Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tanggapan Pernyataan Menkes soal Pemerasan Terselubung di Kedokteran Indonesia
22 Maret 2023 5:55 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Zainal-Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam menjalankan profesinya, seorang dokter wajib menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan pasien dengan melakukan upaya terbaik sesuai dengan tingkat kemajuan ilmu kedokteran yang ada dan terjangkau.
ADVERTISEMENT
Upaya terbaik ini tentunya terikat dengan ruang dan waktu (time frame). Gambarannya saat saya mulai mempelajari ilmu kedokteran di awal tahun 80-an, pasien dengan tumor jinak otak hanya separuhnya saja yang bisa tertolong dengan tindakan bedah saraf. Saat ini, 40 tahun kemudian, jumlah pasien tumor jinak otak yang tidak bisa ditolong jumlahnya tidak lebih dari 5%.
Tanggung jawab untuk memberikan yang terbaik ini menjadi alasan mengapa dokter dituntut untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Ilmu Kedokteran termasuk salah satu ilmu yang terus berkembang secara cepat bahkan lebih cepat dari kemampuan para dokter untuk mengejar perkembangan tersebut.
Jumlah publikasi ilmiah dalam jurnal kedokteran terus bertambah. Saya ambil contoh: Salah satu cara yang lazim untuk mengikuti perkembangan bidang ilmu/ spesialisasi yang ada adalah dengan membaca jurnal kedokteran (Selain menambah ilmu melalui pendidikan tambahan/ fellowship, mengikuti kegiatan seminar, dan lainnya). Studi tahun 2010 (Garba S et al. Oman Med J. doi:10.5001/omj.2010.89) menunjukkan ada satu artikel medis baru terbit setiap 26 detik.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut adalah perhitungan lebih dari 10 tahun lalu. Saya berasumsi bahwa akselerasi kemajuan 10 tahun terakhir membuat angkanya berkali lipat saat ini. Lalu bagaimana seorang dokter bisa mengimbanginya?
Informasi ini penting diketahui oleh Menkes, Bapak Budi Gunadi Sadikin (BGS), terkait dengan ketentuan yang mengharuskan adanya kegiatan re-sertifikasi/ penerbitan STR setiap 5 (lima tahun).
Dalam sebuah TikTok yang beredar (@drtonysetiobudi) berjudul ‘Pemerasan terselubung di dunia kedokteran’, BGS mempertanyakan mengapa harus ada STR dan SIP, kenapa tidak disatukan saja. Bahkan BGS ‘menuduh’ adanya ‘pemerasan terselubung’, atau setidaknya ada kepentingan organisasi profesi (IDI) terkait dengan jumlah uang yang besar.
BGS bahkan mengusulkan agar STR dan SIP disatukan, dan diberikan sekali untuk seumur hidup. Kenapa tidak sekalian ditiadakan saja? atau diganti dengan izin usaha dari otoritas setempat, agar semua dokter atau siapa pun boleh membuka praktik pengobatan (yang mungkin bisa jadi sama dengan praktik ala dukun atau tabib X yang bisa menyembuhkan tumor, epilepsi, impotensi, dan seribu macam penyakit lain tanpa operasi.)
ADVERTISEMENT
Menurut saya, potongan ucapan BGS ini menyesatkan bagi banyak pihak terutama pihak yang tidak atau kurang paham tentang profesi dokter dan berbagai UU yang mengaturnya.
Saya pribadi menyayangkan pernyataan, yang bagi saya problematis, keluar dari seorang Menkes yang memiliki perangkat yang harusnya bisa lebih komperhensif menilai suatu isu seperti ini.
Sepaham saya:
ADVERTISEMENT
Tujuan utama dari ketentuan ini adalah untuk melindungi masyarakat dari berbagai macam bentuk pengobatan ala klinik abal-abal yang hanya berdasar atas testimoni dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Dengan ketentuan yang cukup ketat ini pun masih bisa terjadi praktik pengobatan ala Ponari yang hanya berdasarkan testimoni, bukan EBM, bahkan di RS Pemerintah pula.
