Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Menimbang Efektivitas Mobil Listrik: Solusi atau Sekadar Euforia?
17 November 2024 13:11 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Zain Julia Khalda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Authors: Zain Julia & Dwi Fikri, Mahasiswi Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
ADVERTISEMENT
Akumulasi aktivitas manusia selama ribuan tahun telah mengancam ekosistem dan keberlangsungan seluruh makhluk hidup di bumi. Hal-hal sepele menyangkut makanan, pilihan kendaraan, rumah hingga sampah, tanpa sadar menghasilkan jejak karbon yang memicu perubahan iklim global sebagai akibat dari pemanasan global. Dunia mencatat hingga akhir tahun 2023, untuk pertama kalinya pemanasan global menembus ambang batas meningkat dengan laju 1,5 derajat celcius dan merupakan tahun dengan iklim terpanas sepanjang sejarah.
Menurut World Meteorological Organization (WMO) salah satu penyumbang utama dalam pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2) dengan menyumbang sekitar 64% dampak pemanasan terhadap iklim. Selain itu, Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) CO2 merupakan gas yang memiliki kemampuan paling lama bertahan di atmosfer (the mayor long-lived greenhouse gasses).
ADVERTISEMENT
Isu ini tentu menjadi perhatian dunia, melalui serangkaian pertemuan internasional seperti Paris Summit Tahun 2015 serta G20 Tahun 2022 masing-masing negara menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca, terutama karbon. Di Indonesia, sektor energi dan transportasi merupakan kontributor utama terhadap emisi tersebut. Berdasarkan studi dari Institute for Essential Services Reform (IESR), sektor transportasi Indonesia berkontribusi sebesar 150 juta ton karbon dioksida ekuivalen. Oleh karena itu, berdasarkan kesepakatan Paris Agreement, pemerintah-pemerintah di seluruh dunia termasuk Indonesia mengarahkan kebijakan mereka menuju manajemen transisi energi yang berkelanjutan, dengan tujuan mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060.
Sejalan dengan tujuan tersebut, pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan berbagai langkah strategis untuk mengurangi emisi karbon. Salah satunya adalah dengan memfokuskan perhatian pada kendaraan listrik sebagai alternatif transportasi yang lebih ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Kendaraan listrik memiliki keunggulan dibandingkan dengan kendaraan konvensional, dimana penggunaan energi dapat dihasilkan dari sumber yang terbarukan sehingga dampak lingkungan berupa emisi karbon dan polusi udara yang dihasilkan oleh kendaraan konvensional dapat direduksi apabila beralih ke kendaraan listrik. Berdasarkan studi International Council on Clean Transportation (ICCT) pada 2023, emisi kendaraan listrik berkisar antara 108 hingga 127 gram CO2 setara per km. Sementara itu, kendaraan konvensional yang menggunakan mesin pembakaran internal (ICE) menghasilkan emisi yang jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 55 ton CO2 setara per tahun.
Untuk mendukung percepatan adopsi kendaraan listrik, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Peraturan ini mencakup berbagai upaya, seperti mendukung pengembangan industri KBLBB, memberikan insentif pajak, menyediakan infrastruktur pengisian daya listrik, dan memastikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
ADVERTISEMENT
Namun meskipun kendaraan listrik terbukti menghasilkan emisi yang lebih rendah, mereka tidak sepenuhnya bebas dari konsekuensi ekologis. Hal ini dikarenakan apabila ditinjau dari proses produksinya, kendaraan listrik turut menyumbang polusi udara yang dihasilkan oleh pembangkit listrik pada saat menyediakan energi untuk mengisi daya baterainya, serta timbulnya masalah limbah baterai yang dihasilkan dari kendaraan listrik berpotensi menimbulkan masalah lingkungan yang serius jika tidak ditangani dengan pengelolaan yang memadai, karena baterai mengandung bahan kimia berbahaya seperti logam berat dan elektrolit, yang dapat mencemari tanah dan air jika dibuang secara sembarangan.
Selain itu, proses daur ulang baterai yang belum optimal memperburuk risiko terhadap lingkungan, sehingga diperlukan strategi pengelolaan limbah baterai yang berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Akademisi Universitas Indonesia, Ir. Alvinsyah, M.Sc., selaku dosen Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, berpendapat bahwa “Kalau dilihat semata-mata karena pengoperasionalan mobil listrik tidak menghasilkan emisi ya memang, tapi kalau lihat di wilayahnya, dari infrastrukturnya apakah sama-sama tidak menghasilkan emisi? Kan itu dari baterai, bahan dasar produksinya ada Litium, Nikel, dan sebagainya, nah itu akan berdampak juga ke lingkungan”. Oleh sebab itu perlunya ditinjau dari hulu sampai ke hilir jika berbicara mengenai kendaraan listrik, karena apa yang tampak sebagai solusi di satu sisi, dapat menimbulkan masalah baru di sisi lain.
