (kotoran manusia) bagi usia di atas 40 tahun, yang ditindak lanjuti dengan pemeriksaan ‘meneropong bagian dalam usus besar’ (endoskopy atau colonoscopy) di faskes rujukan sekunder.
ADVERTISEMENT
Faskes tersier (RS rujukan regional/provinsi dan RS rujukan nasional) bukanlah tempat untuk skrining maupun deteksi dini kanker. Peran PET Scan yang hanya tersedia di Faskes Tersier, jelas bukan untuk deteksi dini tapi lebih pada menilai perluasan dari kanker nya (staging dan grading), yaitu mendeteksi penyebaran sel kanker untuk penentuan stadium dan bentuk terapi yang dibutuhkan. Saat ini, pemeriksaan PET scan berbiaya minimal 15 juta rupiah dan tidak ditanggung oleh BPJS, jadi jelas sekali alat ini bukan buat skrining. Betapa konyolnya.
Deteksi Dini Kanker Payudara
Permasalahan utama terkait Ca Mame di Indonesia adalah deteksi dini dan skrining yang sama sekali belum menjangkau masyarakat pada umumnya, sehingga 70% kasus terdeteksi pada stadium lanjut (kemkes.go.id). Semua Wanita usia 30-50 tahun sudah harus melakukan pemeriksaan SADARI, dan bagi yang diduga ada benjolan dilakukan pemeriksaan mamografi (dengan sinar X berenergi rendah). Menurut American Cancer Society, mamografi adalah standar skrining terbaik untuk kanker payudara, dengan sensitivitas mencapai 87-97%, pada wanita usia 40 tahun atau lebih (https://rs.ui.ac.id>artikel-populer).
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, sampai saat ini mamografi belum menjadi program pemerintah yang ditanggung BPJS. Hambatan untuk menjadikan mamografi sebagai metode skrining Ca Mame, selain biaya yang mahal (berkisar antara 0,5-2,5 juta rupiah), adalah ketersediaan alat mamografi yang kurang, serta kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya skrining ini. Pada tahun 2023, dari 514 RSUD kabupaten/ kota, yang punya alat mammografi baru 100 (19,5 %) (https://sehatnegeriku.kemkes.go.id).
Pencegahan dan Deteksi Dini Kanker Leher Rahim
Program nasional vaksinasi HPV seharusnya dilakukan oleh negara, dan merupakan hak dari setiap wanita Indonesia usia 9-15 tahun. Faktanya, saat ini vaksinasi HPV belum menjadi program pemerintah, alias masih berbayar senilai 7,5 juta rupiah untuk 3 kali suntikan di Faskes Swasta. Betapa tertinggalnya negeri ini bisa dibandingkan dengan program vaksinasi HPV di Malaysia yang mencapai angka 80%.
ADVERTISEMENT
Setelah vaksinasi, upaya pencegahan berikutnya adalah dengan skrining atau deteksi dini dengan test DNA-HPV, yang dianjurkan minimal 2 kali sebelum usia 35 dan 45 tahun. Menurut American Cancer Society, Test DNA HPV adalah cara deteksi dini terbaik karena sensitivitasnya mencapai 80-98%, tapi bisa juga dilakukan dengan test IVA (inspeksi Visual Asam Asetat) atau dengan PAP Smear. Untuk di Indonesia, test IVA masih jadi pilihan dengan biaya yang paling terjangkau dibandingkan dengan test DNA HPV atau dengan Pap smear.
Hambatan lain terkait skrining Ca Serviks adalah cara pemeriksaan colok vagina (pada IVA & pap smear) yang masih dianggap tabu di banyak kalangan masyarakat. Selain pentingnya peran suami untuk mengajak istrinya melakukan skrining, perlu dikembangkan metode skrining dengan pengambilan spesimen secara mandiri oleh pasien atau suaminya. Nyatanya hal ini belum dilakukan secara konsisten apalagi kolektif dan masif.
ADVERTISEMENT
Masih tingginya angka Ca Serviks di Indonesia disebabkan oleh cakupan skrining yang masih rendah sekali. Hingga tahun 2021, hanya 6,83% wanita usia 30-50 tahun yang menjalani skrining dengan test IVA, dan tahun 2023 hanya mencapai 7,02% dari target 70% (Pidato Pengukuhan Prof. Dr.dr. Junita Indarti, SpOG-K, di Universitas Indonesia, 19 Agustus 2023) (https://www.ui.ac.id>the-high-number). Target 70% yang dianjurkan oleh WHO ini adalah upaya untuk eliminasi Ca Serviks pada tahun 2035. Capaian Indonesia yang Cuma 7,02% ini jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, dengan skrining HPV yang mencapai 40%, dan Vietnam yang mencapai 20%.
Tata Kelola Pengobatan Kanker yang Amburadul
Ada 3 rangkaian atau modalitas pengobatan utama kanker, mulai dari operasi pengangkatan atau biopsi, terapi sinar pengion (Radioterapi), dan Kemoterapi. Ketiga bentuk pengobatan ini bukan alternatif yang bisa dipilih oleh pasien. Dokter akan memutuskan melakukan ketiganya, atau salah satu, atau dua dari tiga berdasar pertimbangan keilmuan setelah memastikan jenis tumor dan tingkat penyebaran/ perluasannya (staging dan grading). Jadi tidak tepat bila seorang pasien mencari dokter yang bisa mengobati kanker tanpa operasi apalagi memilih milih sendiri modalitas terapi yang sesuai seleranya tanpa pertimbangan keahlian.
