Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengapa Saya Dipecat?
22 Mei 2023 20:37 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Zainal-Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Surat Terbuka kepada Menteri Kesehatan dan Menteri Pendidikan RI
ADVERTISEMENT
Pelayanan medis Spesialistik adalah bagian penting dari pelayanan kesehatan yang paripurna. Menurut data Konsil Kedokteran, saat ini Indonesia memiliki 41.798 dokter spesialis untuk melayani 270 juta populasi, atau 1,4 untuk 10.000 populasi.
ADVERTISEMENT
Jumlah ini jauh dari ideal, bahkan menurut Worldbank.org, proporsi dokter umum di Indonesia terhadap populasi adalah yang terendah kedua di Asia Tenggara setelah Kambodia dan setara dengan Myanmar. Belum lagi jika kita perhatikan lebih dalam mengenai persebaran dokter umum, dokter spesialis dan juga infrastruktur Kesehatan yang begitu timpang di Indonesia.
Di era JKN (Jaminan Kesehatan Nasional-BPJS) saat ini, ketiadaan pelayanan kesehatan spesialistik di suatu wilayah adalah sama dengan ketidakadilan sosial mengingat iuran BPJS ini dibayar oleh semua peserta, termasuk 92 juta warga golongan miskin yang iuran-nya dibantu oleh kas negara.
Kaitannya dengan hal di atas, menurut UU No.20 tahun 2013 (UU DikDok), program pendidikan dokter spesialis (PPDS) diselenggarakan bersama oleh Pemerintah dan Organisasi Profesi.
ADVERTISEMENT
Dalam tataran pelaksanaan, ada 3 (tiga) pilar yang menopang penyelenggaraan PPDS, yaitu universitas/ fakultas kedokteran sebagai pemilik program studi, rumah sakit (RS) pendidikan sebagai lahan/wahana pendidikan, dan ketiga adalah organisasi profesi yang diwakili oleh kolegium bidang Ilmu yang mengatur persyaratan pendirian program studi, persyaratan peserta didik, standar dan kurikulum pendidikan, penyelenggaraan ujian kompetensi sampai pemberian sertifikat kompetensi.
Fakultas kedokteran tidak akan mungkin memiliki dan menyelenggarakan program pendidikan profesi dokter dan dokter spesialis apabila tidak memiliki atau tidak bekerja sama dengan RS pendidikan, karena sifat dari pendidikan profesi yang kompetensi keilmuan dan keterampilannya hanya bisa dipelajari oleh peserta didik melalui proses pengelolaan pasien-pasien secara langsung di sebuah RS, mulai dari klinik rawat jalan, sarana penunjang diagnostik, bangsal perawatan, sampai kamar bedah, bahkan sampai ke ruang pemulasaraan jenazah.
Pada umumnya, RS “vertikal” yang dimiliki kemenkes dan ada di ibukota provinsi, sekaligus juga menjadi RS pendidikan utama bagi FK Negeri yang ada di kota itu, seperti RSCM bagi FKUI, RSHS bagi FK Unpad, dan RS Sarjito bagi FK UGM.
ADVERTISEMENT
Kesediaan untuk menjadi RS pendidikan utama ini diformulasikan dalam sebuah ikatan perjanjian kerja sama (PKS) terkait hak dan kewajiban masing-masing pihak, yang selalu diperbaharui setiap kurun waktu tertentu.
Jadi, yang terjadi di semua RS vertikal ini, misal di RS Dr Kariadi (RS Pendidikan Utama FK Undip) bukanlah sekadar proses pelayanan kesehatan seperti umumnya di semua RS non-pendidikan dan RS Swasta, melainkan (yang lebih penting yaitu) terjadinya proses transfer Ilmu dan keterampilan dari para dokter spesialis senior kepada para peserta didik PPDS yang merupakan calon-calon spesialis di masa depan.
Proses transfer ilmu dan keterampilan spesialistik ini akan berlangsung baik apabila para pendidik/ dokter spesialis selain memiliki kompetensi spesialis, juga memiliki kompetensi untuk melakukan teknis transfer ilmu (misalnya pelatihan pekerti, AA, atau dulu disebut Akta V).
ADVERTISEMENT
Perjalanan sejarah dari hampir semua RS vertikal tersebut jelas menunjukkan bahwa pengembangan layanan spesialistik serta proses awal dibukanya hampir semua program pendidikan dokter spesialis yang ada selalu dimulai dan dipelopori oleh para dokter spesialis dan para profesor yang dimiliki oleh FK Negeri terkait.
Dalam perjalanan waktu yang panjang, semakin banyak spesialis yang berstatus ASN Kemenkes juga ikut berperan dalam pendidikan profesi bagi para calon dokter dan dokter spesialis ini.