ADVERTISEMENT
Disamping itu, dalam hal penyediaan infrastruktur pengisian daya listrik, keterbatasan finansial pemerintah seringkali menjadi alasan untuk melibatkan sektor swasta dalam pengadaan infrastruktur. Keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur ini dipandang lebih difokuskan pada tempat-tempat yang ramai, seperti SPBU, karena alasan ekonomis. Hal ini diperjelas oleh pernyataan Ir. Alvinsyah, M.Sc., menyebutkan bahwa lokasi charging station sering kali dipilih berdasarkan pertimbangan profitabilitas, dengan mengutamakan lokasi yang dapat menarik jumlah pengguna lebih banyak, sehingga dapat dikatakan saat ini terdapat keterbatasan jumlah stasiun pengisian daya listrik. Jika ditinjau dari ketidaksiapan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur dalam konteks transportasi tentu dapat menyebabkan masalah baru.
Selanjutnya, jika dilihat dari segi prioritas kebutuhan, kendaraan listrik yang termasuk kendaraan pribadi bukanlah kebutuhan primer. Kendaraan ini dapat digolongkan sebagai kebutuhan sekunder, atau bahkan kebutuhan tersier bagi sebagian besar masyarakat. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kebutuhan pokok yang harus diprioritaskan, sehingga pembelian kendaraan listrik umumnya hanya dapat dilakukan oleh segelintir kelompok masyarakat tertentu, bukan oleh masyarakat secara luas. Secara psikologis, masyarakat belum siap beralih ke kendaraan listrik karena berbagai pertimbangan, seperti jarak tempuh yang terbatas, kurangnya infrastruktur pengisian daya listrik,dan aspek lainnya yang mungkin timbul.
ADVERTISEMENT
Fokus utama seharusnya diarahkan pada perbaikan transportasi umum, bukan hanya kendaraan pribadi. Mengingat kendaraan pribadi menjadi penyumbang polutan terbesar. Maka agar kendaraan listrik tidak hanya dianggap sebagai Euforia teknologi semata, solusi yang dapat diterapkan adalah dengan mengembangkan transportasi umum berbasis listrik. Contohnya dengan meningkatkan jumlah armada bus listrik dan memperkenalkan berbagai opsi kendaraan listrik lain untuk transportasi publik.
Wilayah kita memiliki keterbatasan ruang dan kapasitas infrastruktur, permintaan transportasi harus disesuaikan agar tidak melebihi kapasitas yang ada. Salah satu langkah penting adalah mengurangi jumlah kendaraan pribadi di jalan hingga tercipta keseimbangan yang ideal dalam kehidupan kota. Oleh karena itu, upaya untuk mewujudkannya harus disertai dengan kompensasi berupa peningkatan kuantitas dan kualitas transportasi umum yang ramah lingkungan. Penyediaan transportasi umum yang lebih luas dan berkualitas akan menjadi solusi yang lebih efektif untuk mengurangi kemacetan dan dampak negatif terhadap lingkungan.
ADVERTISEMENT
Sebagai solusinya, daripada terlalu berfokus pada pengembangan kendaraan listrik pribadi, pemerintah sebagai pemangku kebijakan sebaiknya mengatur target komposisi kendaraan listrik secara bertahap, sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas wilayah. Kendaraan listrik memang merupakan inovasi yang penting, tetapi kebijakan terkait harus bersifat holistik dan berorientasi jangka panjang. Mengingat perkembangan teknologi yang terus terjadi, fleksibilitas dalam merumuskan kebijakan sangatlah penting. Hal ini untuk memastikan bahwa investasi tidak menjadi sia-sia, dan langkah-langkah yang diambil tetap relevan serta efektif di masa depan.
REFERENSI:
World Meteorological Organization (WMO). Greenhouse Gas Concentrations Surge Again. 2023. Dapat diakses melalui: https://wmo.int/news/media-centre/greenhouse-gas-concentrations-surge-again-new-record-2023
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Sixth Assessment Report (AR6). 2023. Dapat diakses melalui: https://www.ipcc.ch/report/ar6/wg3/chapter/chapter-2/
Institute for Essential Services Reform (IESR). National and Regional Low-Emission Transportation Policy Roadmap. 2023. Dapat diakses melalui: https://iesr.or.id/en/national-and-regional-low-emission-transportation-policy-roadmap/
ADVERTISEMENT
Simanjuntak, D. P. (2024). Policy Brief: Percepatan Transisi dari Kendaraan Bahan Bakar Fosil Menuju Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Jurnalku, Volume 4(4). Dapat diakses melalui https://jurnalku.org/index.php/jurnalku/article/view/1102/882
Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019. Tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Alvinsyah, Ir., M.Sc. (2024). Wawancara Mendalam. Dosen Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Indonesia. Dilakukan pada 29 Juli 2024.