Konten dari Pengguna

Peran Media Massa dalam Mengurangi Diskriminasi Komunitas Difabel

Zainul Aden
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
31 Desember 2020 6:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zainul Aden tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.change.org%2Fp%2Fsemua-orang-kaum-difabel-istimewa-kita-setara-stop-diskriminasi-mereka&psig=AOvVaw3IigUIKMNcRZu70bOVO8jC&ust=1609437503069000&source=images&cd=vfe&ved=0CAIQjRxqFwoTCPidg4ik9u0CFQAAAAAdAAAAABAJ
zoom-in-whitePerbesar
https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.change.org%2Fp%2Fsemua-orang-kaum-difabel-istimewa-kita-setara-stop-diskriminasi-mereka&psig=AOvVaw3IigUIKMNcRZu70bOVO8jC&ust=1609437503069000&source=images&cd=vfe&ved=0CAIQjRxqFwoTCPidg4ik9u0CFQAAAAAdAAAAABAJ
ADVERTISEMENT
Komunitas difabel merupakan salah satu kelompok masyarakat yang rawan terkena diskriminasi. Ditinjau dari sosiologi, hal ini sedikit banyak disebabkan oleh adanya pengklasifikasian masyarakat berdasarkan kategori tertentu yang disebut dengan stratifikasi sosial. Diakui maupun tidak, eksistensi stratifikasi sosial ini mampu membuat masyarakat beranggapan bahwa kelompok marjinal adalah kelompok yang ‘berbeda’ sehingga menimbulkan perilaku diskriminasi. Pers, sebagai bagian dari alat komunikasi, diharapkan mampu mengubah stigma ini melalui upaya-upaya sederhana tujuannya untuk memahamkan masyarakat dan mengurangi perilaku diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Sosiologi komunikasi merupakan ruang di mana adanya sentuhan antara wilayah individu, kelompok, dan masyarakat. Menurut penulis, sosiologi komunikasi in menjadi irisan antara ketiganya menjadi saling berhubungan antara satu dan sama lain. Pada dasarnya, objek kajian sosiologi adalah masyarakat dan pola sosialnya. Dan jika dikaitkan dengan ilmu komunikasi, maka interaksi yang terjadi antara masyarakat dalam pola sosial tersebut adalah sebuah aktivitas berkomunikasi.
Sosiologi komunikasi merupakan kekhususan sosiologi dalam mempelajari interkasi sosial yaitu suatu hubunagn atau komunikasi yang menimbulkan proses saling pengaruh mempengaruhi antara pada individu, individu dengan kelompok, maupun antar kelompok (Soekanto, 2003). Dan karena objek kajian utamanya adalah masyarakat, maka sosiologi komunikasi ini akan melihat masyarakat dari berbagai kelas maupun kelompok.
ADVERTISEMENT
Salah satu ranah dalam sosiologi ialah adanya pembagian kelompok berdasarkan stratifikasi sosial. Di mana masyarakat disusun secara hirearki atau berlapis-lapis dan bertingkat, yang secara sederhana masyarakat ini dibagi ke dalam kelas tinggi, menengah, atau rendah. Dasar pengklasifikasian ini bisa berasal dari berbagai aspek seperti kekayaan, kepercayaan, kekuasaan, pendidikan, kehormatan, atau berdasarkan nilai yang dipercayai oleh suatu kelompok masyarakat tersebut.
Sayangnya, pengklasifikasin masyarakat ke dalam hirearki ini menimbulkan dampak negatif yang cukup koheren, seperti: kemiskinan struktural dan diskriminasi. Hal ini diakibatkan oleh pandangan masyarakat yang sulit diubah dan menganggap remeh orang-orang yang berada di klasfikasi kelompok masyarakat kelas bawah. Selain itu, kelompok marjinal seperti buruh perempuan dan difabel pun rawan mendapatkan diskriminasi akibat dampak buruk dari stratifikasi sosial ini.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi adalah perbedaan yang merugikan bagi yang terdiskriminasi (Shadyly, 2007). Difabel, terutama, adalah kalangan yang sangat rawan mengalami diskrimniasi. Keadaan dan perilaku mereka yang berbeda dari kerumunan kerap kali dipandang sebagai devian (penyimpang). Mereka seringkali kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang malas, lemah, yang disebabkan oleh diri mereka sendiri. Padahal ketidakberdayaan mereka seringkali merupakan akibat dari adanya kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu (Sya’diyah. 2020).
Sifat non-etis sosiologis tentu tidak akan menilai apakah sebuah stratifikasi sosial itu merupakan hal baik atau buruk. Namun, adanya dampak negatif di masyarakat ini harus bisa dimengerti bahwa kita sebagai manusia harus mulai memandang dengan mata terbuka jika stratfikasi itu sangat rawan menimbulkan diskriminasi. Terutama karena masyarakat kita belum mampu menerima perbedaan sebagaimana bagian dari kelompok masyarakat yang berbeda dan beragam, melainkan kekurangan yang harus dikritik dari banyak sekali segi.
