Konten dari Pengguna

Katanya demi Sistem Kesehatan se-Indonesia, Kok Coba-coba?

Zainal-Muttaqin
Ahli bedah saraf, Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip.
3 Mei 2023 12:36 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zainal-Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dokter. Foto: Andrei_R/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dokter. Foto: Andrei_R/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Dalam penjelasan umum terkait UU No.12-2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa pendidikan tinggi harus mampu menghasilkan intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang berbudaya, kreatif, toleran, demokratis, dan berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran demi kepentingan bangsa dan umat manusia.
ADVERTISEMENT
Pada pasal 25 UU ini dijelaskan juga bahwa program spesialis merupakan pendidikan keahlian lanjutan bagi lulusan program profesi yang telah berpengalaman sebagai profesional untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya sebagai spesialis.
Program spesialis ini dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang bekerja sama dengan kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) adalah Lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan amanat UU No 29-2004, dalam rangka melindungi masyarakat dalam pelayanan kedokteran.
Ilustrasi sekolah kedokteran. Foto: admin
Saat ini negara, melalui KKI, telah secara sah memiliki dokumen resmi (tercatat dalam lembaran negara RI) tentang: standar pendidikan dokter spesialis untuk 37 bidang spesialisasi. Standar-standar ini disusun atas dasar masukan setiap kolegium bidang ilmu dan dilakukan evaluasi ulang setiap kurun waktu tertentu.
ADVERTISEMENT
Di dalam standar pendidikan di atas telah dirumuskan seluruh ketentuan tentang proses pendidikan mulai dari kompetensi, proses pencapaian kompetensi, RS (rumah sakit) pendidikan, dosen, hingga penjaminan mutu dan pemberian insentif bagi peserta didik.
Model pendidikan spesialis seperti saat ini, yang sering disebut sebagai university based, merupakan kerja sama tripartit antara Universitas (dhi. Fakultas kedokteran), RS Pendidikan, dan kolegium bidang ilmu terkait.
Kolegium bidang ilmu berdiri dan berangggotakan para guru besar bidang ilmu terkait dan para ketua program studi spesialis dari semua institusi pendidikan dokter spesialis terkait yang ada di Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui, dalam RUU OBL Kesehatan, sepemahaman saya, tidak disebut lagi nama dan peran KKI maupun kolegium. Dan jika memang betul, dengan potensi disahkannya RUU ini tanpa evaluasi poin di atas, maka UU No. 29-2004 menjadi salah satu UU yang akan batal demi hukum.
Ilustrasi ilmu kedokteran. Foto: Shutterstock
Kolegium bidang ilmu (bagian dari dan dibentuk oleh perhimpunan spesialis) adalah pihak yang selama ini dianggap paling mengerti dan memiliki semua sumber daya yang diperlukan terkait pendidikan spesialis, bukan kemenkes atau pihak mana pun.
ADVERTISEMENT
Rencana untuk mengambil alih semua tata-kelola teknis pendidikan spesialis oleh Kemenkes, apa pun alasannya, menurut saya amatlah berbahaya bagi pencapaian kompetensi, terpeliharanya etika profesi dan perlindungan patient safety, tiga unsur terpenting terkait luaran pendidikan spesialis.
Model university based yang berlangsung saat ini melibatkan pelbagai RS pendidikan utama dan banyak rumah sakit jejaring pendidikan, dengan lama masa studi berkisar 8-11 semester (tergantung subjek spesialis), dan lazimnya terbagi jadi tahap I (pengayaan ilmu), tahap II (magang), dan III (mandiri).
Tiga hal penting terkait pendidikan dokter spesialis adalah tercapainya kompetensi, terpeliharanya etika profesi, dan terjaminnya patient safety. Patient safety tidak boleh dikorbankan atas nama pendidikan untuk pencapaian kompetensi. Hal ini tidak mudah karena seorang peserta didik tidak bisa hanya berlatih pada manekin/boneka coba.
