Konten dari Pengguna

Jangan Harap Pemimpin yang Antikorupsi kalau Politik Uang Masih Lestari

Muhammad Azam Multazam
Bekerja di Bawaslu.
19 Agustus 2023 8:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Azam Multazam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Begitu komentar salah satu teman saya seusai melihat kabar ada oknum kepala desa di kabupaten yang ia tinggali ditangkap polisi sebab tersandung kasus korupsi dana desa pada beberapa minggu lalu. Maksud komentarnya: kok tega banget dana desa dikorupsi.
ADVERTISEMENT
Kabarnya, kades tersebut ngembat dana desa hingga ratusan juta. Sebuah nominal yang jika dibelikan batagor, seluruh rakyat di desanya pasti akan kebagian batagor semua.
Meskipun tidak warganya si kades itu, si teman tak henti-hentinya mengutuk kejadian itu, seolah tidak terima dengan kasus korupsi tersebut. Mungkin segenap masyarakat desa yang dibawahi Kades tersebut juga turut mengutuk.
Dan saya membayangkan, sebagian dari mereka ada yang menelurkan pertanyaan: kok bisa korupsi ya? Di mana hati nuraninya? Gitu kok bisa jadi pemimpin ya? Atau pertanyaan lainnya.
Sementara, kalimat pertanyaan yang terakhir itu yang membuat saya berpikir serius: “Iya ya, orang kayak gitu kok bisa jadi pemimpin, lantas apa yang membuat ia berbuat korup?”
ADVERTISEMENT
Tentu saja pertanyaan itu hadir di imajinasi saya saja. Gak sampai ikut misuh kok. Wong, saya gak ikut milih dia. Eh, terus siapa yang milih dia? Nah, itu, Gaes.

Yang Menentukan Pemimpin Adalah Rakyat

Kita tahu, kepala desa adalah jabatan tertinggi yang menakhodai kursi pemerintahan di tingkat desa. Adalah mereka yang berhasil memenangkan kompetisi dengan memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan. Begitupun dengan pemilihan presiden, pemilihan legislatif, dan pemilihan kepala daerah. Mekanismenya sama, dipilih oleh rakyat secara langsung.
Sebelum prosesi pemilihan, para peserta kompetisi politik, baik itu di pilpres, pileg, pilkada, atau pilkades diberikan waktu untuk memperkenalkan diri kepada rakyat yang memiliki hak pilih. Mereka yang ikut berkompetisi pasti telah menyiapkan strategi untuk memikat hati para calon pemilih. Bervariasi strateginya.
ADVERTISEMENT
Hingga kita bisa menjumpai wajah-wajah calon yang ikut kontestasi politik tertempel di baliho maupun alat peraga kampanye lainnya lengkap dengan visi misinya. Seperti tertulis “jujur, bersih, amanah, mboten ngapusi.” Atau yang lainnya. Begitulah panorama musim kontestasi politik di altar demokrasi Indonesia.
Jelas, itu bagian dari memperkenalkan diri dalam berkampanye wasilah untuk menarik hati para pemilih. Memang, ada tahapan yang diberikan bagi calon yang bertarung di kompetisi politik untuk berkampanye. Tentu ada cara mainnya, regulasi yang mengatur.
Selanjutnya, mereka yang mendapatkan suara terbanyak dalam elektoral akan keluar sebagai pemenang dalam kompetisi politik. Dilantik, lalu menduduki kursi pemerintahan. Tentu, masyarakat akan menyambut dengan harapan, yang sesuai dengan apa yang tertera di balihonya dulu.
ADVERTISEMENT

Politik Uang Adalah Induk Korupsi

Setelah pemimpin terpilih menjalankan kursi pemerintahan, tiba-tiba terdengar berita bahwa si pemimpin itu terjerat kasus korupsi. Banyak kutukan yang dilayangkan. Banyak sumpah serapah tersuarakan. Kenapa, kecewa?
Jelas, masyarakat selalu menggadang-gadang pemimpin yang jujur, bersih, dan amanah, sesuai apa yang tertera di sebelah gambar dengan senyuman manis dan penuh wibawa. Namun, realitanya malah kontradiktif. Tanpa disadari, masyarakat sendiri lupa kalau yang memilih pemimpin korup itu, ya masyarakat itu sendiri. Lah, kok bisa, Gaes?
Sebentar. Dalam kontestasi politik, beraneka ragam racikan untuk menarik suara pemilih. Tidak sedikit peserta kontestasi politik menyuap pemilih untuk menyulap menjadi suara. Betul, dalam kamus keseharian kita biasa menyebutnya politik uang. Atau, di tempat saya menyebutnya serangan fajar. Atau, Iqbal Aji Daryono dalam bukunya “Out of The Lunch Box” menyebutnya amplop kasih sayang.
ADVERTISEMENT
Sedikit masyarakat yang tidak tergiur dengan pemberian amplop kasih sayang tersebut. Sialnya, semakin tinggi nominal yang diberikan akan dijadikan keputusan di mana suaranya akan berlabuh. Mereka akan memilih dengan pertimbangan isi amplop kasih sayang.
Lantas, jangan kaget kalau praktik semacam itu akhirnya menelurkan pemimpin yang korup. Baik itu suap, gratifikasi atau semacamnya. Sebab, selama kontestasi mereka telah mengeluarkan modal banyak, dari biaya percetakan baliho atau alat peraga lainnya, sebar amplop kasih sayang, dan tetek-bengek lainnya. Dan semua itu dirasa kudu balik modal, bahkan nyari keuntungan selama menjabat.
Karena itu, politik uang bisa saja disebut sebagai “mother of corruption”, induknya korupsi. Jadi, jangan harap pemimpin yang anti korupsi kalau politik uang masih lestari.
ADVERTISEMENT