Terkait mengapa STR dan SIP ini mesti di evaluasi melalui re-sertifikasi setiap periode 5 (lima) tahun, ini pun juga perintah UU agar keilmuan seorang dokter selalu diperbaharui dan ‘up to date’ demi melindungi masyarakat agar terjamin dalam mendapatkan obat dan pengobatan yang terbaik saat itu.
Dalam UU No.29-2004 (UUPK) pasal 28 ayat 1, disebutkan bahwa setiap dokter yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran.
Pasal berikutnya menyatakan bahwa penetapan standar pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan merupakan kewajiban organisasi profesi (OP) kedokteran (IDI).
ADVERTISEMENT
Terkait dengan ketentuan 250 SKP IDI untuk re-sertifikasi setiap 5 tahun termaktub dalam ‘Buku Ungu’ tentang pedoman pelaksanaan pengembangan pendidikan keprofesian berkelanjutan (P2KB) yang diterbitkan oleh PB-IDI.
Buku ini menjadi acuan pelaksanaan P2KB dan merupakan bentuk kesungguhan dan keseriusan IDI untuk menjaga amanat pasal 28 UUPK ini. 250 SKP ini harus dipenuhi bukan hanya dari mengikuti kegiatan seminar/symposium. Ke 250 SKP ini bisa diurai menjadi kegiatan wajib berupa:
Bila masih ada kekurangan diperbolehkan menambah dengan kegiatan keilmuan/publikasi ilmiah, dan kegiatan pembelajaran, misalnya pendidikan tambahan, fellowship, dan sebagainya.
Jadi jelas tidak benar apa yang dikatakan oleh BGS, kalau untuk memenuhi syarat 250 SKP itu diperlukan biaya Rp. 62 juta karena setiap ikut seminar senilai 4 SKP diperlukan biaya sebesar Rp 1 juta.
ADVERTISEMENT
Dari 250 SKP itu, sebanyak 150 SKP (60%) adalah kegiatan praktik/operasi dan dokter tersebut. bukan membayar melainkan dibayar berkali lipat.
Demikian pula yang dikatakan BGS tentang biaya pengurusan STR yang besarannya mencapai Rp 6 juta. Pengurusan STR ini biayanya Rp 300 ribu, dan dibayarkan kepada Konsil Kedokteran, bukan kepada IDI.
Besaran Rp 6 (enam) juta yang disebut BGS sesungguhnya adalah iuran anggota Organisasi Profesi Spesialis (PAPDI, IKABI, POGI, IDAI, dll) sebesar Rp 100 ribu setiap bulan (x 12 bulan x 5 tahun) yang penarikannya oleh masing-masing organisasi profesi spesialis tersebut dikaitkan dengan saat pengurusan STR setiap 5 tahun sekali.
Besaran iuran anggota Rp 100 ribu setiap bulan itu bagi kami wajar dan pantas, dan tidak seorang pun di luar organisasi profesi kami, termasuk BGS, yang mempersoalkan besaran iuran ini.
ADVERTISEMENT
Pemahaman dan penjelasan yang cukup rinci ini diperlukan agar masyarakat luas, terutama kalangan di luar bidang kedokteran, tidak mendiskreditkan organisasi profesi para dokter atau IDI sebagai akibat disinformasi bahkan mungkin hoaks sekalipun disampaikan oleh seorang petinggi negeri. Mungkin juga kita semua (termasuk dari pihak IDI) harus membangun komunikasi yang lebih efektif pula.
Tapi, saran saya pribadi, Pak Menkes bisa mempertimbangkan untuk mengevaluasi kinerja, kapasitas, dan kompetensi dari para wamen-nya, staf ahlinya, atau mungkin dirinya sendiri, supaya pekerjaannya dalam lingkup profesionalitasnya sebagai Menteri bisa lebih optimal dan kebijakannya bisa komperhensif.
Bukan hanya dari kesimpulan pribadi yang parsial seperti contohnya yang saya bahas di atas. Bukan apa-apa, karena jika tidak, yang rugi adalah masyarakat luas, yang kena getahnya ya Indonesia kita.
ADVERTISEMENT