Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Menguatkan Independensi Mahkamah Konstitusi untuk Menjaga Marwah Konstitusi
13 Mei 2025 15:50 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Zannubah Arofa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) seharusnya menjadi penjaga konstitusi yang teguh. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, banyak pihak yang meragukan independensi mahkamah konstitusi. Puncaknya terjadi pada Oktober 2023, saat MK mengeluarkan putusan yang mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden, sebuah langkah yang banyak pihak anggap sebagai hasil kompromi dengan kepentingan politik tertentu.
ADVERTISEMENT
Survei LSI bahkan mencatat bahwa 62% responden percaya bahwa keputusan tersebut tidak terlepas dari intervensi politik. Kejadian ini menjadi titik balik, menunjukkan semakin lemahnya persepsi independensi Mahkamah Konstitusi di mata publik. Di tengah proses demokratisasi yang seharusnya memperkuat sistem hukum, kita malah melihat hukum yang dapat dibengkokkan demi kepentingan kekuasaan.
Namun, ini bukanlah satu-satunya contoh. Revisi Undang-Undang KPK pada 2019, pengesahan Perppu Cipta Kerja yang terburu-buru, hingga pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang menelan biaya triliunan rupiah tanpa melibatkan partisipasi publik yang memadai, adalah sejumlah bukti bagaimana hukum kerap dipolitisasi demi kepentingan jangka pendek. Transparency International pun mencatat bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2023 turun menjadi 34/100, terburuk dalam beberapa tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini menggambarkan krisis konstitusional yang tak bisa diselesaikan hanya dengan kritik normatif atau seruan moral. Pembaruan kelembagaan yang nyata dan sistemik sangat diperlukan agar hukum tidak hanya menjadi alat untuk mengakomodasi kekuasaan, melainkan pilar keadilan sosial yang sesungguhnya.
Penguatan Independensi Mahkamah Konstitusi: Kunci untuk Menjaga Marwah Konstitusi dan Akuntabilitas Hukum
Salah satu masalah besar dalam sistem hukum Indonesia adalah lemahnya pengawasan terhadap lembaga tinggi negara, terutama lembaga peradilan konstitusional. Mahkamah Konstitusi, misalnya, memiliki mekanisme etik internal, namun tidak ada pengawasan eksternal yang independen dan efektif.
Untuk itu, peran Komisi Yudisial (KY) perlu diperluas. Saat ini, kewenangan KY terbatas pada hakim-hakim di bawah Mahkamah Agung. Untuk memastikan akuntabilitas yang lebih kuat, KY harus diberi mandat untuk mengawasi etik hakim MK juga, tentu dengan perbaikan regulasi dan kerangka kerja yang menjamin objektivitas.
ADVERTISEMENT
Sebagai perbandingan, di Jerman, Federal Constitutional Court diawasi melalui proses seleksi transparan dan evaluasi rutin berbasis etika serta integritas. Afrika Selatan pun menerapkan sistem pemilihan hakim konstitusi melalui panel independen lintas sektor. Indonesia harus mencontoh praktik-praktik ini jika ingin menjaga supremasi konstitusi secara substantif.
Legislasi Inklusif dan Terbuka: Meningkatkan Partisipasi Publik dalam Proses Pembentukan Hukum di Indonesia
Proses pembentukan undang-undang di Indonesia sering kali berlangsung secara tertutup. Publik sering kali hanya menjadi penonton dalam proses legislasi yang seharusnya berdampak langsung pada kehidupan mereka. Kasus pengesahan Perppu Cipta Kerja yang minim partisipasi publik dan revisi UU Pemilu yang kurang transparan menunjukkan bahwa prinsip keterbukaan masih jauh dari ideal.
Solusinya tidak hanya terletak pada niat politik, tetapi juga pada infrastruktur partisipasi yang lebih konkret. Pemerintah dan DPR harus mengadopsi platform legislasi digital yang memungkinkan publik untuk memberikan masukan langsung, melacak perubahan pasal demi pasal, dan mengetahui siapa yang mengusulkan perubahan tertentu.
ADVERTISEMENT
Dengan pendekatan ini, proses legislasi bisa lebih terbuka, menjadi forum deliberatif yang benar-benar mencerminkan semangat demokrasi konstitusional.
Pendidikan Konstitusi: Pilar Kesadaran Kritis Warga dalam menjaga Hak Konstitusional
Memperkuat sistem hukum tak hanya soal perbaikan regulasi atau lembaga, tetapi juga pendidikan hukum yang lebih inklusif dan partisipatif. Saat ini, kurikulum pendidikan kewarganegaraan di sekolah masih terlalu normatif dan minim pengajaran praktis tentang hak-hak konstitusional.
Pendidikan konstitusi perlu dirancang ulang untuk membentuk warga negara yang lebih kritis terhadap dinamika politik hukum. Pendidikan hukum harus mengajarkan cara mengakses keadilan, mekanisme advokasi publik, dan cara berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan. Negara-negara Skandinavia, misalnya, telah memasukkan modul “legal empowerment” dalam kurikulum dasar mereka, yang mengajarkan cara anak muda mengkritisi kebijakan atau mengajukan keberatan hukum secara kolektif.
ADVERTISEMENT
Jika Indonesia ingin menghasilkan generasi yang tidak hanya taat hukum, tetapi juga aktif dalam menjaga dan mengawal keadilan konstitusional, sistem pendidikan konstitusi perlu diperbaiki.
Antara Kepentingan Elit dan Keadilan Publik
Perjalanan hukum di Indonesia sering kali mencerminkan tarik-menarik antara kepentingan elit politik dan ekonomi dengan keadilan bagi publik. Dalam banyak hal, hukum justru dikendalikan oleh elite politik dan ekonomi untuk memperkuat posisinya, bukan untuk melayani rakyat.
Proyek IKN dan revisi sejumlah undang-undang strategis sering kali lebih mencerminkan akomodasi kekuasaan daripada aspirasi publik. Bahkan, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa proyek IKN berpotensi menjadi ladang korupsi karena lemahnya sistem pengawasan dan minimnya partisipasi masyarakat sipil.
Situasi ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua bahwa demokrasi prosedural saja tidak cukup. Tanpa keadilan substantif dan akuntabilitas konstitusional, demokrasi hanya akan menjadi kulit tanpa isi.
ADVERTISEMENT
Penutup: Menata Ulang Masa Depan Hukum Indonesia
Indonesia memiliki peluang untuk keluar dari krisis konstitusional ini, tetapi hanya jika kita berani melakukan pembaruan yang sesungguhnya. Pembaruan ini tidak harus berupa penambahan lembaga atau regulasi baru, tetapi lebih pada penguatan sistem pengawasan, keterbukaan dalam proses legislasi, serta pembentukan kesadaran hukum yang dimulai sejak dini.
Hukum tidak boleh lagi menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Hukum harus kembali pada misi utamanya: melindungi hak-hak warga negara dan memastikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam sistem demokrasi yang sehat, tidak ada lembaga yang berada di atas kritik publik—termasuk Mahkamah Konstitusi.
Refleksi konstitusional harus segera diikuti dengan langkah konkret. Sebab masa depan hukum Indonesia tidak hanya bergantung pada pasal-pasal di atas kertas, tetapi pada keberanian kolektif kita untuk menjaga dan menegakkan marwah konstitusi, kapan pun dan terhadap siapa pun.
ADVERTISEMENT