Konten dari Pengguna

Mengulik PKS Tripartit: Sinergi Pajak Pusat dan Daerah untuk Penguatan Fiskal

Muhammad Zaky Azhar Arviansyah
Mahasiswa Tugas Belajar, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
6 Februari 2025 11:04 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Zaky Azhar Arviansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Muhammad Zaky Azhar Arviansyah
Tak terasa, setelah dilakukan penandatanganan pertama kali pada 16 Juli 2019, Perjanjian Kerja Sama (PKS) Tripartit antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), dan Pemerintah Daerah sudah memasuki tahapan ke-VI. Pemerintah Pusat dalam hal ini diwakili oleh dua Eselon I Kementerian Keuangan yaitu DJP dan DJP senantiasa mengajak Pemerintah Daerah untuk turut bersinergi dengan Pemerintah Pusat untuk menyukseskan PKS Tripartit.
Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo bersama Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan perwakilan Pemerintah Daerah menandatangani Perjanjian Kerja Sama Tripartit Tahap V (sumber : RRI)
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo bersama Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan perwakilan Pemerintah Daerah menandatangani Perjanjian Kerja Sama Tripartit Tahap V (sumber : RRI)
Apa itu PKS Tripartit?
ADVERTISEMENT
PKS Tripartit adalah bentuk kerja sama antara DJP, DJPK, dan Pemerintah Daerah yang bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, baik pajak pusat maupun pajak daerah. Kerja sama ini mencakup pertukaran data dan informasi perpajakan, pengawasan kepatuhan wajib pajak, serta peningkatan kapasitas aparatur perpajakan di daerah.
Sejauh ini, penandatanganan PKS Tripartit sudah dilakukan sebanyak lima tahapan dan sedang dalam proses menuju tahapan ke-VI. PKS tahap I ditandatangani pada 16 Juli 2019 dan melibatkan 7 Pemerintah Daerah kota piloting. Kemudian, pada 26 Agustus 2020, PKS tahap II diperluas dengan melibatkan 78 Pemerintah Daerah (3 provinsi, 47 kabupaten, dan 28 kota). Selanjutnya, pada 21 April 2021, PKS tahap III kembali diperluas dengan melibatkan 1 provinsi, 68 kabupaten, dan 15 kota. PKS tahap IV melibatkan 86 Pemerintah Daerah, dan PKS tahap V melibatkan 113 Pemerintah Daerah pada 23 Agustus 2023. Hingga PKS Tahapan V, total Pemerintah Daerah yang telah mengikuti penandatanganan sebanyak 367 dari total 552 Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Urgensi PKS Tripartit
Sinergi ini datang bukan tanpa alasan, mengingat tax ratio Indonesia yang masih berada di kisaran 10% dan local taxing power pajak daerah yang masih berada di angka 1,3%-1,4%, sehingga dibutuhkannya kerja sama agar optimalisasi penerimaan pajak pusat dan daerah dapat dilaksanakan.
Rendahnya serapan potensi penerimaan pajak baik pusat maupun daerah menjadi permasalahan yang tak bisa diabaikan. Mengingat objek pajak pusat dan daerah terkadang beririsan pada subjek pajak yang sama, maka pertukaran data merupakan kunci agar penerimaan pajak pusat dan daerah dapat dioptimalkan. Saat ini, DJP masih kesulitan untuk mendapatkan data pembanding dari Pemerintah Daerah untuk menguji tingkat kepatuhan Wajib Pajak (WP) begitu pula sebaliknya. Padahal, akses terhadap informasi perpajakan daerah sangat krusial untuk memastikan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Untuk mempermudah akses informasi tersebut, maka dibutuhkan suatu hubungan mutualisme yang diatur dalam PKS Tripartit tersebut. Harapannya, perjanjian ini dapat memperkuat sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam hal pertukaran data perpajakan demi menciptakan sistem pajak yang lebih transparan dan efektif.
ADVERTISEMENT
Tujuan dan Manfaat PKS Tripartit
Implementasi PKS Tripartit tidak hanya sebatas pertukaran data, tetapi juga mencakup berbagai aspek lain dalam sistem perpajakan. Salah satu ruang lingkup utama adalah pembangunan data perpajakan yang berkualitas, di mana DJP, DJPK, dan Pemda berkolaborasi untuk memastikan bahwa data yang digunakan dalam administrasi perpajakan dapat diandalkan dan terintegrasi dengan baik.
Selain itu, kerja sama ini juga mencakup pendampingan dan dukungan kapasitas dalam penerapan teknologi informasi perpajakan daerah. Digitalisasi dalam sistem perpajakan menjadi krusial untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam pemungutan pajak. Oleh karena itu, DJP dan DJPK turut memberikan bimbingan teknis serta dukungan dalam pembinaan administrasi perpajakan di tingkat daerah. Pemerintah Daerah yang sudah ditetapkan menjadi peserta PKS mendapat prioritas untuk diikutkan dalam kegiatan Bimbingan Teknis Perpajakan Daerah antara lain kelas Pemeriksaan Pajak, Penagihan Pajak, dan penggalian potensi Pajak Daerah yang diselenggarakan oleh DJPK. Pemerintah Daerah tersebut juga akan mendapatkan manfaat dari kegiatan peningkatan kapasitas atau pendampingan yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah DJP atau Kantor Pelayanan Pajak seperti bimbingan teknis penilaian untuk menilai aset daerah atau mengukur nilai aset milik Wajib Pajak Daerah.