ADVERTISEMENT
Menurut IROS (Indonesian Radiation Onkology Society), setidaknya 50% pejuang kanker memerlukan radioterapi, jadi radioterapi dibutuhkan untuk 174 ribu pejuang kanker pertahunnya (https://conferences.iaea.org/event/229/contributions/18620/attachments9747/13610/53-icaro-3-synopsis-pdf ). Idealnya dibutuhkan 1 unit mesin Radioterapi Eksternal (Teleterapi) untuk setiap 1 juta penduduk. Jadi Indonesia membutuhkan setidaknya 270 unit Teleterapi. Sampai akhir 2020, di Indonesia cuma ada 80 unit alat ini dengan distribusi yang tidak merata, yang hanya bisa melayani sebanyak 29,82% pasien. Artinya, di Indonesia tercinta ini ada lebih dari 70% pejuang kanker yang membutuhkan radioterapi belum terlayani hak-hak kesehatannya.
Menurut saya, di sinilah tanggungjawab menkes sebagai kepanjangan tangan negara dalam menghadirkan keadilan demi terpenuhinya hak-hak saudara kita, para pejuang kanker, terutama yang berdomisili di Indonesia Timur.
ADVERTISEMENT
Selain menunggu antrean layanan di Surabaya atau Denpasar yang lamanya bisa lebih dari 3-6 bulan, ongkos transport ratusan kilometer dan akomodasi selama 4-6 minggu selama pengobatan tidak ditanggung oleh BPJS. Di saat yang sama menkes lebih mementingkan pengadaan PET scan yang super mahal, daripada memenuhi kekurangan alat Teleterapi sebagaimana data dari IROS.
Kondisi penanganan pasien kanker di RS Rujukan Nasional di Jakarta (di depan mata menkes) pun ternyata juga tidak seperti yang diharapkan. Hal ini tergambar dari publikasi berjudul ‘Treatment Delay of Cancer Patient in Indonesia: A Reflection from a National Referral Hospital’ yang ditulis oleh S Gondhowihardjo dkk. (Med J.Indonesia, 2021; 30: 129-137). Studi pada pasien kanker yang dirujuk ke Poli Rawat Jalan Departemen Onkologi Radiasi RSCM ini membuktikan bahwa 86% pasien kanker mengalami keterlambatan penanganan, dan sebagian besar keterlambatan terjadi di Rumah Sakit Rujukan.
ADVERTISEMENT
Bentuk keterlambatan tersering adalah waktu pemberian radioterapi setelah jenis kanker-nya dipastikan (terjadi pada 80% kasus), disusul oleh terlambat memastikan jenis kanker setelah pasien diperiksa dokter spesialis (36%). Sedang keterlambatan rujukan dari dokter (Faskes 1) ke RS Rujukan porsinya terkecil, hanya 9%. Keterlambatan dalam memastikan diagnosa jenis kanker antara lain disebabkan oleh waktu tunggu untuk di foto (X ray, CT, dan MRI. BUKAN PET Scan!), waktu tunggu untuk tindakan biopsi (pengambilan sampel jaringan tumor), dan waktu tunggu untuk memperoleh hasil pemeriksaan Patologi Anatomi (PA).
Semua uraian di atas menggambarkan betapa kisruh amburadulnya pemenuhan hak kesehatan rakyat banyak yang menjadi tanggungjawab negara. Kanker hanya sebuah contoh, puncak dari sebuah gunung es problematika tata kelola kesehatan rakyat. Alih-alih bekerja professional sesuai tupoksinya sebagai ‘policy maker’ bidang kesehatan, menteri yang satu ini terlalu sering muncul dan bernarasi di media online dan medsos bicara semua hal-hal teknis yang diluar kompetensinya.
ADVERTISEMENT
Mulai dari narasi ngawur tentang perbedaan kasta dokter dan perawat, narasi terkait pemerasan dalam pengurusan STR (yang ternyata hoaks), narasi terkait bullying sampai urusan depresi dalam pendidikan dokter (bukan urusan kemenkes), dan terakhir narasi kekanak-kanakan untuk mendatangkan dokter asing bak pemain bola naturalisasi. Malah tidak jarang melibatkan (yang mengaku) influenser yang mungkin tupoksinya adalah meramaikan dan menguras energi kita-kita saja.
Sebagai representasi rakyat yang berharap banyak dari pemerintahan yang akan datang, kami sangat terkesan dengan kata penutup Presiden terpilih Prabowo Subianto saat debat capres pertama “Indonesia Maju tak butuh Permainan Kata dan Retorika” (CNBC Indonesia news, 13 Des.2023).
Memahami pernyataan ungkapan hati dari Presiden terpilih, kita berharap menkes yang akan dipilih nanti, bukan orang yang cuma bisa bermain kata dan retorika, lewat banyak narasi di medsos terkait hal-hal teknis, yang kadang tidak etis dan semuanya diluar tupoksi dan kompetensinya sebagai seorang menteri kesehatan.
ADVERTISEMENT