news-card-video
24 Ramadhan 1446 HSenin, 24 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

AI dalam Ketenagakerjaan: Dilema Hak Seniman di Era Otomatisasi

Zainun Fijar Restu
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Yogyakarta
23 Maret 2025 10:07 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zainun Fijar Restu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Artificial Intelligence from Canva
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Artificial Intelligence from Canva
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi yang pesat di era digital telah membawa perubahan signifikan dalam dunia kerja, salah satu inovasi yang memiliki dampak besar adalah Artificial Intelligence (AI). AI kini mampu menghasilkan karya seni, tulisan, desain grafis, bahkan musik dengan kualitas yang semakin mendekati buatan manusia. Meskipun AI menawarkan efisiensi dan kemudahan, kehadirannya menimbulkan dilema bagi pekerja seni, terutama terkait hak cipta, kepemilikan karya, dan kesejahteraan pekerja.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks hukum ketenagakerjaan di Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur hak dan perlindungan bagi pekerja, termasuk jaminan kesejahteraan serta perlindungan dari persaingan yang tidak sehat. Selain itu, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta juga menegaskan pentingnya perlindungan bagi pencipta karya seni. Namun, dengan semakin berkembangnya AI, regulasi yang ada perlu diperkuat agar tidak hanya melindungi pekerja konvensional, tetapi juga seniman dan pekerja kreatif yang terdampak oleh otomatisasi. Jika tidak diantisipasi, AI dapat memperburuk ketidakpastian kerja, menekan standar upah, serta mengganggu keseimbangan industri kreatif.

AI sebagai Tantangan terhadap Hak-Hak Seniman dalam Ketenagakerjaan

Ilustrasi Artificial Intelligence from Canva
Kehadiran AI dalam industri seni tentu berdampak secara langsung terhadap pekerja dalam bidang kreatif. Dikutip dari laman youtube tvOneNews (22 Februari 2025), balai lelang ternama Amerika Serikat, Christie's mengadakan acara lelang karya seni yang sepenuhnya dihasilkan oleh Artificial Intelligence (AI). Hal tersebut kemudian mendapatkan penolakan dari kalangan seniman. Lebih dari 6.000 seniman yang menandatangani petisi menolak dan mendesak Christie's untuk membatalkan acara lelang tersebut.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, penggunaan AI juga sempat menuai kontroversi pada iklan Makan Bergizi Gratis (MBG) oleh Kementrian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dibuat menggunakan AI. Netizen saat itu membanjiri kolom komentar di laman instagram pribadi Menteri Komdigi Meutya Hafid, yang dianggap tidak menghargai animator lokal dengan penggunaan AI dalam video tersebut.
Berdasarkan pernyataan diatas, jika tidak diantisipasi dengan kebijakan yang tepat, perkembangan AI berpotensi menggeser peran seniman manusia, mereduksi nilai kerja kreatif, serta memperburuk ketidakpastian ekonomi di sektor seni dan budaya. Berikut beberapa dampak yang dihasilkan oleh AI terhadap pekerja dalam bidang kreatif.

1. Pelanggaran Hak Cipta dan Hak Ekonomi Pekerja Bidang Kreatif

Dalam hukum ketenagakerjaan, hak ekonomi pekerja tidak hanya terbatas pada upah, tetapi juga mencakup hak atas hasil kerja kreatif yang mereka ciptakan. Namun, banyak model AI dilatih menggunakan dataset yang berisi karya seniman tanpa izin atau kompensasi yang layak. AI dapat mengolah dan mereproduksi elemen dari karya seni manusia tanpa memberikan kredit atau keuntungan finansial kepada penciptanya, sehingga merugikan pekerja seni. Sebagai contoh, dikutip dari laman TitipJepang.com (25 Oktober 2024), sebanyak 26 pengisi suara menentang penggunaan suara AI secara illegal. Mereka menentang adanya penggunaan generative AI dikarenakan suara mereka digunakan bahkan dijual tanpa izin.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif ketenagakerjaan, hal ini dapat dikategorikan sebagai bentuk eksploitasi kerja intelektual. Dalam hal ini, hasil kreativitas seniman dimanfaatkan tanpa perlindungan hukum yang jelas. Perusahaan lebih memilih menggunakan AI daripada mempekerjakan pekerja seni manusia, karena biaya yang lebih rendah dan efisiensi yang lebih tinggi. Akibatnya, kesempatan kerja bagi seniman semakin menyempit, dan posisi mereka dalam industri seni semakin terpinggirkan.

