Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Studi Perang Narasi Kemenkes-IDI: Pemerintahan yang Berusaha Eliminasi Asetnya
11 Mei 2023 12:53 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Zainal-Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hippocrates, bapak ilmu kedokteran modern, mengatakan bahwa kedokteran adalah profesi yang menolong, pelayanan kepada pasien adalah kepedulian, bukan berniaga atau berbisnis, memberikan pelayanan ketimbang mencari keuntungan.
ADVERTISEMENT
General Medical Council, induk dari konsil kedokteran, menyatakan bahwa seorang dokter harus kompeten dengan selalu memperbaharui pengetahuan dan ketrampilannya (ini terkait dengan perlunya revalidasi dan resertifikasi), dan menjaga hubungan baik dengan pasien dan sejawatnya.
Dalam profesi kedokteran ada disiplin kesejawatan, yang kemudian tercermin dalam sumpah dokter (seorang dokter harus mengucapkan sumpah, atas nama Tuhan, sebelum mulai berprofesi).
Isi sumpah ini didasarkan pada Deklarasi Jenewa th.1948 dari World Medical Association dan isinya menyempurnakan Sumpah Hippocrates (https://id.m.wikipedia.org).
Sumpah dokter ini secara resmi, tertuang dalam lembaran negara RI, memiliki kedudukan hukum dalam PP No. 26 tahun 1960. Selain lafal “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan”, dan “Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur profesi kedokteran”, ada lafal yang berbunyi “Saya akan perlakukan teman sejawat dan saya seperti saudara kandung”.
ADVERTISEMENT
Makna kesejawatan atau kolegialitas ini tidak mungkin dan tidak mudah dipahami oleh oleh orang diluar profesi ini sekalipun dia adalah seorang menteri atau bahkan presiden. Tanpa kesejawatan dan etika profesi, seorang dokter sama dengan seorang pedagang/pebisnis yang bisa membuka usaha dimanapun seizin penguasa guna mencari keuntungan diri ataupun kelompok semata.
Isi dari sumpah dokter ini telah berlaku dan lazim dipakai di seluruh dunia selam ratusan tahun sebagai pedoman nilai yang luhur dalam profesi kedokteran.
Ikatan Dokter Indonesia atau IDI sebagai organisasi profesi (OP) berperan dalam menjaga anggotanya dalam berprofesi, dalam mempraktikkan ilmu kedokteran. Bukan sesederhana wadah berkumpul untuk alasan sosial dan silaturahmi saja.
Dalam IDI ada landasan berdasar kaidah sains dan etika kedokteran yang harus diikuti, dan semua anggotanya harus mengucap sumpah dokter dan mematuhi aturan profesi yang ketat (tertuang dalam kode etik kedokteran Indonesia atau KODEKI)
ADVERTISEMENT
Jadi OP-IDI ini amat berbeda dengan misalnya dengan organisasi perkumpulan, forum atau komunitas yang umumnya tidak memiliki struktur landasan kerja yang harus ‘evidence based’, tidak ada ketentuan terkait sumpah profesi, dan hanya terikat pada tata krama sosial yang berlaku umum, bukan terikat pada kode etik dan disiplin profesi yang diatur ketat seperti tertuang dalam KODEKI.
Kenapa mesti hanya ada satu OP?
Menurut pemahaman saya karena kebenaran ilmiah ilmu kedokteran yang menjadi landasan dari OP ini hanya ada satu versi, baik aspek nilai maupun aspek moralnya.
Bila ada lebih dari satu OP dokter dalam sebuah negara, maka akan ada berbagai versi “kebenaran”. Dan akibat lanjutnya adalah seorang dokter yang dinilai menyalahi etika dan disiplin profesi yang kemudian diberikan sanksi profesi oleh OP, bisa saja dia diterima atau bahkan dihormati dan memperoleh penghargaan dari OP serupa atau OP “sebelah” yang landasan kebenarannya berbeda.
Saya ambil contoh, bila ada kontroversi terkait aplikasi praktik ilmu kedokteran, misalnya saja tentang ‘praktik cuci otak’, maka harus diselesaikan dengan cara diskusi dan debat ilmiah yang terbuka, rasional, berlandaskan bukti sains yang paling terkini, paling lazim, paling logis, dan bisa diterima secara luas, bukan dengan landasan bukti testimoni dari para pejabat maupun tokoh masyarakat (saja).