ADVERTISEMENT
Pemanfaatan data dan informasi pajak juga menjadi bagian penting dalam PKS Tripartit. Data atas pengusaha dan Wajib Pajak yang ditetapkan secara berkala akan dimanfaatkan untuk memastikan kepatuhan pajak serta mengoptimalkan penerimaan daerah. Hal ini juga mendukung pelaksanaan pengawasan bersama di bidang perpajakan guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Di samping itu, koordinasi dalam penyusunan regulasi pajak daerah menjadi salah satu aspek yang diperhatikan dalam kerja sama ini. Dengan adanya harmonisasi regulasi antara pusat dan daerah, diharapkan tidak terjadi tumpang tindih aturan yang dapat menghambat optimalisasi penerimaan pajak.
Sebagai bagian dari upaya sinergi, PKS Tripartit juga mendukung kegiatan sosialisasi terpadu perpajakan di daerah. Edukasi kepada wajib pajak dan masyarakat luas menjadi langkah penting dalam meningkatkan kesadaran akan kewajiban perpajakan serta mencegah praktik penghindaran pajak. Selain itu, kerja sama ini juga selaras dengan upaya pemerintah dalam mencegah korupsi di sektor perpajakan.
ADVERTISEMENT
Tantangan Implementasi Pertukaran Data
Meskipun memiliki berbagai manfaat, implementasi PKS Tripartit tidak terlepas dari tantangan. Salah satu kendala yang sering muncul adalah sinkronisasi data antara DJP, DJPK, dan Pemerintah Daerah. Perbedaan format dan sistim informasi yang digunakan masing-masing pihak sering menjadi hambatan dalam proses integrasi data perpajakan. Terlebih, pajak pusat dan pajak daerah juga memiliki klasifikasi jenis subjek dan objek pajak yang berbeda, sehingga diperlukan format khusus untuk memudahkan integrasi antara kedua data tersebut.
Selain itu, komitmen dan koordinasi antar pihak menjadi faktor kunci dalam keberhasilan PKS Tripartit. Jika salah satu pihak tidak aktif berpartisipasi atau kurang mendukung pelaksanaan kerja sama ini, efektivitasnya dapat terganggu. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih tegas dalam memastikan bahwa semua pihak menjalankan perannya dengan optimal.
ADVERTISEMENT
Tantangan lain yang dihadapi adalah terkait kualitas Sumber daya manusia (SDM). Hal ini dikarenakan tidak semua daerah memiliki kapasitas SDM yang memadai untuk mengelola dan memanfaatkan data perpajakan secara optimal. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas pegawai di bidang perpajakan menjadi hal yang penting agar kerja sama ini dapat berjalan dengan baik.
Meskipun dihadapkan dengan berbagai tantangan tersebut, mitigasi risiko atas pencegahannya telah tercantum pada Perjanjian Kerja Sama tersebut. Dengan adanya dukungan kerja sama dan komunikasi yang baik, maka tidak ada alasan bagi Pemerintah Daerah lain untuk tidak turut menandatangani perjanjian tersebut.
Keberadaan PKS Tripartit juga telah sejalan dengan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yang baru disahkan pada tahun 2022. Pasal 95 UU HKPD menegaskan pentingnya integrasi data antara pemerintah pusat dan daerah untuk memperkuat pengawasan dan optimalisasi penerimaan pajak yang dalam hal ini telah diwujudkan oleh adanya PKS Tripartit.
ADVERTISEMENT
Kedua instrumen tersebut juga memiliki tujuan yang sama dalam meningkatkan kemandirian fiskal daerah yang masih rendah. Kemandirian fiskal belum dapat tercapai karena masih banyak daerah yang mengandalkan sumber anggaran yang berasal dari dana transfer pemerintah pusat yang mencakup Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Insentif Daerah (DID). Menurut laporan DJPK, rata-rata 70-80% pendapatan daerah di Indonesia masih berasal dari dana transfer pusat. Beberapa daerah bahkan memiliki ketergantungan lebih dari 90%, terutama di wilayah dengan kapasitas fiskal rendah seperti daerah tertinggal dan kepulauan.
Dengan mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari pajak dan retribusi daerah, pemerintah daerah dapat lebih fleksibel dalam menentukan arah pembangunan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan warganya tanpa dibatasi oleh ruang fiskal yang terbatas. Hanya dengan cara itulah, kemandirian fiskal daerah dapat tercapai secara maksimal.
ADVERTISEMENT