2. Persaingan Tidak Seimbang dan Dampaknya terhadap Upah Pekerja Kreatif

Hukum ketenagakerjaan pada dasarnya bertujuan untuk melindungi tenaga kerja dengan menjamin hak-hak mendasar pekerja atau buruh, memberikan kesempatan yang setara, serta memastikan perlakuan yang adil tanpa diskriminasi (Matindas, 2018). Namun, dengan AI yang mampu menghasilkan karya seni dalam waktu singkat dengan biaya lebih rendah, nilai ekonomi pekerja kreatif semakin tergerus.
Ketimpangan ini semakin diperparah oleh kecenderungan industri untuk lebih mengandalkan AI dalam produksi karya seni, baik untuk keperluan pemasaran, hiburan, maupun desain grafis. Para seniman yang sebelumnya mendapatkan penghasilan dari karya mereka kini harus bersaing dengan sistem AI yang dapat menghasilkan ribuan gambar, ilustrasi, atau musik dalam hitungan detik. Akibatnya, standar upah bagi pekerja kreatif mengalami penurunan drastis karena klien lebih memilih solusi berbasis AI yang dianggap lebih ekonomis.
ADVERTISEMENT

3. Kurangnya Regulasi Perlindungan Hak Pekerja Seni

Hukum ketenagakerjaan di Indonesia belum secara khusus mengatur tentang hak pekerja seni dalam menghadapi otomatisasi dan AI. Banyak seniman bekerja dalam status freelance atau kontrak, yang sering kali tidak mendapatkan perlindungan ketenagakerjaan yang sama seperti pekerja tetap.
Minimnya regulasi ini membuka celah bagi perusahaan teknologi dan industri yang menggunakan AI untuk memanfaatkan karya seni tanpa memberikan kompensasi yang adil. Beberapa perusahaan bahkan mengembangkan AI dengan menyalin teknik, gaya, dan konsep dari seniman tanpa memberikan pengakuan atau royalti kepada pencipta aslinya. Hal ini menimbulkan dilema hukum, karena banyak karya yang dihasilkan AI masih berada di dalam wilayah abu-abu terkait kepemilikan dan hak cipta.

Solusi Yang Dapat Diterapkan Dalam Kebijakan Ketenagakerjaan

Dalam ranah hukum ketenagakerjaan, fenomena ini merupakan bentuk prekarisasi tenaga kerja. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kerentanan pekerja terhadap ketidakstabilan pendapatan, pengurangan lapangan kerja, serta eksploitasi dalam dinamika pasar. Oleh karena itu, regulasi ketenagakerjaan perlu berperan dalam mengatasi dampak Artificial Intelligence (AI) terhadap struktur upah dan aksesibilitas kesempatan kerja di sektor seni. Beberapa solusi yang dapat diterapkan antara lain:
ADVERTISEMENT

1. Adanya Keterbaruan Regulasi yang Mengatur Perlindungan Pekerja Kreatif

Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sebenarnya sudah mengatur perlindungan bagi pencipta karya seni. Namun, hukum ini belum mengantisipasi perkembangan teknologi AI yang mampu meniru dan memodifikasi karya seni dengan cara yang sulit dibedakan dari hasil kreasi manusia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga lebih berfokus pada perlindungan pekerja formal, sehingga belum sepenuhnya melindungi pekerja seni yang bekerja dalam sistem freelance atau berbasis proyek. Selain itu, peraturan terkait hak cipta dan ketenagakerjaan masih belum mengakomodasi tantangan yang dihadirkan oleh teknologi AI.
Oleh karena itu, perlu ada regulasi baru yang lebih spesifik dalam mengatur hak pekerja seni di era AI. Pemerintah dapat mempertimbangkan kebijakan yang mewajibkan perusahaan teknologi untuk memberikan kompensasi kepada seniman jika AI mereka menggunakan data atau karya seni yang dihasilkan manusia. Selain itu, perlindungan hukum bagi pekerja kreatif harus diperluas agar mereka memiliki hak ekonomi yang jelas dalam menghadapi persaingan dengan AI.
ADVERTISEMENT

2. Menetapkan Standar Upah Minimum Bagi Pekerja Kreatif

Standar ini akan memastikan bahwa pekerja seni tetap mendapatkan kompensasi yang layak meskipun persaingan dengan teknologi semakin ketat. Selain itu, perusahaan yang melatih AI dengan dataset berisi karya seni manusia harus mewajibkan pemberian kompensasi kepada para seniman yang karyanya digunakan, baik dalam bentuk royalti, lisensi, atau skema pembagian keuntungan. Kebijakan ini dapat mencegah eksploitasi karya seni tanpa izin dan memastikan bahwa pekerja kreatif tetap memiliki hak ekonomi atas hasil kerja mereka. Tidak hanya itu, regulasi juga perlu mengatur transparansi dan etika dalam penggunaan AI agar perusahaan terbuka mengenai sumber data yang digunakan untuk melatih model mereka.

Referensi

Matindas, C. L. (2018). Analisis Hukum Ketenagakerjaan tentang Perlindungan Buruh/Pekerja Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Lex Privatum, 6(3).
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
TitipJepang.com. (2024). 26 Seiyuu Menentang Penggunaan Suara AI Illegal. Diakses pada 22 Maret 2025. https://titipjepang.com/idola/seiyuu-menentang-ai-illegal/?srsltid=AfmBOoqntSqKaBmjVg2F2Qo6ZO22HYeB4AhBWxtxHrc1SwDZYPJ6apJT.
tvOneNews. (2025). Seniman Protes usai Christie's Lelang Karya Seni dari AI, Ada Apa? | OneNews Update. Diakses pada 22 Maret 2025. https://www.youtube.com/watch?v=o10c25AGNz4.