Ilustrasi sekolah kedokteran. Foto: vectorfusionart/Shutterstock
Pada suatu masa pernah ada stigma dan pendapat masyarakat bahwa berobat di RS pendidikan sama dengan menyediakan diri untuk dijadikan sarana latihan/percobaan bagi para calon spesialis. Stigma tersebut menurut saya tidak sepenuhnya benar karena apa pun yang terjadi pada pasien tetap menjadi tanggung jawab dokter pendidik klinis atau dokter spesialis penanggung jawabnya.
ADVERTISEMENT
Jadi secara teknis, kehadiran langsung para spesialis saat para peserta didik menjalani fase magang dan awal fase mandiri menjadi mutlak dan tidak bisa ditawar (bukan kehadiran secara daring maupun supervisi secara berkala sekalipun).
Menkes secara berulang menyampaikan akan mengubah pendidikan spesialis ini menjadi hospital based (atau disebut kolegium-based) karena kemenkes mengeklaim memiliki lebih dari 3.000 RS yang tentu saja bisa “memproduksi” dokter spesialis secara lebih masif dan massal daripada “dimonopoli” oleh universitas-universitas yang jumlahnya “hanya” 92 (atau hanya belasan saja yang memiliki program Pendidikan spesialistik sendiri). Secara matematika sederhana, hal di atas tentu saja terlihat logis, bombastis, dan brilian!
Tapi, apakah betul sesederhana itu?
Model pendidikan yang tercermin pada RUU OBL di atas, yang tidak/ belum bisa dibayangkan seperti apa bentuknya ini bukannya dibahas dalam sebuah penjelasan resmi yang rinci sebagaimana dilakukan oleh Dewan Guru Besar FKUI yang mengusung konsep Academic Health System atau AHS (Tempo.Co, Senin 3 April 2023) yang juga dinarasikan secara tertulis, komprehensif, dan bebas akses dalam sebuah executive summary.
ADVERTISEMENT
Konsep ini ditulis oleh para pakar dan praktisi pendidikan spesialis berdasarkan scientific evidence dengan memperhatikan kekurangan dan kelebihan model yang masih berlangsung, yang membuka peluang diskusi dan masukan tanpa memaksakan kehendak maupun ancaman bagi pihak-pihak yang beda pendapat.
Alih-alih menghadirkan informasi yang runut dan rinci sampai pada how to implement (seperti yang ditulis oleh DGUI tentang AHS), kemenkes selaku pengusung model pendidikan spesialis ala RUU OBL ini menjelaskan kepada publik via medsos seorang @ngabilasalama, yang sepaham saya adalah representatif dari pihak kemenkes di sosial media.
Dari uraian penjelasan singkat ibu Ngabila tersebut tersirat latar belakang dari program ini adalah Indonesia hanya bisa cetak 2500 spesialis setahun, sedangkan UK dengan penduduk ¼ Indonesia bisa mencetak 15000 spesialis setahun.
ADVERTISEMENT
Jelas bahwa ini salah satu bentuk penyederhanaan masalah, atau bahasa kerennya adalah “oversimplify”. Membandingkan Indonesia dengan negara dengan latar-belakang yang sangat berbeda, apalagi untuk dasar kebijakan negara, adalah sebuah hal yang problematis. Misalnya terkait jumlah penduduk dewasa yang berpendidikan (setidaknya lulus SMU) di Inggris 52%, sedangkan menurut data yang diambil dari katadata, di Indonesia hanya 20% dan banyak variabel dasar lainnya secara demografi, politik, sosial, ekonomi dan sebagainya yang bisa dikatakan sangat berbeda antara Inggris dan Indonesia.
Atau secara ekstrem, bagaimana kita bisa bersaing dengan negara lain kalau 1 dari 3 anak balita di Indonesia mengalami stunting atau gagal tumbuh (mau jadi dokter?) dan angka ini tertinggi nomor 2 di Asean dan nomor 5 di dunia (data Riskesdas 2018, https://p2ptm.kemkes.go.id).
