Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Generasi Paradoks: Menaklukkan Quarter Life Crisis di Zaman Ironi Digital
7 Mei 2025 12:07 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Zaki Haqiqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah aru digitalisasi yang berjalan begitu cepat, sering kali kita melihat fenomena kehidupan yang disibukan dengan aktivitas didunia maya. Kondisi ini mengubah dan menambah banyak perspektif baru. Ekspresi kebingungan dan kecemasan tergambar jelas karena adanya sebuah rasa gundah akibat pemikiran tentang kondisi yang sedang terjadi. Meratapi keadaan yang terasa membosankan dan berjalan begitu lambat sedangkan orang lain bergerak begitu cepat.
ADVERTISEMENT
Terjadi perang dalam otak berupa pertanyaan "mengapa hidup orang lain terasa lebih mudah dan indah? apakah saya tertinggal?Apakah standar kehidupan yang sudah berubah secara drastis akibat adanya informasi global tanpa henti?". Tentu hal ini sering muncul pada pemikiran remaja dan hal ini sering disebut dengan quarter life crisis.
Quarter life crisis bukanlah istilah baru dalam psikologi perkembangan. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Alexandra Robbins dan Abby Wilner dalam buku mereka "Quarterlife Crisis: The Unique Challenges of Life in Your Twenties" pada tahun 2001. Namun, fenomena ini semakin relevan di era digital dan pasca-pandemi saat ini.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Oliver Robinson dari University of Greenwich (2018), sekitar 86% individu usia 25-35 tahun mengalami periode kebingungan identitas yang signifikan. Studi ini juga mengidentifikasi bahwa quarter life crisis biasanya berlangsung selama 2-5 tahun dan memiliki empat fase yang berbeda: perasaan terjebak, keinginan untuk perubahan, periode transisi, dan pembangunan komitmen baru.
ADVERTISEMENT
Generasi Kita: Dilema Unik di Era Digital
Kita, generasi milenial dan awal Gen Z, menghadapi tantangan yang unik. Berbeda dengan generasi orang tua kita yang mungkin memiliki jalur hidup yang lebih terstruktur (lulus kuliah → kerja → menikah → punya anak), kita hidup di era dengan pilihan hampir tak terbatas dan tekanan kesempurnaan yang diperparah oleh media sosial.
Fenomena TikTok menjadi salah satu ironi terbesar dalam kehidupan generasi kita. Platform yang awalnya hadir sebagai sarana hiburan ringan telah berevolusi menjadi standar kehidupan yang meresahkan. Riset dari Media Psychology Research Center (2023) menunjukkan bahwa algoritma TikTok mampu menciptakan "filter bubble" yang memperkuat kegelisahan quarter life crisis dengan menampilkan konten-konten "hustle culture," "what I eat in a day," atau "clean girl aesthetic" yang seolah menjadi standar wajib kehidupan anak muda.
ADVERTISEMENT
Data dari Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan bahwa generasi Z (74,93 juta jiwa) dan milenial (69,83 juta jiwa) bersama-sama membentuk 53,81% dari total populasi Indonesia. Artinya, lebih dari setengah penduduk Indonesia saat ini sedang atau akan menghadapi fase quarter life ini, dengan tambahan tekanan dari standar tidak realistis yang dipropagandakan TikTok dan platform serupa.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Depression and Anxiety (2021) menemukan bahwa penggunaan media sosial yang intens berkorelasi positif dengan intensitas quarter life crisis. Khususnya, mereka yang menghabiskan lebih dari 3 jam sehari di platform seperti TikTok memiliki risiko 2,5 kali lebih tinggi mengalami kecemasan identitas dibandingkan yang menggunakan kurang dari 1 jam.
"TikTok dysmorphia" menjadi istilah baru dalam psikologi digital yang menggambarkan distorsi persepsi diri akibat paparan terus-menerus terhadap wajah dan tubuh yang telah dimanipulasi filter. Dr. Sarah Mina dari Harvard Medical School mencatat peningkatan 32% pasien yang mencari prosedur kosmetik dengan membawa referensi filter TikTok—fenomena yang tidak pernah ada di generasi sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Ironi terbesar dari fenomena TikTok adalah bagaimana platform ini mempromosikan "authentic self" sementara secara bersamaan mendorong penggunanya untuk mengikuti tren yang homogen. "Authenticity" di TikTok telah menjadi performatif—bukan lagi tentang menjadi diri sendiri yang sebenarnya, melainkan mengikuti template "keautentikan" yang sudah dikurasi.
Studi etnografi digital oleh Dr. Lisa Martinez (2022) menganalisis 1.000 video TikTok dengan tagar #quarterlifecrisis dan menemukan pola yang mengkhawatirkan: 78% konten sebenarnya memperkuat standar keberhasilan konvensional (mobil mewah, apartemen estetik, karier prestisius) sambil berpura-pura mengkritiknya.
Tanda-tanda Kamu Sedang Mengalami Quarter Life Crisis di Era TikTok
1. Kebingungan identitas: Pertanyaan seperti "Siapa saya sebenarnya?" muncul setiap kali melihat konten orang lain yang tampak lebih "otentik" atau "menemukan jati diri."
ADVERTISEMENT
2. Kecemasan tentang pilihan: Takut salah mengambil keputusan karena TikTok selalu menampilkan "jalan hidup sempurna" yang berbeda setiap harinya—hari ini "cottage core," besok "corporate girl," lusa "digital nomad."
