Berkaca dari Kasus Demian dan Bunga Jelitha

Zaneti Sugiharti
Mindfulness, parenting, wellness
Konten dari Pengguna
2 Desember 2017 9:48 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zaneti Sugiharti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Demian Aditya (Foto: Instagram/@demianaditya)
zoom-in-whitePerbesar
Demian Aditya (Foto: Instagram/@demianaditya)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa waktu lalu, perwakilan Indonesia di ajang Miss Universe, Bunga Jelitha gagal menorehkan nama negara kita bahkan sekadar untuk masuk ke 15 besar. Fakta ini cukup disayangkan karena sebelumnya Indonesia beberapa kali masuk ke top 15 bahkan lebih.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari setelahnya, publik juga dikejutkan dengan aksi ilusionis Demian di panggung yang malah mencelakai pemeran penggantinya di dalam peti mati yang dijatuhkan dari ketinggian dan menimpa batangan besi di bawahnya.
Keduanya punya benang merah yang sama : kegagalan.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, gagal (kk) artinya tidak berhasil ; tidak tercapai maksudnya, atau tidak jadi.
Dari definisinya, jelas bahwa gagal atau kegagalan bukanlah sesuatu yang kita inginkan terjadi. Lawan kata dari keberhasilan, dimana apa yang kita rencanakan dan kita inginkan menjadi kenyataan.
Mereka sudah melakukan apa yang seharusnya dilakukan, namun karena satu dan lain hal semua menjadi tidak sesuai dengan harapan, dan memang sangat di sayangkan.
Namun, yang menarik perhatian saya adalah respon warganet Indonesia terhadap dua kejadian tersebut. Dalam konteks Bunga Jelitha, beberapa pemberitaan bahkan menuturkan bahwa Bunga sendiri takut saat akan pulang ke Indonesia karena banyaknya hujatan yang dia terima di sosial media.
ADVERTISEMENT
Hujatan, cacian, makian, hinaan, apapun itu namanya, menjadi respon mayor dalam menanggapi kegagalan Bunga Jelitha, meskipun tetap banyak dukungan moril yang di sampaikan, namun respon negatif tetap saja mencolok. Pun terjadi pada kasus Demian, di mana ilusionis tersebut dituduh menunjukkan kebohongan publik, menipu, mengorbankan nyawa orang untuk sebuah pertunjukan dan cacian lainnya.
Hey bukankan aksi sulap dimanapun adalah manipulasi? Apa yang sebenarnya mereka harapkan dari sebuah ilusi? Magic yang datangnya dari angin? Semua yang membuat saya mengrenyitkan dahi cukup dalam. Miris membaca komentar-komentar warganet yang seolah menampikkan fakta bahwa trik tersebut terjadi karena konsensus antara keduanya, Demian dan si pemeran pengganti.
Dari sekian banyak kalimat perundungan dalam kedua kasus 'kegagalan' tersebut, baik di sosial media maupun di media mainstream, saya cuma bisa bertanya dalam hati : Segitu sulitkah orang Indonesia memahami kegagalan? Apa yang terjadi dengan orang-orang ini dalam hidupnya?
ADVERTISEMENT
Mari tidak perlu bicara skala besar pada warganet tersebut. Kita coba lihat keseharian kita, jangan-jangan kita pun punya sifat menjatuhkan, perundung, dalam diri kita yang kita tidak sadari.
Apa respon kita saat orang terdekat melakukan kegagalan atau kesalahan? Masihkah kita menyalahkan mereka? Memberi label atas kegagalan dan kesalahan mereka? Jika ya, maka kita tak ubahnya warganet yang kita bicarakan di atas.
Saat anak melakukan sebuah kesalahan, misalnya, apakah kita masih berujar "Aduh kamu sih tidak hati-hati!" atau "Kamu matanya dimana? Begitu aja salah!" atau "Kamu nakal!" dan ujaran lainnya yang menjatuhkan dan men-cap mereka negatif.
Atau, pemberian label kepada pasangan kita saat mereka melakukan salah "Kamu kok bikin salah terus sih? Kapan mau berubah?" atau "Nyesel aku kawin sama kamu kalau tau kamu begini!" atau misal "Dasar tukang bohong!" dan kalimat-kalimat serupa yang menjatuhkan.
ADVERTISEMENT
Bukannya merangkul bahkan mau mendukung supaya kesalahan atau kegagalan tidak terjadi lagi, kita, layaknya warganet di atas, masih sering memberikan respon yang salah dalam menanggapi kekalahan atau kegagalan orang lain, bahkan untuk orang terdekat sekalipun. Hayo, siapa yang merasa?
Untuk menjadi agen perubahan di skala besar memang sulit, tapi seperti yang saya barusan ilustrasikan, kita bisa berubah dari diri sendiri dan lingkungan terdekat. Cobalah melihat suatu kegagalan dari sudut pandang si orang yang gagal atau salah, sebisa mungkin tetap rasional atau objektif, se-kecewa apapun kita terhadap kegagalan tersebut.
Mari berubah untuk Indonesia yang lebih humanis.
Salam.