ADVERTISEMENT
Debat ilmiah terbuka untuk mencari kebenaran ini tidak bisa dilakukan atas dasar emosi, kebenaran sepihak, maupun keputusan yang diambil berdasar hasil voting (yang benar adalah yang paling banyak pendukungnya), dan tidak bisa dilihat dari traffic suara social media atau berdasar ke-viral-an semata.
Hanya peer group atau teman sejawat atau OP-lah yang tahu, paham dan bisa menilai bahwa seorang dokter masih bekerja dalam ranah kompetensinya, sesuai dengan etika keilmuan dan etika profesinya, atau sebaliknya: memanfaatkan ketidaktahuan pasien demi keuntungan materi semata (misalnya melakukan operasi pada kasus yang sebenarnya tidak perlu dioperasi, atau meresepkan produk ‘obat’ yang seolah bisa mempercepat kesembuhan, mempraktikkan tindakan/metode pengobatan yang masih dalam tahap uji coba dan belum berdasarkan EBM, atau yang semata hanya berdasarkan testimoni tokoh/pejabat publik).
Profesi kedokteran di seluruh dunia memiliki karakter yang sama, dan terikat oleh nilai-nilai yang sama. Profesi ini dibutuhkan oleh negara dalam memenuhi tugas konstitusi, dan memenuhi kewajiban negara terkait hak asasi manusia untuk hidup sehat dan sejahtera.
ADVERTISEMENT
OP dokter yang harus hanya satu ini seharusnya jadi mitra kerja pemerintah, di kementerian Kesehatan, sebagai kepanjangan tangan negara dalam memenuhi kewajiban untuk menyehatkan dan mensejahterakan kehidupan seluruh rakyat.
Upaya pemerintah dan legislatif yang penuh ketergesaan, dengan partisipasi publik yang sepihak dan asimetris (hanya mendengar dan menerima usulan yang mendukung, dan cenderung membungkam dan menihilkan pendapat dan masukan yang berbeda apalagi yang berupa kritik) atau untuk secepatnya bisa meloloskan UU Omnibus Law (UUOBL) bidang Kesehatan ini patut dicurigai ada batu dibalik udang-nya.
Dalam upaya untuk secepatnya meloloskan RUU ini menjadi UU, pihak kementerian kesehatan selaku pengusung RUU OBL Kesehatan ini, menurut saya banyak membangun narasi yang memojokkan, memfitnah serta mengangkat kasus-kasus kegagalan program pemerintah terkait layanan kesehatan sebagai akibat ulah dari OP-IDI.
Di sisi lain terjadi pembiaran terhadap terbentuknya OP-OP “sempalan” seperti yang kita lihat terjadi pada beberapa Ormas dan Orpol di Indonesia. Langkah pembiaran ini berlanjut bahkan dengan memanfaatkan kehadiran OP-OP sempalan tersebut untuk menunjukkan dukungan ‘semu’ dari masyarakat profesi terhadap RUU yang bermasalah ini.
ADVERTISEMENT
Saya menduga ada upaya terstruktur dan terencana, setidaknya dari pihak kemenkes untuk memecah belah perbagai OP kesehatan, dan meruntuhkan marwah serta kepercayaan masyarakat terhadap OP Kesehatan.
Apabila dugaan saya benar, alangkah disayangkan dan ini adalah ‘blunder’ kementerian kesehatan yang ke depan bisa berakibat buruk pada program perbaikan sistem layanan kesehatan.
Negara ini membutuhkan OP Kesehatan untuk menjadi mitra utama dalam berkolaborasi menghadapi berbagai tantangan kesehatan di masa depan, bukan malah menjadikan OP kesehatan sebagai lawan yang mesti ‘dihabisi’, untuk kepentingan siapa?
Apalagi OP Kesehatan, khususnya IDI ini terbukti memilki sejarah panjang yang tidak bisa dinafikan perannya mulai dari proses kebangkitan nasional 1908, kemerdekaan 1945, perjalanan bangsa menghadapi pandemi Covid-19, hingga setiap pemilihan pejabat negara dari pemilu ke pemilu, dari pilkada ke pilkada, IDI lah yang bisa berdiri netral menentukan layak tidaknya (dari sisi kesehatan) seseorang untuk jadi pejabat sampai presiden sekalipun.
ADVERTISEMENT