3. Perbandingan sosial yang intens: Membandingkan pencapaian dengan "day in my life" content creator yang menampilkan rutinitas produktif sempurna yang sebenarnya direkayasa.
4. Perasaan terjebak dalam waktu: Fenomena "clock app"—julukan untuk TikTok—yang tanpa sadar menghabiskan berjam-jam waktu produktif dan meningkatkan kecemasan akan "waktu yang terbuang."
5. Dopamine detox paradox: Siklus ketergantungan dopamin dari scrolling tanpa akhir, diikuti rasa bersalah dan janji untuk "detox" yang sering gagal, menciptakan siklus negatif terhadap self-image.
Penelitian dari Digital Wellness Lab menunjukkan bahwa pengguna TikTok aktif menghabiskan rata-rata 95 menit sehari di platform tersebut—setara dengan 24 hari penuh dalam setahun—waktu yang bisa digunakan untuk pengembangan keterampilan nyata atau koneksi interpersonal bermakna.
ADVERTISEMENT
Quarter Life Healing
1. Dekonstruksi Standar TikTok
Langkah pertama dalam menyembuhkan quarter life crisis di era digital adalah memahami bahwa konten yang kita konsumsi dirancang untuk membuat kita merasa "kurang." Algoritma TikTok secara spesifik didesain untuk memaksimalkan engagement melalui emosi kuat—termasuk kecemasan dan rasa tidak puas dengan diri sendiri.
Dr. Sherry Turkle dari MIT menyebut fenomena ini sebagai "comparative misery" yang didigitalisasi. Cobalah melakukan "content audit"—mengevaluasi bagaimana perasaan Anda sebelum dan sesudah mengonsumsi konten tertentu. Jika suatu akun atau jenis konten konsisten membuat Anda merasa buruk tentang diri sendiri, itu tandanya perlu dikeluarkan dari diet digital Anda.
2. Digital Mindfulness Practice
Praktik mindfulness khusus untuk konsumsi digital dapat membantu mengatasi paradoks TikTok. Teknik "SBNRR" (Stop, Breathe, Notice, Reflect, Respond) yang dikembangkan oleh Center for Humane Technology terbukti efektif menurunkan kecemasan digital sebesar 47% pada kelompok usia 25-35 tahun.
ADVERTISEMENT
Metode sederhana ini mengajak kita untuk berhenti sejenak sebelum membuka aplikasi, bernapas dalam-dalam, memperhatikan dorongan untuk scrolling, merefleksikan apa yang kita cari sebenarnya (hiburan? validasi? pelarian?), dan merespons dengan pilihan sadar—apakah tetap membuka aplikasi atau melakukan aktivitas lain yang lebih bermakna.
3. Membangun Komunitas Autentik di Luar Media Sosial
Ironi terbesar dari era TikTok adalah bagaimana kita merasa lebih terhubung namun sebenarnya lebih terisolasi. Studi dari Universitas Harvard menunjukkan bahwa koneksi sosial tatap muka memiliki efek neurobiologis yang tidak dapat direplikasi oleh interaksi digital.
Menciptakan "digital free zones" dalam kehidupan—seperti makan malam tanpa ponsel, kegiatan olahraga bersama, atau klub buku tatap muka—dapat menjadi langkah awal membangun koneksi autentik yang menjadi penangkal alami quarter life crisis.
ADVERTISEMENT
4. Reclaiming Mundane Moments
TikTok telah mengajarkan kita untuk melihat momen-momen biasa dalam hidup sebagai "konten potensial" atau tidak bernilai sama sekali. Mengembalikan penghargaan terhadap keseharian—sarapan tanpa direkam, buku yang dibaca tanpa direview, olahraga tanpa tracker—adalah bentuk perlawanan terhadap komodifikasi setiap aspek kehidupan.
Dr. Kate Murphy dalam penelitiannya tentang "joy of missing out" menemukan bahwa individu yang secara sadar memilih untuk tidak mendokumentasikan pengalaman tertentu justru melaporkan tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang terus-menerus mencari validasi digital.
Quarter life crisis di era TikTok adalah tantangan unik yang tidak pernah dihadapi generasi sebelumnya. Kita adalah pioneer yang harus menavigasi lanskap digital yang penuh paradoks dan ironi—platform yang menjanjikan koneksi namun menghasilkan isolasi, yang mempromosikan autentisitas namun mendorong konformitas.
ADVERTISEMENT
Sebagai generasi yang akan memegang tongkat estafet ketika Indonesia memasuki usia 100 tahun pada 2045, mengelola krisis identitas pribadi di tengah tekanan media sosial adalah bagian dari kontribusi kita untuk masa depan bangsa. Seperti yang tertuang dalam RPJPN 2025-2045, Indonesia membutuhkan generasi dengan identitas yang kuat dan visi yang jelas—yang tidak mudah tergoyahkan oleh tren digital yang terus berganti.
Quarter life healing bukan tentang menghindari teknologi secara total, melainkan tentang menempatkannya pada posisi yang tepat dalam hidup kita—sebagai alat, bukan penguasa. Karena pada akhirnya, kehidupan yang bermakna terjadi di dunia nyata, bukan di dalam layar 15 detik.