ADVERTISEMENT
Perilaku diskriminatif ini bisa ditemui di berbagai tempat. Seperti, tempat-tempat umum yang tidak aksesibel bagi komunitas difabel. Juga perilaku-perilaku yang tidak terlihat diskriminatif namun sebetulnya diskriminatif.
Pers, sebagai salah satu media komunikasi yang paling mudah terakses sekarang seharusnya bisa mengambil peran di sini. Sosiologi komunikasi akan mempelajari manusia dari berbagai aspek, termasuk ketika ia dimintai saran bagaimana sebuah fenomena sosial itu diperlakukan. Komunikasi, yang mampu memberikan informasi sekaligus ‘membentuk’ informasi bisa dimanfaatkan sebagai sebuah upaya timbal balik untuk melindungi masyarakat dari diskriminasi yang bisa terjadi akibat fenomena sosiologi tersebut.
Pers atau media massa di era sekarang memiliki beragam sekali bentuk. Namun dalam hal ini, proses komunikasi yang terjadi bukanlah antar kita non-difabel dengan komunitas difabel, melainkan bagaimana suatu media tersebut berperan membentuk sebuah pola komunikasi yang ramah untuk segala jenis manusia. Media massa merupakan bagian dari komunikasi itu sendiri karena dalam sebuah media massa baik yang berbentuk koran, majalah, maupun media online yang digandrungi sekarang menggunakan komunikasi sebagai nyawanya.
ADVERTISEMENT
Sudah bukan lagi sebuah rahasia jika kita menemukan komunitas difabel menjadi korban dari perlakuan diskriminasi. Sebab biasanya memang, diskriminasi adalah tindakan memperlakukan orang lain tidak adil hanya karena dia berasal dari kelompok sosial tertentu (Fulthoni, 2009).
Diskriminasi seringkali diawali dengan prasangka. Prasangka inilah yang juga menimbulkan stratifikasi sosial karena adanya aspek yang membedakan kita dengan orang lain. Pers di sini berperan untuk menggeser dan mengubah ‘prasangka’ itu. Seperti beberapa media seperti Tirto yang memberitakan mengenai ini. Komunitas difabel lebih nyaman disebut ‘difabel’ dibanding dengan cacat atau sebutan lainnya. Difabel dianggap lebih sopan dan halus karena kata ini merupakan akronim sekaligus serapan dari different ability yang dimaknai sebagai kemampuan yang berbeda. Penyebutan komunitas difabel sebagai kelompok manusia yang memiliki ‘kemampuan yang tidak sama dengan manusia lainnya’ akan membuat mereka merasa diterima. Karena hal ini berkaitan dengan ‘kemampuan’ dan bukan ‘keadaan’.
ADVERTISEMENT
Media massa sebagai sarana komunikasi mengambil peran dengan menggunakan istilah-istilah itu ketika memberikan informasi mengenai komunitas difabel. Tidak harus menggunakan kata ‘cacat’, atau ‘keterbatasan’, dan lain sebagainya. Selain itu juga, dengan menulis berita dengan menggunakan kata-kata atau penyebutan yang menguntungkan dan dikehendaki oleh komunitas difabel. Dalam beberapa kesempatan, komunitas difabel tulis menyebutkan kalau mereka lebih senang disebut dengan tuli dibandingkan tuna netra.
Soal penyebutan maupun pengistilahan ini mungkin terlihat sebagai problematika yang kecil, namun sesungguhnya sangat bisa berdampak besar. Penilaian masyarakat dan probabilitas soal diskriminasi mampu dibentuk dari bagaimana masyarakat membaca sebuah berita. Media massa mampu menggiring opini dan membentuk kerangka pemikiran bagi pembacanya. Seperti, sebagai contoh, jika sebuah media besar sering menggunakan istilah ‘tuli’ untuk menyebut komunitas yang ‘mendengar dengan cara berbeda’, maka secara sadar atau tidak sadar masyarakat akan menyebut mereka demikian pula.
ADVERTISEMENT
Masih banyak sekali tindakan diskriminasi yang timbul akibat stratifikasi sosial. Kelompok yang rawan mengalami diskriminasi adalah komunitas difabel. Hal ini seringkali diakibatkan oleh adanya prasangkan dari masyarakat jika komunitas difabel adalah kelompok yang tidak bisa beraktivitas sebagaimana yang non-difabel. Untuk mengubah prasangka ini, media massa khususnya pers bisa ikut berperan dengan berbagai cara. Seperti contohnya, penyebutan istilah difabel maupun dengan yang dikehendaki oleh komunitas difabel. Dengan membaca berita yang berpihak pada komunitas difabel, maka diharapkan masyarakat juga mampu bersikap sama.