Konten dari Pengguna

Tanpa Anggaran Kesehatan, Layanan Kesehatan untuk Rakyat Cuma Pepesan Kosong

Zainal-Muttaqin
Ahli bedah saraf, Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip.
16 Juni 2023 6:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zainal-Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi memeriksa kesehatan keuangan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi memeriksa kesehatan keuangan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tujuan utama didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, antara lain adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.
ADVERTISEMENT
Kesehatan adalah bagian yang tidak terpisahkan, bahkan menjadi syarat kehidupan yang sejahtera. Pasal 34 ayat 3 menyatakan bahwa negara wajib menyediakan fasilitas kesehatan yang layak (pengertian "layak" saat kita merdeka pada tahun 1945 tentu berbeda dengan saat ini, 76 tahun setelah kita merdeka).
Salah satu bentuk tanggung jawab negara dalam rangka mewujudkan tugas konstitusional seperti tertuang pada pasal 34 ayat 3 UUD ’45 adalah Mandatory Spending Kesehatan (MSK) yang merupakan besaran anggaran kesehatan yang dalam UU No.9-2009 pasal 171 ayat 1 dan 2, ditetapkan sebesar minimal 5 persen dari APBN dan minimal 10 persen dari APBD, di luar gaji (https://data-apbn.kemenkeu.go.id).
Lalu, dalam pertemuan “Penguatan Program dan Strategi Transformasi SDM Kesehatan di Jawa Tengah” pada Jumat 22/7/2022—persis satu tahun lalu—Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan telah berkoordinasi dengan Kemendagri untuk mewajibkan 514 kabupaten/kota mengalokasikan 10 persen dari APBD untuk Kesehatan berdasarkan undang-undang.
ADVERTISEMENT
“Sepuluh persen ini harus direalisasikan dengan baik termasuk untuk peningkatan dan pemerataan tenaga kesehatan,” kata Menkes (https://sehatnegeriku.kemkes.go.id).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan budget allocation for health (MSK) ini berkisar 5,5 persen untuk negara dengan klasifikasi ekonomi low income, selanjutnya 6,8 persen untuk negara middle income, dan 8,8 persen untuk negara high income.
Alokasi MSK di sebuah negara lazimnya akan menentukan pencapaian program pelayanan kesehatan dan secara signifikan berkorelasi positif dengan indikator usia harapan hidup dan angka Human Development Index (HDI) di negara tersebut. Contohnya, Maldives dengan MSK 9,5 persen usia harapan hidupnya 79,3 tahun, Thailand dengan MSK 7,7 persen usia harapan hidupnya 75,3 tahun, dan Bhutan dengan MSK 5,7 persen usia harapan hidupnya 72,2 tahun.
ADVERTISEMENT

