Konten dari Pengguna

Pendidikan Dokter Spesialis di Indonesia, ‘perbudakan’ Atas Nama Pendidikan

Zainal-Muttaqin
Ahli bedah saraf, Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip.
29 September 2020 20:56 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zainal-Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: instagram @pandemictalks
zoom-in-whitePerbesar
sumber: instagram @pandemictalks
ADVERTISEMENT
Dalam kaitan dengan amburadulnya perjalanan pengelolaan wabah COVID-19 di Indonesia akhir-akhir ini, muncullah istilah PPDS, kependekan dari Program Pendidikan Dokter Spesialis. Istilah ini muncul ketika ada berita sejumlah dokter PPDS di sejumlah RS Pendidikan yang tertular COVID-19 hingga berita tentang kematian dua orang dokter PPDS di salah satu rumah sakit di Surabaya. Isu tentang PPDS yang tertular bahkan sampai meninggal karena COVID-19 ini menjadi penting ketika secara faktual, data menunjukkan bahwa jumlah dokter di Indonesia yang hanya 4 per 10.000 populasi (worldbank.org), terburuk kedua di Asia tenggara setelah Kambodia dan hanya di atas Myanmar. Untuk perbandingan, Filipina yang memiliki tingkat sosial ekonomi mirip dengan Indonesia saja jumlah dokternya 6 per 10.000, sedangkan Italia memiliki rasio dokter populasi 10 x lipat di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Artinya kematian seorang dokter di Indonesia bisa setara dengan kematian 10 orang dokter di Italia. Masalahnya bukan sampai di situ saja, karena di Indonesia, jumlah dokter spesialis lebih sedikit lagi. Menurut data dari konsil kedokteran Indonesia, sampai saat tulisan ini dibuat ada 41.798 dokter spesialis yang terdaftar untuk melayani 270 juta populasi, atau 1,4 per 10.000 populasi. Belum lagi ketimpangan sebaran tenaga kesehatan di Indonesia yang sangat tidak merata.
Situasi wabah COVID-19 di Indonesia yang masih terus meluas tanpa ada kejelasan kapan akan berakhir ini, sampai akhir September 2020, setidaknya telah merengut nyawa 129 orang dokter (laporcovid19.). Angka kematian nakes di Indonesia adalah termasuk yang tertinggi di dunia, ada 250-an nyawa nakes Indonesia yang telah menjadi korban meninggal karena COVID-19. Menurut @pandemictalks yang melakukan analisis bulan Agustus lalu terhadap kematian dokter, 65% dari kematian dokter ini terjadi di pulau Jawa dan 30% di Jawa Timur. Angka IPKN atau Indeks Pengaruh kematian nakes (dihitung dari jumlah kematian dokter per jumlah dokter untuk 1000 populasi) terburuk ada di Jawa Timur, yaitu 100. (@pandemictalks).
ADVERTISEMENT
Artinya ada 100 ribu orang di Jawa Timur yang menjadi tidak terlayani karena kehilangan dokter. Tingginya angka kematian nakes ini diduga terkait dengan tingginya jumlah pasien COVID-19 yang dirawat, beratnya beban kerja nakes, dan tidak sempurnanya proteksi terhadap penularan seperti tekanan negatif pada ruang isolasi, dan penularan di ruang ganti APD.
Dalam sistem pelayanan Kesehatan Indonesia, khususnya di RS rujukan COVID-19 yang sekaligus merupakan RS Pendidikan, ujung tombak nakes yang terlibat dalam pengelolaan dan perawatan pasien COVID-19 adalah para PPDS atau dokter residen yang merupakan kepanjangan tangan dan pelaksana tugas para dokter spesialis. Status sebagai peserta didik ‘program magang’ ini telah menempatkan para residen atau PPDS ini sebagai tenaga kerja yang paling rentan untuk dieksploitasi tenaga dan jam kerjanya atas nama Pendidikan. Pada Agustus lalu telah dilakukan survei yang apik oleh tim bantuan residen untuk mitigasi PB IDI yang diikuti oleh lebih dari 7.800-an PPDS (total di Indonesia ada sekitar 13.000 dokter PPDS yang aktif).