Ilustrasi dokter. Foto: PopTika/Shutterstock
Kalau ada yang harus disalahkan terkait tingginya angka stunting ini tentu tanggung jawab negara yang diwakili Kemenkes, bukan karena kurangnya jumlah dokter atau dokter spesialis, atau kesalahan organisasi profesi yang menghambat distribusi dokter? Saking terpananya saya mendengarkan penjelasan di atas, saya sampai tertawa sedih.
ADVERTISEMENT
Setangkap saya, dari keterangan singkat ibu Ngabila ini dijelaskan banyak hal yang semakin memperlihatkan ketidakjelasan konsep pendidikan spesialis ala RUU OBL (coba bandingkan dengan executive summary dari DGUI tentang AHS).
Saya tidak tahu, tapi bisa saja tim Kemenkes yang mensosialisasikan konsep “baru” tadi sepertinya belum pernah mengikuti pendidikan spesialis, belum pernah imengikuti diskusi dengan kolegium yang membahas tentang pendidikan spesialis, apalagi membaca Perkonsil terkait Standar Pendidikan dokter spesialis.
Apakah dengan hanya mendengarkan penjelasan lisan Bapak Menkes dalam waktu sekitar 3 jam soal hal ini (kalau perkuliahan nilainya kurang dari 0,1 SKS mungkin) bisa cukup untuk memahaminya secara dalam dan mensosialisasikannya dengan baik? Entahlah.
Ilustrasi dokter menutupi wajah. Foto: Shutter Stock
Hal di atas semakin menimbulkan kekhawatiran saya, bahkan mungkin ketakutan di kalangan para guru besar dan para pendidik dokter spesialis, bahwa sistem pendidikan dokter spesialis yang saat ini berjalan dengan segala kekurangannya, akan diganti secara instan dengan sebuah model pendidikan yang konsepnya belum jelas dan masih coba-coba.
ADVERTISEMENT
Apalagi diakui sendiri oleh ibu Ngabila tadi, bahwa model pendidikan spesialis ala RUU-OBL ini best practice-nya masih di “luar negeri” dan baru akan dicoba di Indonesia. Mengerikan.
Meskipun penyusunan kurikulumnya dibantu oleh Royal College London sekalipun, para guru besar dan praktisi pendidikan spesialis kita sepertinya jelas lebih tahu tentang problematika terkait infrastruktur kesehatan, apalagi bila kita bicara tentang kearifan lokal. Sayangnya mereka, dan kami, belum dilibatkan. (atau mungkin sudah? Siapa yang diajak diskusi?)
Demi masa depan sistem rekrutmen SDM kesehatan, pendidikan, dan distribusi dokter spesialis yang lebih baik untuk masa depan pelayanan kesehatan dan kesejahteraan seluruh rakyat.
Ilustrasi tulisan tangan resep dokter. Foto: DW labs Incorporated/Shutterstock
Sungguh tidak layak dan tidak bisa diterima apabila kemenkes sebagai pengusung RUU-OBL Kesehatan ini memaksakan kehendaknya dengan cara-cara yang tidak demokratis, melalui kegiatan sosialisasi terkesan sepihak yang diberi judul ‘public hearing’.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya itu, bahkan melalui ancaman dan atau “pemecatan” pihak-pihak yang berbeda pendapat dan memberikan kritikan, apalagi tidak memberi kesempatan beradu konsep melalui debat/diskusi terbuka dengan para pakar, ilmuwan, dan cendekiawan, misalnya: Dewan Guru besar UI.
Apakah memang kebijakan di negeri ini memang berdasar intuisi pemimpinnya saja dengan tanpa mengindahkan uji ilmiah dan diskusi pakar, misalnya. Lalu untuk apa ada ada universitas di negeri ini. He he he.