Konten dari Pengguna

RUU TNI di Persimpangan Reformasi: Perluasan Fungsi atau Ancaman Demokrasi?

Zannubah Arofa
Mahasiswa program studi hukum tata negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13 Mei 2025 16:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zannubah Arofa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Barisan Tentara Negara Indonesia Beserta Senjatanya, Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Barisan Tentara Negara Indonesia Beserta Senjatanya, Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang telah disahkan oleh DPR RI pada Maret 2025 menimbulkan gelombang perdebatan luas. Di satu sisi, pemerintah beralasan bahwa perubahan ini diperlukan untuk merespons ancaman keamanan yang kian kompleks dan multidimensional. Namun di sisi lain, banyak pihak—terutama kelompok masyarakat sipil, akademisi, hingga aktivis hak asasi manusia—mengkhawatirkan potensi kemunduran demokrasi serta kembalinya militerisme dalam kehidupan sipil.
ADVERTISEMENT
Beberapa pasal dalam revisi UU TNI dinilai membuka peluang keterlibatan TNI secara lebih luas dalam urusan sipil. Di antaranya adalah tugas pengamanan demonstrasi, pemberantasan narkoba, penanganan terorisme, hingga keamanan siber. Perluasan ini menimbulkan kekhawatiran akan bergesernya prinsip dasar reformasi militer pasca 1998: yaitu pemisahan yang tegas antara urusan pertahanan (militer) dan urusan sipil (sipil).
Kembali ke Masa Lalu?
Bagi sebagian pengamat, perubahan ini mengingatkan pada masa Orde Baru, ketika militer memainkan peran ganda dalam politik dan pemerintahan. Keterlibatan militer dalam jabatan sipil kala itu menjadi simbol utama dari praktik otoritarianisme negara. Reformasi 1998 datang dengan semangat membatasi dominasi militer dan menempatkan supremasi sipil sebagai prinsip utama dalam demokrasi.
Kini, dua dekade setelah reformasi, arah itu kembali dipertanyakan. Apakah revisi UU TNI ini menandai langkah mundur menuju militerisasi sipil, atau sekadar respons adaptif terhadap ancaman zaman?
ADVERTISEMENT
Ancaman Non-Tradisional dan Alasan Resmi
Pihak pemerintah dan pendukung revisi UU TNI menyampaikan bahwa peran TNI harus diperluas untuk merespons bentuk ancaman baru—terutama ancaman non-tradisional seperti siber, bencana alam, dan krisis energi-pangan. Letjen TNI (Purn) Sugiharto, salah satu perumus RUU TNI, menyatakan, "Ancaman hari ini tidak lagi semata-mata berbentuk militer konvensional. Negara harus hadir dengan cara yang fleksibel."
Secara teoritis, argumen ini bisa dipahami. Dunia memang tengah memasuki era di mana batas antara keamanan militer dan sipil kian kabur. Namun, persoalannya bukan semata pada perluasan fungsi, melainkan pada mekanisme kontrol dan akuntabilitas yang mengikutinya.
Di Mana Peran Sipil?
Dalam beberapa pasal, RUU TNI memungkinkan TNI melakukan operasi militer selain perang (OMSP) tanpa keharusan mendapatkan izin dari Presiden atau DPR, atau tanpa koordinasi dengan Polri. Ini berpotensi mengganggu prinsip check and balances dalam negara demokratis.
ADVERTISEMENT
Jika institusi militer diberikan kewenangan yang besar dalam menangani urusan sipil tanpa pengawasan otoritas sipil, maka supremasi sipil yang menjadi tulang punggung demokrasi bisa terancam. Hal ini juga dikhawatirkan akan mengikis ruang partisipasi publik, khususnya ketika militer bisa dilibatkan dalam penanganan demonstrasi atau pengawasan ruang digital.
Dunia Siber: Medan Baru, Risiko Baru
Salah satu pasal paling krusial dalam UU TNI yang baru adalah mandat bagi militer untuk menjaga keamanan siber. TNI diberi kewenangan lebih besar untuk terlibat dalam dunia digital, yang selama ini menjadi arena ekspresi publik yang relatif bebas.
Jika tidak diatur dengan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas, maka pelibatan TNI dalam ruang digital bisa membuka pintu bagi penyensoran, pemantauan konten, atau bahkan pembungkaman kritik terhadap pemerintah. Dalam hal ini, risiko yang muncul bukan sekadar pelanggaran hak sipil, tetapi juga transformasi ruang publik menjadi ruang yang diawasi secara ketat oleh negara.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada teori Max Weber, negara adalah entitas yang memiliki hak monopoli atas kekerasan yang sah. Namun, kekerasan tidak selalu bersifat fisik—ia bisa hadir dalam bentuk kekuasaan simbolik, kontrol informasi, atau pembatasan ruang berekspresi. Maka dari itu, pelibatan TNI dalam ranah siber menuntut adanya mekanisme pengawasan ketat dari lembaga sipil.
Suara Masyarakat Sipil: Amandemen Harus Partisipatif
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai bahwa revisi ini dilakukan secara terburu-buru dan minim partisipasi publik. Direktur Imparsial, Alif Rahman, menyebut bahwa, "RUU TNI semestinya dibahas secara transparan dan melibatkan lebih banyak aktor, terutama dari kalangan sipil. Jangan sampai revisi ini menjadi jalan pintas bagi pelemahan demokrasi."
Kritik ini bukan tanpa dasar. Revisi undang-undang yang menyangkut militer seharusnya tidak hanya melibatkan institusi TNI atau pemerintah, tetapi juga akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta publik luas. Sebab yang dipertaruhkan bukan hanya efektivitas pertahanan, tetapi juga jaminan perlindungan terhadap hak-hak warga negara.
ADVERTISEMENT
Ujian Reformasi Demokrasi
Revisi UU TNI merupakan momen krusial yang bisa menjadi batu uji atas konsistensi Indonesia dalam menjaga arah reformasi. Jika perluasan peran militer tidak dibarengi dengan reformasi sistem peradilan militer, penguatan pengawasan sipil, serta batasan yang jelas terhadap intervensi militer dalam urusan sipil, maka kekhawatiran akan kembalinya praktik militerisme bukanlah hal yang berlebihan.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi dilema antara keamanan dan kebebasan sipil. Namun sebagai negara demokrasi yang masih muda, kita memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa keamanan nasional tidak menjadi dalih untuk menggerus prinsip demokrasi itu sendiri.
Penutup
RUU TNI bukan sekadar soal pertahanan, tapi soal masa depan demokrasi Indonesia. Di tengah kompleksitas ancaman modern, peran militer memang harus adaptif. Namun adaptasi tersebut tidak boleh mengorbankan prinsip dasar supremasi sipil dan kebebasan warga negara.
ADVERTISEMENT
Publik berhak untuk mengawasi, bertanya, dan terlibat dalam proses legislasi ini. Dan negara—termasuk DPR, Kementerian Pertahanan, maupun TNI—berkewajiban untuk membuka ruang partisipasi seluas-luasnya.