Konten dari Pengguna

Santri dan Kesederhanaannya

Zainul Farihin
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9 Februari 2025 9:47 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zainul Farihin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tampak para santri sedang sabar mengantri di tempat wudhu' untuk melaksanakan salat Ashar berjamaah. Gambar diambil langsung oleh penulis
zoom-in-whitePerbesar
Tampak para santri sedang sabar mengantri di tempat wudhu' untuk melaksanakan salat Ashar berjamaah. Gambar diambil langsung oleh penulis
ADVERTISEMENT
"Santri tidak memerlukan kemewahan untuk hidup bahagia."
Begitulah perkataan tentang santri oleh salah satu orang nomor satu di Indonesia pada tahun 1999 hingga 2001, yang merupakan Presiden ke-4 Republik Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan sapaan Gus Dur, yang juga terlahir dan besar di lingkungan pondok pesantren.
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang santri, hal pertama yang terlintas adalah kata “sederhana.” Santri adalah seseorang yang sedang menimba ilmu di pondok pesantren. Pada umumnya, seseorang dapat dikatakan santri ketika sudah pernah mondok di pondok pesantren. Namun, menurut pandangan penulis, santri adalah orang yang taat dan patuh kepada guru, baik itu mondok secara mukim maupun hanya sekolah di pondok pesantren yang tidak mukim. Lantas, apakah para pelajar yang sekolah di luar pesantren (sekolah negeri, misalnya) bisa dikatakan santri? Ya, menurut penulis, siapapun dan di manapun seseorang belajar dan taat serta patuh kepada guru, sudah dapat dikatakan seorang “santri” karena mereka sudah menerapkan nilai-nilai khas santri.
Namun, yang menjadi titik pembeda antara santri yang memang belajar di pondok pesantren dan santri yang tidak pernah belajar di pondok pesantren terletak pada "kesederhanaannya." Sudah maklum diketahui bahwasanya santri dikenal dengan segala kesederhanaannya, mulai dari makanan yang mereka makan, tempat tidur, hingga pakaian yang mereka kenakan, jauh dari kata mewah. Itulah yang menjadi salah satu ciri khas santri di pondok pesantren.
ADVERTISEMENT
Selain itu, santri juga telah terlatih sabar setiap hari. Bagaimana tidak, mereka harus rela mengantri berjam-jam untuk mandi, berwudhu, maupun makan. Seperti halnya pondok pesantren yang terletak di daerah Guluk-Guluk, Sumenep, Madura, yaitu Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa, yang penulis baru saja kunjungi untuk bernostalgia kembali dengan kenangan-kenangannya, di mana penulis juga merupakan alumni pesantren tersebut. Terdapat satu fenomena yang telah penulis rasakan selama 3 tahun lamanya, dan pada saat itu penulis merasakan kembali hal yang sama, yaitu "mengantri." Ketika penulis hendak melakukan salat Ashar berjamaah, ratusan santri mulai berdatangan dengan mengenakan baju putih – yang merupakan kewajiban bagi seluruh santri setiap salat berjamaah – ke tempat wudhu yang terletak di sisi sebelah kiri masjid. Mereka mulai berjajar rapi dan dengan sabar menunggu giliran untuk mengambil wudhu. Dari hal ini, penulis terbesit sebuah kata-kata, "Jangan ajari kami para santri untuk sabar karena kami telah terlatih mengantri."
Gambar diatas merupakan alat untuk memasak nasi yang biasa digunakan oleh para santri. Gambar diambil langsung oleh penulis
Salah satu ciri khas yang menarik dari santri tentang kesederhanaannya juga pada makanan yang mereka makan dan alat-alat untuk memasak makanan, salah satunya memasak nasi. Ya, penulis kembali bernostalgia dengan masa-masa di mana penulis juga merasakan memasak nasi dengan menggunakan kompor minyak gas. Ketika memasak nasi, kami harus menunggu selama 30-40 menit. Hal ini menunjukkan bahwa kami para santri hidup dengan kesederhanaan dan kesabaran seluas samudera.
ADVERTISEMENT
Penulis: Zainul Farihin, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Jakarta