Ibu Bekerja: Antara Paradoks dan Beban Pencitraan

Zaneti Sugiharti
Mindfulness, parenting, wellness
Konten dari Pengguna
18 September 2017 18:44 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zaneti Sugiharti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini diperuntukkan untuk siapapun yang bukan ibu bekerja. Bagi kami kaum ibu bekerja, ada beberapa kontradiksi di kehidupan kami yang tidak semua orang tahu.
ADVERTISEMENT
Ketahuilah, stigma ibu bekerja di mata kalian pasti akan berubah setelah kalian baca tulisan ini.
1. Kami kaum yang terbiasa mandiri, kuat dan tangguh.
Kesan yang "lazim" dicapkan kepada kami, kaum wanita pekerja yang pada pagi hari harus menyiapkan sarapan bagi keluarga, lalu bersiap ke kantor dengan padatnya jalanan, di siang hari harus melakukan banyak hal bersama kolega kantor, pulang ke rumah dengan kepadatan jalanan yang sama, lalu masih mampu menemani anak bermain dan mengeloni mereka.
Tapi tahukah kalian? kami tidak sekuat yang kalian bayangkan. Kami kaum ibu bekerja punya keterbatasan, dan tidak mudah bagi kami mengakunya karena mereka terbiasa disebut super woman. Ini namanya super paradoks.
ADVERTISEMENT
Bukan, bukan salah kalian jika kami menolak dikatakan lemah. Terima kasih banyak bagi gerakan para feminis (entah feminis jenis apa saya gak paham) yang katanya "memperjuangkan" kesetaraan saat kami belum sepenuhnya siap setara, dan kadang-kadang masih butuh diistemawakan tapi di saat yang sama ingin mendapatkan kesetaraan dalam hal kekuasaan. Di sanalah kami terjebak pencitraan super woman.
Please, tetaplah memberikan perhatian lebih bagi kami yang memilih (atau terpaksa) bekerja sebagai istri, kakak, adik, sahabat, teman, siapapun peran kami bagi kalian. Buat kami, perhatian kecil kalian sangatlah berarti saat gengsi kami untuk minta tolong lebih besar dari apapun.
2. Kami tidak boleh mengeluh karena keputusan kami menjadi ibu bekerja
Ilustrasi wanita stres dengan pekerjaannya (Foto: Thinkstock)
Entah urusan jalanan macet, atau commuter line yang terlalu padat, telat, dan banyak kesialan lainnya yang kami hadapi setiap hari, kami seolah tabu menceritakan itu kepada siapapun. Bahwa nantinya mereka mempertanyakan kembali motif kami bekerja (yang pada dasarnya tidak relevan untuk menjadi pertanyaan sebab-akibat) mau tidak mau jadi alasan kami untuk akhirnya malas berkeluh kesah di manapun.
ADVERTISEMENT
Bagus donk? Iya sih, tapi mengeluh seolah barang mewah bagi kami jika dibanding dengan kalangan masyarakat lain. Kenapa? Ya karena ujung-ujungnya ucapan nyinyir netizen (baca : teman) akan memojokkan kami. Padahal tahukah kalian mengeluh itu manusiawi sekali lho.
Banyak dari kami yang akhirnya terjebak pada pencitraan positif, di sosial media, di lingkungan pergaulan, di manapun kami berada, seolah ibu bekerja harus menunjukkan diri lebih "tahan banting" dari ibu rumah tangga dan lainnya. Lingkaran api yang seolah tak bertepi. Hanya berujung pada kelelahan mencitrakan diri.
3. Kesenangan kaum ibu bekerja menimbulkan keraguan atas kredibilitas kami sebagai ibu
Sekali lagi terima kasih kepada sosial media, berkatnya kami mendapatkan impresi berbeda di masyarakat. Satu momen dimana para ibu bekerja bersenang-senang dengan rekan kerja, shopping, nyalon, dan semacamnya, pertanyaan yang muncul, "Anaknya di rumah sama siapa?". Atau, ungkapan ‘pujian’ berbulu domba dari segelintir kaum sebelah, "Enak ya kamu masih bisa hepi-hepi, saya di rumah terus jaga anak gak bisa kayak kamu."
Kami sedih, benar-benar sedih mendengarkan ‘perhatian’ kalian. Tahukah kalian, ada berapa jam dalam satu hari yang kami habiskan hanya untuk mengkhawatirkan anak di rumah bersama pengasuhnya? Di saat yang sama kami harus mengingat-ngingat apakah air galon di rumah sudah harus diganti? Ada laporan untuk boss yang belum selesai.. duh! Oh iya, si bibik belum di kasih pulsa! Dan berbagai hal lain yang sepertinya mudah bagi kalian yang tidak bekerja.
ADVERTISEMENT
Percayalah, kami mengetahui makna kecemasan lebih dari kalian. So, sesekali santailah. Kami pandai menyembunyikan perasaan. Sedikit hura-hura dengan teman tidak merugikan hidup kalian, apalagi anak kami.
4. Kehebatan anak jadi bahan membandingkan diri
Siapa diantara kalian, yang kebetulan tidak bekerja, menemukan bahwa anak-anak dari ibu bekerja tumbuh dan berkembang secara baik-baik saja, lalu tiba-tiba merasa rendah diri?
Yang bahaya dari semua itu adalah upaya diri untuk saling menyombongkan antara kaum ibu bekerja dan ibu rumah tangga. Saya tidak bilang semua, tapi sebagian, beberapa orang saling ‘menunjukkan’, baik langsung maupun tidak tentang prestasi masing-masing membesarkan anak yang sangat jenius (meskipun itu baru klaim si ibu).
Persaingan antara kaum ibu bekerja dan ibu rumah tangga seolah berada pada tataran "perang dingin", apa yang terlihat di sosial media hanya puncak gunung es karena percayalah di balik itu ada perasaan saling iri lainnya yang tidak terbaca. Hanya hati mereka yang tahu. Lagi-lagi saya tidak merujuk pada semua orang dari dua kelompok tersebut.
Siapapun kalian, pintarlah dalam mengukur diri dan membandngkan diri. Jadikan sosial media tempat kita saling berbagi, tanpa harus mengunggulkan diri. Percayalah kami ibu bekerja tidak secanggih kalian mendidik anak 24 jam sehari dan itu sudah cukup membuat kami perlu mengejar ‘ketertinggalan’ dan memacu kami berpikir keras bagaimana membesarkan dan mengembangkan anak kami supaya tetap tumbuh normal dan ‘jenius’ seperti anak-anak ibu rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Kini jelas tidak ada yang menang dan kalah, ibu bekerja dengan segala kelebihannya punya beban yang tidak mudah. Begitupun ibu rumah tangga dengan segala privilege yang mereka miliki, adalah tugas mereka untuk tidak terpancing dan tetap berpikir positif.
Salam.