ADVERTISEMENT
Dari survei tersebut didapatkan angka yang cukup mencengangkan yaitu sebanyak 978 PPDS telah tertular, sebanyak 31% tidak pernah mendapat fasilitas Swab PCR, 62,9% responden mengaku mendapatkan APD dari donatur dan usaha sendiri, 25% mengalami burnout dan 16,8% mengalami gejala depresi. Selain itu, PPDS juga tidak mendapat pembagian waktu kerja dan istirahat yang cukup, pendampingan psikologi, dan bahkan sebagian belum mendapat insentif yang dijanjikan dan sebagian juga tetap membayar penuh biaya UKT walau dalam kondisi pandemi dan ancaman waktu sekolah yang diperpanjang.
Permasalahan mengenai human resource di sistem kesehatan Indonesia adalah sebuah pekerjaan rumah raksasa. PPDS merupakan bagian dari siklus rekrutmen sumber daya manusia bidang kesehatan di Indonesia dan di dunia. Untuk menjadi seorang dokter di Indonesia diperlukan pendidikan akademik/ perkuliahan selama 7-8 semester (lulusannya diberi gelar S.Ked), ditambah dengan pendidikan profesi/magang selama 3-4 semester. Setelah itu mereka harus mengikuti uji kompetensi yang bersifat nasional (UKDI atau sekarang disebut UKM-PPD). Mereka memperoleh gelar dokter dan berhak melakukan pekerjaan/profesi sebagai dokter setelah lulus uji kompetensi dan dilakukan sumpah dokter. Sejak 2007, peraturan pemerintah mewajibkan para dokter baru ini untuk menjalani program ‘latihan kerja’ wajib selama satu tahun yang disebut program ‘internship’ di berbagai Rumah Sakit Daerah dan di Puskesmas, sebelum bisa bekerja sebagai dokter umum atau melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Dalam pengembangan karier profesi kedokterannya, para dokter baru ini bisa bekerja sebagai dokter umum (untuk sementara atau seterusnya) atau melanjutkan pendidikan untuk menjadi dokter spesialis melalui program Program Pendidikan Dokter Spesialis I yang peserta didiknya disebut sebagai mahasiswa PPDS (PPDS II adalah program Pendidikan dokter Sub-spesialis atau Spesialis-Konsultan (K), misalnya spesialis Bedah K-Onkologi atau spesialis Penyakit Dalam K-Ginjal dan Hipertensi).
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan UU Pendidikan Dokter (UU No 20 tahun 2013), Pendidikan dokter spesialis ini harus University Based. Dari 95 program studi dokter yang ada di Indonesia saat ini, program PPDS hanya ada di 17 Fakultas Kedokteran negeri dengan akreditasi A (yang jadi prasarat FK tersebut bisa memiliki program PPDS), dengan jumlah peserta didik sebanyak sekitar 13.000 orang dokter (MKKI 2020). Untuk diterima sebagai mahasiswa PPDS, ada proses pendaftaran dan seleksi yang dilakukan oleh universitas pemilik program pendidikan/prodi, biasanya 2 kali dalam setahun. Apabila diterima, peserta didik wajib membayar biaya pendidikan sesuai UKT (uang kuliah tunggal) yang ditetapkan oleh masing-masing universitas yang besarannya saat ini berkisar antara 10-30 juta per semester, selama 7-11 semester tergantung bidang ilmunya. Karena merupakan pendidikan profesi, dalam pelaksanaannya kurang dari 30% yang merupakan pendidikan akademik/ pengayaan ilmu/ perkuliahan, sedangkan 70% sisanya merupakan pendidikan magang/ praktik merawat dan mengobati pasien di RS Pendidikan utama maupun RS jejaring/RS afiliasi di bawah supervisi/ pengawasan para dokter spesialis yang disebut sebagai dokter penanggung jawab pasien atau DPJP. Meski status para mahasiswa PPDS ini tetap sebagai peserta didik yang wajib membayar uang SPP/ UKT, pada waktu yang sama mereka adalah tenaga kerja ‘gratis’ yang tidak digaji untuk melaksanakan tugas merawat dan mengevaluasi perkembangan pasien selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, sebagai kepanjangan tangan dan di bawah pengawasan para spesialis/DPJP.
ADVERTISEMENT
Sesuai ketentuan UU, PTN sebagai pemilik program studi PPDS harus memiliki atau bekerjasama dengan RS Pendidikan tipe A yang rata-rata merupakan RS Rujukan nasional di ibu kota Provinsi. Jadi semua lahan pendidikan untuk PPDS tersebut merupakan RS besar dengan kapasitas tempat tidur sebanyak 600-1000 bed, yang sebagian besar pelaksanaan pelayanan rawat jalan maupun rawat inapnya dikelola langsung oleh para mahasiswa PPDS dengan supervisi DPJP. Karena statusnya yang bukan tenaga kerja/ karyawan RS, para PPDS ini tidak memperoleh gaji maupun jaminan perlindungan terhadap risiko pekerjaan sebagaimana tenaga kerja pada umumnya.
