Konten dari Pengguna

Problematik Permenkes terkait Dokter Asing di Indonesia

Zainal-Muttaqin
Ahli bedah saraf, Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip.
12 April 2023 9:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zainal-Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pasien dengan kanker serviks. Foto: Rocketclips, Inc./Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pasien dengan kanker serviks. Foto: Rocketclips, Inc./Shutterstock
ADVERTISEMENT
Tatkala seorang pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang, idealnya dokter tidak akan langsung meminta dilakukan foto Rontgen, atau bahkan foto MRI Tulang Belakang.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana lazimnya dan sesuai dengan nilai yang diajarkan saat di bangku kuliah, dokter harus bertanya kepada pasien tentang sifat dan kualitas nyeri yang dirasakan, apakah terus menerus atau hilang timbul, lebih terasa saat berbaring atau saat duduk atau malah saat berjalan jauh, apakah nyeri terbatas pada pinggang saja atau terasa menjalar sampai ke paha, atau bahkan sampai ke telapak kaki, misalnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang terarah (berdasarkan pemahaman pengetahuan mengenai ilmu anatomi, fungsi, dan mekanisme kerja setiap organ tubuh) ini dikenal dengan istilah 'anamnesa'. Berdasarkan informasi dari anamnesa yang baik inilah dokter akan bisa menduga jenis penyakit atau kelainan yang menimbulkan keluhan dan alasan pasien datang, apakah saraf terjepit, apakah kerusakan dan instabilitas pada sendi panggulnya, atau nyeri akibat adanya batu di ginjal, misalnya.
ADVERTISEMENT
Dari sinilah kemudian dokter akan meminta dilakukan pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan analisis dan asesmen awal, apakah cukup foto Rontgen, perlu MRI tulang belakang, atau malah USG perut, guna mengkonfirmasi betul tidaknya dugaan tentang penyakit atau penyebab nyeri tersebut.
Ilustrasi merawat pasien COVID-19 di rumah. Foto: Shutter Stock
Dengan anamnesa yang baik maka pemeriksaan penunjang akan lebih terarah, artinya biaya pemeriksaan pun bisa ditekan sesuai dengan kebutuhan. Sepemahaman saya, tanpa anamnesa yang baik, dokter akan cenderung melakukan berbagai macam pemeriksaan penunjang yang ada di rumah sakit, yang tentu saja berakibat pada pemborosan sumber daya diagnostik dan tentu saja keuangan.
Pola pikir seperti ini merupakan logika dasar dan prosedur terkait sains yang berlaku di dunia kedokteran, untuk semua penyakit yang terjadi pada semua organ tubuh manusia. Tanpa anamnesa yang baik maka semakin besar kemungkinan terjadinya salah diagnosa (missed diagnosis) dan salah pengobatan.
ADVERTISEMENT
Secara umum dikatakan bahwa anamnesa yang baik adalah 70-80% informasi untuk menuju ke diagnosis yang benar. Tentu saja anamnesa ini tidak bisa dan tidak mungkin dilakukan kecuali dengan menggunakan ‘Bahasa Ibu’ atau bahkan dialek lokal.
Sebagai orang Semarang, saya mengerti dan bisa berbahasa Jawa dan tentu saja Bahasa Indonesia, tapi saya seolah bisu dan tampak bodoh kalau diajak bicara dialek lokal misalnya daerah Banyumas, apalagi bahasa dari masyarakat regio lain di negeri tercinta yang kaya akan bahasa dan dialek lokal ini.

Dokter Asing

Ilustrasi tulisan tangan resep dokter. Foto: DW labs Incorporated/Shutterstock
Akhir-akhir ini, isu mengenai pihak regulator yang sepemahaman saya berniat untuk menghadirkan dokter dari luar negeri (TKWNA) yang jika saya tidak salah tangkap, bertujuan untuk membantu mengatasi persoalan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Anehnya, dalam ketentuan yang mengatur pendayagunaan TKWNA (Permenkes No.6-2023) tersebut, bahkan tidak mengharuskan mereka untuk terlebih dahulu bisa berbahasa Indonesia (Pasal 10 Ayat 4: “…. juga memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang dapat dipenuhi SETELAH TKWNA didayagunakan”).
Selain itu terkait kegiatan bakti sosial (Pasal 24), Ayat 7 menyebutkan sebagai berikut: “TKWNA sebagaimana dimaksud dikecualikan dari kewajiban mampu berbahasa Indonesia”. Perlu diketahui bahwa kegiatan bakti sosial ini berbeda dengan tanggap darurat bencana yang bersifat emergensi (Pasal 28).
Kegiatan bakti sosial adalah kegiatan yang terprogram dan terencana sehingga jelas kemampuan berbahasa Indonesia seharusnya menjadi syarat agar setidaknya yang bersangkutan bisa berkomunikasi dengan nakes lokal yang mendampingi (atau malah sebaliknya nakes lokal nya saja yang diwajibkan bisa berbahasa asing sesuai negara asal TKWNA tersebut?).
Ilustrasi dokter menutupi wajah. Foto: Shutter Stock
Kembali pada logika, pola pikir, dan pendekatan nilai kedokteran yang berlaku dan diajarkan di seluruh dunia, bahwa pengobatan yang tepat tergantung pada diagnosis penyakit yang benar. Menurut saya, untuk sampai pada diagnosis yang benar, anamnesa yang baik dalam bahasa lokal/ setempat merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Jadi, menurut saya, Permenkes No.6-2023 ini kontradiktif dengan pendekatan yang paling dasar terkait praktek pengobatan pada orang sakit.
ADVERTISEMENT
Menurut hemat saya, salah satu poin yang perlu dievaluasi dari rangkaian permenkes adalah mengenai dokter TKWNA. Mungkin sebaiknya pihak regulator, bisa lebih melibatkan seluruh pihak yang terkait termasuk representasi dari "TKWNI" yang mungkin memiliki perspektif yang sesuai dengan kondisi lapangan sehingga ada jawaban dan solusi mengenai pertanyaan dan isu liar mengenai visi-misi negara dalam hal ini di bidang kesehatan.
Sebatas pemahaman saya pribadi, simpang siur mengenai kejelasan kebijakan seperti permenkes di atas, berpotensi menimbulkan diskursus yang negatif. Kekhawatiran saya adalah, isu dan pro-kontra, serta hiruk-pikuk mengenai permenkes di atas bisa berpotensi menebalkan stigma negatif kepada profesi dokter yang saat ini sudah terlanjur tumbuh.
Karena sama sekali bukan soal rebutan "lahan"(saya sangat menjamin itu), tapi mengenai kebaikan sistem kesehatan negeri.
ADVERTISEMENT