Konten dari Pengguna

Mendidik Dokter Tidak Sama dengan Mencetak 'Tukang Operasi/Mengobati'

Zainal-Muttaqin
Ahli bedah saraf, Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip.
16 April 2023 15:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zainal-Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dokter bedah. Foto: Gorodenkoff/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dokter bedah. Foto: Gorodenkoff/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dokter (dan tenaga kesehatan) adalah profesi yang memiliki pondasi memberikan pelayanan kepada pasien berdasarkan kepedulian, bukan karena berniaga atau jual-beli, memberikan pelayanan ketimbang mencari keuntungan, demikian menurut Hippocrates. Untuk itu, seorang dokter harus selalu kompeten dengan selalu memperbaharui pengetahuan dan keterampilannya.
ADVERTISEMENT
Untuk mencapai tujuan menghasilkan manusia yang memiliki kompetensi pengetahuan kedokteran yang cukup serta memiliki landasan etika dan profesionalitas dalam mengaplikasikan ilmunya, maka disusun sebuah standar pendidikan dokter, standar pendidikan dokter spesialis setiap bidang ilmu, standar kompetensi, serta standar layanan profesi yang semuanya telah disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia dan dimuat dalam regulasi resmi negara.
Jadi, pendidikan dokter adalah pendidikan profesi, bukan pendidikan vokasi sebagaimana yang ada di “balai latihan kerja” yang banyak dimiliki oleh Kemenaker, misalnya.
Menurut hemat saya, profesi dokter adalah pekerjaan yang berbasis pengetahuan (body of knowledge) dan keterampilan yang spesifik, memiliki disiplin dan etika profesi dan kesejawatan, dan lebih bertujuan untuk memberikan jasa pelayanan.
ADVERTISEMENT
Proses pembentukan SDM dokter bukan sesederhana lulusan dokter umum yang rajin mengikuti seminar-seminar medik, lalu ikut magang pada seorang spesialis terkenal di sebuah RS selama waktu tertentu lalu bisa dinyatakan lulus jadi dokter spesialis tanpa melalui uji standar yang disepakati.
Ilustrasi pasien berkonsultasi dengan dokter. Foto: Shutterstock
Hal di atas berkaitan dengan model pendidikan spesialis yang digagas oleh Menkes dengan istilah "hospital based" (yang kata beliau bisa dilakukan di lebih dari tiga ribu RS dibandingkan hanya dimonopoli oleh Universitas yang jumlahnya cuma 92) akan lebih cepat dan lebih banyak menghasilkan spesialis.
Betul sekali. Dengan ide beliau yang brillian ini akan dihasilkan banyak sekali "tukang operasi" dan "tukang mengobati", bukan dokter spesialis yang dididik dengan standar serta cara pencapaian kompetensi yang jelas. Menkes bahkan mencontohkan kalau dokter bedah belajar sunat (khitan), tentu belajarnya lebih banyak praktik sunat di RS ketimbang tentang teori keilmuan di universitas.
ADVERTISEMENT
Landasan berpikir beliau bisa saya bilang dangkal, menganggap pendidikan profesi spesialis seolah pendidikan vokasi yang cukup dilakukan di BLK. Profesi dokter tidak bisa disamakan dengan industri lain yang mungkin objek dan subjeknya bukan langsung kepada manusia.
Dan mungkin beliau tidak pernah berpikir mengapa perlu waktu setidaknya 10 (sepuluh) tahun untuk menjadi seorang dokter spesialis, yang secara ekonomis jelas tidak efektif dan tidak efisien bila dibandingkan.
Misalnya, kuliah di fakultas non-kedokteran yang biasanya hanya empat tahun, bisa lulus dan jadi bankir dengan penghasilan yang jauh berlipat. Untuk efisiensi waktu dan biaya, kenapa tidak dibuat pendidikan dokter yang langsung lulus jadi spesialis dalam waktu kurang dari lima tahun, dengan lulusan yang meski tidak terstandar tapi masih lebih baik dari seorang dukun.
ADVERTISEMENT
Contoh sederhana ketidaktahuan Menkes tentang pendidikan dokter adalah Permenkes No 6-2023 tentang upaya impor dokter asing yang tidak harus bisa berbahasa Indonesia saat mulai bekerja.
Ilustrasi dokter gigi anak Foto: Shutter Stock
Seorang dokter bisa memastikan penyakit pasien bukan sekadar dari hasil pemeriksaan penunjang (foto rontgen, CT scan, atau hasil laborat), melainkan dari anamnesa yang baik (tanya jawab terarah terkait organ tubuh yang diduga bermasalah), yang mengharuskan penguasaan bahasa lokal si pasien.
Menurut saya, kebijakan dari Pak Menkes yang terlihat sering menyederhanakan persoalan (misalnya soal hospital based seperti di atas) dan menggeneralisasi kasus kejadian (soal STR dan SIP). Mungkin pendapat saya di atas bisa sangat bias karena subjektif kepada Pak menkes saja dan berdasarkan informasi tidak utuh yang tersebar karena dinamika informasi di media yang saya terima.
ADVERTISEMENT
Namun, jika penilaian saya betul, sangat disayangkan karena pemegang kebijakan selevel Menteri selayaknya memiliki perangkat yang mumpuni untuk minimal membuat, mendiskusikan dan mensosialisasikan kebijakan terkait sistem Kesehatan negeri (yang memang jadi wilayah kerjanya) secara lebih komperhensif. Atau setidaknya lazim dan masuk akal.
Sayang sekali. Semoga ke depan, Pak Menkes dan timnya bisa terus bergerak dan menyadari bahwa banyak ide beliau yang brillian terkait reformasi bidang kesehatan, tetapi ide-ide tersebut tidak layak untuk direalisasikan kalau ujung-ujungnya akan mengorbankan kualitas layanan serta keselamatan pasien. Aamiin!