Situasi wabah saat ini telah menjadikan semua RS Pendidikan tempat para PPDS bertugas/ magang sebagai RS rujukan COVID-19, dan otomatis para PPDS pun memiliki risiko untuk terpapar/ tertular COVID-19 yang besar kecilnya bervariasi. PPDS bidang ilmu infeksi memiliki risiko untuk langsung berhadapan dengan pasien Covid (probable dan suspek), tetapi dengan banyaknya OTG di masyarakat maka para PPDS bidang non-infeksi pun juga berisiko karena saat ini semua RS tersebut telah menjadi seolah ‘medan perang’ dengan kapasitas layanan yang hampir terlampaui. Ironisnya, di saat para pekerja medis resmi (perawat dan para dokter spesialis/DPJP)-yang memang sengaja memilih untuk bekerja di RS-memperoleh gaji dan ada jaminan/ perlindungan yang sistemik, bahkan khusus mereka yang terkait langsung dengan perawatan pasien COVID-19 memperoleh tambahan insentif dari pemerintah, lalu bagaimana dengan nasib para PPDS ini?
ADVERTISEMENT
Jumlah dokter spesialis di Indonesia benar-benar jauh dari cukup, dan sebaran para spesialis ini terutama di kota-kota besar saja. Dengan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) serta Universal Coverage yang dikelola oleh BPJS, tidak hadirnya pelayanan kesehatan spesialistik di banyak daerah terpencil adalah sebuah ketidakadilan, karena kepesertaan dan iuran BPJS didukung oleh seluruh peserta di seantero negeri ini, tapi pelayanan spesialistik hanya bisa dirasakan oleh mereka yang berada di kota-kota besar. Keadilan dalam pelayanan kesehatan baru bisa tercapai bila pemerintah bisa menghadirkan pelayanan spesialistik secara merata di seluruh wilayah negeri ini. Program PPDS adalah satu-satunya cara rekrutmen yang legal dan institusional untuk menghasilkan SDM dokter spesialis yang memenuhi standar kompetensi yang diatur bersama oleh pemerintah dan organisasi profesi.
ADVERTISEMENT
Jumlah peserta didik PPDS atau residen masih mungkin ditingkatkan secara kuantitatif dan kualitatif dalam lingkup peraturan perundang-undangan yang ada. Kesulitannya terletak pada fakta bahwa di Indonesia ini adalah program pendidikan berbayar mahal, dengan kewajiban UKT/ SPP 10-30 juta per semester atau 20-60 juta per tahun selama 4-5 tahun. Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya penghargaan berupa gaji atau insentif yang layak untuk jasa peserta didik PPDS yang memiliki kompetensi dan lisensi sebagai dokter umum dan faktanya ikut dalam memberikan pelayanan di semua RS pendidikan. Tidak adanya penghargaan berupa gaji atau insentif bagi perserta didik PPDS-mirip dengan perbudakan yang mengatasnamakan pendidikan-ini pernah terjadi di USA sekitar 60-70 tahun yang lalu. Saat ini seorang peserta didik PPDS memperoleh insentif setiap bulannya sebesar USD 5.000 per bulan di USA, USD 1.000 di Brasil dan Afrika Selatan, dan USD 500-700 di India dan Filipina. Ditambah di semua negara ini pun ada sistem jaminan yang terintegrasi untuk tenaga residen. Di Indonesia? tentu saja tidak ada. (@pandemictalks, 9 Agustus 2020)
ADVERTISEMENT
Para peserta didik PPDS atau dokter residen adalah bagian dari generasi muda bangsa, usia 30 tahunan, memiliki kompetensi sebagai dokter umum, dan umumnya sedang memulai kehidupan berkeluarga. Teman-teman mereka yang menekuni keahlian lain seperti bisnis, teknologi, hukum, dll. kebanyakan sudah mulai meniti karier dengan penghasilan yang cukup untuk kehidupan berkeluarga. Para peserta didik PPDS inilah yang akan menjadi penerus para spesialis yang ada saat ini, dan di pundak mereka ada tanggung jawab untuk menghadirkan pelayanan kesehatan spesialistik yang berkualitas serta merata bagi seluruh warga negara di seantero negeri. Bagaimana mungkin kita menuntut para lulusan program PPDS/ para dokter spesialis baru untuk ‘mengabdi’ atau ‘bekerja untuk negeri’ di berbagai daerah terpencil kalau negara tidak hadir dalam proses rekrutmen yang berbiaya tinggi ini. Setidaknya dibutuhkan dukungan keuangan sekitar Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar untuk bisa ‘survive’ bersama keluarganya menyelesaikan program ini. Tanpa dukungan keuangan yang kuat tidak mungkin untuk masuk dan bertahan mengikuti program PPDS. Sebagian besar mereka memperoleh dukungan keuangan dari keluarga (orang tua/mertua), akibatnya adalah tidak adanya kesempatan sekolah PPDS bagi mereka yang tidak memiliki dukungan finansial. Dalam beberapa tahun terakhir ini, untuk bidang-bidang spesialis tertentu yang paling diperlukan di RS Daerah, sebagian kecil mendapatkan beasiswa pemerintah melalui Kemenkes dan Kemenhan berupa TUBEL (tunjangan belajar) dengan syarat kesediaan untuk ditempatkan di daerah tertentu setelah lulus menjadi spesialis. Namun proporsinya terbilang kecil dibandingkan banyaknya jumlah PPDS.
ADVERTISEMENT
Keberadaan ‘tenaga kerja’ PPDS yang bisa dibilang ‘gratis’ karena tidak digaji di semua RS Pendidikan ini terkuak setelah wabah COVID-19 menyerang dan bahkan mematikan para tenaga medis, termasuk para PPDS. Bagi para dokter spesialis/DPJP dan nakes lain yang ada di RS ada sistem yang melindungi dan dan menjamin kesejahteraan mereka beserta keluarganya, termasuk bila terjadi ‘kecelakaan kerja’ berupa terpapar, tertular, sampai terjadi kematian sekalipun.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyalahkan para direktur RS Pendidikan, atau para dokter spesialis yang pekerjaannya di RS ditopang oleh keberadaan para PPDS ini. Tetapi kalau kita semua tetap beranggapan bahwa ini adalah hal yang wajar/normal sebagaimana yang sudah berjalan selama ini maka kita sepertinya membiarkan ‘perbudakan atas nama pendidikan’ ini terus berlangsung . UU no. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter (UU Dik-Dok), pada Pasal 31 menyebutkan hak mahasiswa PPDS berupa hak untuk memperoleh pelindungan hukum dalam mengikuti proses belajar mengajar, hak untuk memperoleh insentif di RS Pendidikan dan Wahana Pendidikan lainnya, dan hak untuk memperoleh waktu istirahat sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Peserta didik PPDS tidak mungkin mendapatkan ‘gaji’ karena mereka bukan pegawai RS. Selain itu, sepanjang pemahaman saya, banyak RS Pendidikan yang mengartikan bahwa insentif ini sudah diberikan berupa fasilitas seperti ruang belajar, dan ruang istirahat, jatah makan selama jam kerja. Dan yang terakhir ada Surat Menteri Pendidikan No. 69868/MPK.E/KU/2020, tg 12 Agustus 2020 kepada semua Rektor PTN Penyelenggara Program Dokter Spesialis-Subspesialis, menyatakan agar Rektor berkoordinasi dengan Direktur RS Pendidikan untuk pemberian insentif dan santunan kematian bagi peserta didik PPDS yang menangani Covid-19. Langkah yang dilakukan Menkes memberikan santunan sebesar 75 juta bagi setiap dokter PPDS untuk 6 bulan (12,5 juta per bulah ) di Manado baru-baru ini semoga bukan sekedar upaya meredam gejolak ancaman mogok para PPDS di sana. Seperti diketahui kewajiban membayar UKT para PPDS di Unsrat mencapai 24 juta per semester. Ini semua belum bisa menyelesaikan persoalan tetapi bisa menjadi langkah awal kita dalam upaya membangun sistem rekrutmen sumber daya manusia Dokter Spesialis yang lebih beradab agar setelah lebih dari 75 tahun negeri ini merdeka, tidak ada lagi ‘Penjajahan dan Perbudakan atas nama Pendidikan’, demi masa depan Pelayanan Kesehatan Spesialistik yang adil, merata, dan beradab bagi seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
(Oleh Zainal Muttaqin, prof; dr. Sp.BS; Ph.D.)