Fakta yang tidak mungkin dinafikan adalah bahwa kehadiran para profesor dan dokter spesialis yang berasal dari Institusi FK (Kemendiknas) di berbagai RS vertikal yang punya program PPDS bukan terbatas sebagai ‘dokter mitra’ yang hanya bekerja untuk memberikan layanan dan memperoleh uang jasa pelayanan/upah.
Kalau sekadar untuk bekerja dan melakukan tugas profesi sebagai dokter spesialis, secara finansial mereka dengan mudahnya bisa memperoleh pendapatan dari jasa pelayanan yang jauh lebih besar bila bekerja di sektor swasta.
ADVERTISEMENT
Kehadiran para profesor dan spesialis ini, apapun status kepegawaiannya, ASN maupun bukan, semuanya memiliki peran dan tanggungjawab besar untuk mendidik dan menghasilkan dokter dan dokter spesialis yang selain memiliki kompetensi sesuai bidangnya.
Juga sebagai ilmuwan yang memahami prosedur baku sains dan ilmu kedokteran, serta menjunjung tinggi etika profesi serta kesejawatan sebagaimana dicontohkan oleh keteladanan para profesor dan pendidik lainnya.
Berita yang ditulis di Harian Haluan.com, Jumat 21 April 2023 berjudul “ RSUP Kariadi akui berhentikan Prof. Zainal Muttaqin karena Kritik Kemenkes” ditulis bahwa dari penjelasan oleh Koordinator Hukormas, Vivi Vira Viridianti, yang mengatakan antara lain:
Menurut saya pribadi, menyampaikan pendapat adalah hak konstitusional setiap warganegara, lewat media apapun, dan pengaturan yang membatasi hal ini hanya UU ITE dan KUHP. Semua kritikan kepada Kemenkes atau Menkes tidak pernah sekalipun saya kaitkan dengan RSUP Kariadi, saya selalu menggunakan identitas sebagai guru besar FK Undip.
ADVERTISEMENT
Semua tulisan tersebut adalah bentuk partisipasi aktif saya sebagai seorang akademisi, berdasarkan fakta dan keilmuan, dengan maksud untuk membangun masa depan yang lebih baik negeri tercinta ini. Narasi yang saya tulis, jika dianggap kontroversi, bisa diselesaikan melalui forum diskusi akademik yang melibatkan para akademisi lain, bukan penguasa.
Kedua, saya mulai menjadi mitra di RSUP Kariadi sejak Oktober 1994, memberikan pelayanan bedah saraf (bersama dr. Amanullah dan dr. Gunadi Kusnarto, Alm) selama hampir 30 (tiga puluh) tahun, tanpa pernah ada jeda sekalipun.
Peran yang lebih penting dari kehadiran saya di RSUP Kariadi adalah sebagai dokter pendidik klinis yaitu ikut mendidik para calon dokter umum, calon dokter spesialis bedah, dan calon dokter spesialis saraf (sejak 1994).
ADVERTISEMENT
Serta mulai mendidik calon spesialis bedah saraf (sejak tahun 2013) yang terus berlangsung tanpa jeda sampai saya diberhentikan dengan surat No. KP.02.03/I.II/3700/2023, mulai tanggal 6 April 2023 lalu setelah melewati sidang etik yang menyimpulkan bahwa tidak ditemukan sedikitpun pelanggaran etik dan satu pun pelanggaran lain.
Pada tahun 2000, bersama dengan beberapa sejawat dari ilmu saraf, saraf anak, radiologi, dan perangkat lainnya berhasil untuk pertama kali melakukan operasi bedah epilepsi di Indonesia.
Dan, hingga saat ini RSUP Kariadi adalah satu-satunya RS vertikal yang memiliki fasilitas Epilepsi Monitoring Unit, dan juga menjadikannya sebagai pusat rujukan untuk bedah epilepsi bagi seluruh RS di Indonesia, dengan pengalaman lebih dari 900 bedah epilepsi dan rujukannya bahkan datang dari Malaysia, Singapore, Thailand, dan bahkan Melbourne.
Siapapun bisa melihat dan mengakses banyak publikasi internasional terkait bedah epilepsi di RS Kariadi ini di pelbagai jurnal baik nasional maupun internasional. Mungkin saja bagi kemenkes capaian ini tentu tidak ada artinya mengingat epilepsi bukan penyakit prioritas sebagaimana Jantung, Stroke, dan Kanker. Entahlah.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2009, saya diminta, berdasarkan surat keputusan (SK) dekan FK Undip, untuk memimpin tim persiapan pembentukan program studi spesialis bedah saraf di FK Undip/ RSUP Kariadi, dan SK Dikti tentang pembentukan prodi ini turun pada tahun 2015 dan Alhamdulillah sudah sistem PPDS bedah saraf sudah berjalan sampai saat ini dan berkontribusi dalam menghasilkan spesialis bedah saraf yang terhitung masih minim di negeri ini.