Mandatory Spending Kesehatan "Dihapus" dalam RUU Kesehatan Omnibuslaw

com-Ilustrasi orang yang sedang cek kesehatan. Foto: Shutterstock
Jadi, MSK adalah sebuah keniscayaan bagi negara yang menginginkan peningkatan kualitas hidup rakyatnya, dan tidak ada satu pun negara di luar sana yang tidak menetapkan MSK, demikian kata Dr. Dicky Budiman, MSc.,PH., peneliti dan epidemiolog di Griffith University, Australia, pada forum diskusi Forkom IDI, Minggu 21/5/2023.
Bahkan menurut Prof. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, Gurubesar FKM UI—dalam acara yang sama—menyatakan bahwa total belanja kesehatan (setelah di koreksi dengan Purchasing Power Parity) Indonesia tahun 2000-2018 berada pada posisi terbawah (350 dolar), separuh dari Vietnam dan Thailand (700 dolar), dan jauh di bawah China (900 dolar), dan Malaysia (1.200 dolar).
Yang sungguh mengherankan dan tidak masuk akal adalah dihapuskannya besaran MSK dalam APBN dan APBD pada DIM Pemerintah (dhi Kemenkes) RUU Kesehatan Omnibus Law pasal 420 ayat 2 dan ayat 3. Padahal keharusan adanya MSK ini dipertegas dalam tap MPR nomor 10-2001.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya MSK sebesar 5 persen dari APBN saja, 9 dari 10 indikator program kesehatan berdasarkan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 berpotensi tidak tercapai alias meleset (pernyataan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Ketua Bappenas, Suharso Monoarfa dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, Senin, 5 Juni 2023 (https://katadata.co.id/yuliawati/berita/647dba44ad349).
Saya ambil contoh. Dengan kewajiban anggaran kesehatan 10 persen dari APBD saja, RSUD Chasan Boesoirie, Ternate (Maluku Utara) tidak bisa memenuhi kewajibannya membayar Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) selama 15 bulan untuk 700 tenaga kesehatan PNS, 200 pegawai non-PNS, serta 20 orang tenaga dokter, demikian ungkap Indotimur.com tanggal 9 Januari 2023 (https://indotimur.com/kesehatan/), padahal TPP ini wajib dibayarkan sesuai Pergub Maluku Utara No. 9.3 tahun 2000.
ADVERTISEMENT
Lebih miris lagi adalah pernyataan ketua DPRD Maluku Utara terkait aksi nakes RSUD yang menuntut haknya, yang menyamakan aksi tersebut sebagai aksi komunis (timesindonesia.co.id). Kejadian ini menggambarkan betapa negara (Kemenkes) tidak mampu melindungi posisi dokter dan nakes di sebuah Ibukota Provinsi. Tidak terbayangkan bila MSK 10 persen dihilangkan dan semua tata kelola Dokter dan Nakes dari hulu sampai hilir terakumulasi di tangan seorang Menkes, naudzubillahi min dzalik.
Terkait kewajiban Kemenkes sebagai kepanjangan tangan negara untuk menyediakan fasilitas layanan kesehatan yang layak (UUD 1945 pasal 34 ayat 3) ada 2 indikator yang bukan cuma tidak tercapai tapi bisa dibilang gagal. Pertama, target pencapaian Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP/ Puskesmas) terakreditasi yang hanya mencapai 56,4 persen dari target 100 persen.
ADVERTISEMENT
Kedua, pemenuhan tenaga kesehatan sesuai standar untuk puskesmas yang hanya mencapai 56,07 persen dari target sebesar 83 persen puskesmas. Selain itu masih ada tujuh indikator lain seperti target imunisasi dasar lengkap pada bayi, dan persentase balita stunting (gagal tumbuh) yang jauh dari target dan berpotensi menggagalkan harapan adanya "bonus demografi" tahun 2045 nanti akibat generasi muda usia 22-27 tahun yang tidak berkualitas.
Pernyataan ketua Bappenas tersebut di atas, bisa pula diartikan bahwa Menteri Kesehatan telah gagal atau terancam gagal memenuhi kewajibannya dalam pelaksanaan program-program kemenkes sebagai pelaksanaan dari RPJMN Kesehatan.
Memang belum ada komentar ataupun jawaban dari Kemenkes terhadap pernyataan Suharso Monoarfa selaku Menteri PPN/ Ketua Bappenas, tapi diharapkan tidak lagi ada upaya untuk mengkambing-hitamkan profesi dokter dan tenaga kesehatan lain sebagai biang kerok dari tidak tercapainya 9 dari 10 target kesehatan RPJMN Kesehatan tersebut.
ADVERTISEMENT
Kalau saja bisa dianalogikan dengan buku rapor seorang murid yang 9 dari 10 nilainya merah, selain tidak naik kelas, si murid juga perlu dirujuk ke guru bimbingan dan penyuluhan, karena bisa jadi murid itu salah pilih jurusan, misalnya.
Hilangnya keharusan MSK minimal 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD pada RUU Kesehatan Omnibus Law yang diusung oleh Kemenkes juga tidak sesuai dengan pernyataan Menkes dalam pertemuan "Penguatan Program dan Strategi Transformasi SDM Kesehatan di Jawa Tengah" pada Jumat, 22 Juli 2022 (https://sehatnegeriku.kemkes.go.id).
Bahkan bisa dibilang sebagai seorang pejabat publik dan pejabat tinggi negara telah berbuat tidak sesuai dengan kata-katanya sendiri sebagaimana pernah disampaikan pada forum resmi tersebut “10 persen ini harus direalisasikan dengan baik termasuk untuk peningkatan dan pemerataan tenaga kesehatan”.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi dari inkonsistensi antara ucapan dan perbuatan seorang pejabat publik adalah hilangnya nama baik dan kepercayaan rakyat, yang di negara yang beradab biasanya berujung pada pengunduran diri pejabat tersebut. Biasanya.
Entahlah.