Bila dilihat dari jumlah dokter umum dan spesialis yang telah diluluskan selama kurun waktu lebih dari 28 tahun tersebut, setidaknya sudah ada lebih dari 4700 dokter umum (170 orang/ tahun), dan 560 spesialis bedah umum dan 560 spesialis saraf (20 orang/ tahun) yang pernah menjadi anak didik saya dan saat ini tersebar memberikan layanan kesehatan maupun layanan spesialistik di pelbagai pelosok tanah air.
ADVERTISEMENT
Penjelasan Koordinator Hukormas RSUP Kariadi yang menyatakan kehadiran saya sebatas “mitra kerja” bisa benar bila RSUP Kariadi bukan RS pendidikan.
Fakta bahwa RSUP Kariadi terikat sebagai RS pendidikan utama bagi FK Undip, untuk pendidikan profesi dokter dan 19 program studi spesialis, menjadikan sebutan “sebatas mitra kerja” sebagai bentuk pengerdilan dan bisa dibilang sebagai merendahkan peran penting seorang pendidik klinis, terlebih bagi seorang pendidik klinis yang memiliki jabatan Guru Besar.
Pernyataan bahwa “meskipun Zainal Muttaqin dipecat, tidak akan mengganggu pelayanan RS karena...,” jelas menggambarkan bagaimana jajaran kemenkes tidak memahami tanggung jawab konstitusionalnya sebagai wujud kepanjangan tangan negara dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa (mendidik calon dokter dan calon dokter spesialis).
ADVERTISEMENT
Bagi sebuah RS pendidikan, apapun bentuk pelayanan kesehatan baik rawat jalan maupun rawat inap, harus jadi bagian yang tak terpisahkan dari proses pendidikan profesi untuk memenuhi standar kompetensi bagi peserta didik, bukan sekadar pelayanan mengobati orang sakit seolah sebuah klinik rawat inap berskala besar.
Terkait dengan RUU OBL Kesehatan yang saat ini dibahas di DPR, Bapak menkes secara berulang menyatakan kehendaknya untuk mengubah model pendidikan berbasis universitas seperti saat ini dengan model berbasis rumah sakit hanya karena ada lebih dari 3000 RS dibandingkan jumlah universitas yang cuma 92 (http://youtube.com/watch?v=NFc--9dgWQ0&feature=share ).
Saya tentu saja khawatir, beliau tidak cukup memperoleh masukan terkait pendidikan profesi serta standar pendidikan, standar kompetensi, dan standar pelayanan profesi, termasuk kualifikasi dosen pendidik klinis.
ADVERTISEMENT
Seorang calon spesialis bedah umum harus mendapatkan ilmu dan keterampilan profesinya bukan dari seorang spesialis bedah umum saja, tetapi dari 9-10 orang dokter bedah subspesialis yang memiliki keahlian formil lebih dari spesialis bedah umum. Analoginya, jangan sampai terjadi seorang lulusan SD bisa mengajar SD.
Kalau sekadar untuk mencetak “tukang operasi dan tukang mengobati” yang bisa menolong pasien perdarahan selaput otak paska kecelakaan lalu lintas lebih baik daripada dukun, tidak harus sampai 4-5 tahun kok, bahkan tidak harus dokter, siapapun saja bisa saya latih keterampilannya jadi asisten operasi saya cukup 6 bulan dijamin akan mahir sebagai tukang operasi. Tapi, apakah ini etis?
Melihat jajaran kemenkes setidaknya pejabat yang memerintahkan pemecatan saya yang tidak bisa membedakan antara ‘dokter mitra’ yang dianggap hanya ‘nebeng hidup’ untuk mendapatkan jasa medik dan mudah digantikan tenaga lain, dengan seorang guru besar dan pendidik yang selama hampir 30 tahun punya andil dalam menghasilkan ribuan dokter dan ratusan dokter spesialis.
ADVERTISEMENT
Bila dikaitkan dengan akan semakin besarnya peran dan kekuasaan kemenkes dalam tata kelola SDM kesehatan sesuai RUU OBL Kesehatan, tidak terbayangkan betapa lemahnya perlindungan kerja bagi para nakes di Indonesia nantinya, serta keraguan akan kualitas dan kompetensi nakes, khususnya dokter spesialis yang akan dihasilkan yang imbas terbesarnya tentu pada perlindungan dan keselamatan pasien nantinya.
Lalu siapa yang sesungguhnya merugi?
Wallahu A’lam Bissawab.