Konten dari Pengguna

IPEF dan Strategi Baru Asia Tenggara di Tengah Perubahan Ekonomi Global

Zayyana Muchsina Sofyatin Najwa
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Sebelas Maret
1 Mei 2025 19:54 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zayyana Muchsina Sofyatin Najwa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Jakub Zerdzicki on Unsplash. 9/10/2024
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Jakub Zerdzicki on Unsplash. 9/10/2024
ADVERTISEMENT
Ketika Amerika Serikat memulai peluncuran Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF) pada tanggal Mei 2022, perhatian seluruh dunia tertuju pada kawasan Asia-Pasifik. Di tengah rivalitas geopolitik Amerika Serikat-Tiongkok yang berjalan semakin kompleks, IPEF bukan hanya tawaran kerja sama ekonomi, tetapi juga sebagai sinyal strategis bahwa Amerika ingin lebih memperkuat pengaruhnya melalui jalur non-militer di kawasan yang sangat dinamis ini. Namun, bagi Asia Tenggara sendiri pertanyaannya bukan sekadar “bersama siapa berdiri,” melainkan “apa yang bisa didapat dari kerja sama ini.”
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan beberapa perjanjian perdagangan klasik seperti Trans-Pacific Partnership (TPP), IPEF sendiri tidak menawarkan pemotongan tarif atau akses ke pasar secara langsung. Namun sebaliknya, inisiatif ini lebih berfokus pada empat pilar yaitu perdagangan digital, penguatan rantai pasok, transisi energi bersih, dan ekonomi yang adil dan lebih transparan (Jiang, 2023).
Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF) ini lebih menyerupai kerangka normatif ketimbang kesepakatan dagang konvensional seperti yang umum terjadi. Inilah yang membuatnya terlihat lebih fleksibel dengan perjanjian dagang yang lain, namun juga sayangnya mereka tidak menawarkan kepastian langsung bagi negara-negara berkembang yang membutuhkan hasil konkret.
Respons terhadap IPEF tidak seragam di Asia Tenggara, khususnya pada anggota ASEAN. Indonesia, Vietnam, dan Filipina termasuk negara yang melihat inisiatif ini sebagai peluang bagi negara untuk memperkuat daya saing dalam rantai pasok global. Vietnam, mengintegrasikan pilar-pilar IPEF dalam strategi digital dan keamanan energi nasional. Studi terbaru menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur dan energi menjadi motor penggerak utama integrasi ekonomi regional Vietnam pasca keterlibatan mereka dalam IPEF (Ngo, 2023).
ADVERTISEMENT
Indonesia pun menjadikan IPEF sendiri sebagai kesempatan untuk mempercepat ekosistem kendaraan listrik dan pemanfaatan nikel sebagai mineral strategis (Yang et al., 2025). Di sisi lain, negara seperti Malaysia dan Thailand memilih pendekatan lebih hati-hati untuk kesepakatan dengan IPEF, mempertimbangkan hubungan ekonomi mereka yang sudah erat dengan Tiongkok (Jiang, 2023).
Namun di balik peluang ini, ada banyak tantangan besar yang tak bisa diabaikan begitu saja. IPEF tidak memberikan janji yang konkret dalam bentuk insentif dagang. Ketentuan-ketentuan dalam pilar perdagangan digital dan lingkungan justru bisa menjadi beban tersendiri bagi negara dengan kapasitas regulasi yang belum cukup kuat.
Banyak pelaku usaha kecil dan menengah di Asia Tenggara yang belum tentu siap menghadapi standar tinggi dalam hal perlindungan data, alur data lintas batas, dan kepatuhan digital lainnya (Chen, 2022). Tanpa dukungan yang nyata seperti transfer teknologi, pelatihan kapasitas, dan pendanaan, IPEF kedepannya bisa justru memperlebar jurang antara negara berkembang dan negara maju dalam ekosistem Indo-Pasifik.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada muncul risiko tumpang tindih antara berbagai kerangka kerja ekonomi yang ada, seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP), dan Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF). Hal ini bisa menciptakan adanya kompleksitas regulasi yang sangat membingungkan, terutama bagi dunia usaha.
Para pengamat banyak menggunakan istilah “spaghetti bowl effect” untuk menggambarkan bagaimana kekacauan regulasi akibat terlalu banyaknya skema kerja sama yang tidak sinkron satu sama lain (Park, 2023). Spaghetti bowl effect adalah istilah yang menggambarkan kekacauan regulasi dan kompleksitas birokrasi akibat banyaknya perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA) yang tumpang tindih antarnegara. Dalam konteks ini, sangat penting bagi ASEAN untuk memperkuat koordinasi internal mereka agar tetap menjadi aktor utama dalam menentukan arah kerja sama ekonomi di kawasan.
ADVERTISEMENT
Konteks geopolitik yang ada juga tak bisa diabaikan begitu saja. IPEF lahir sebagai bagian dari strategi Amerika Serikat untuk menyeimbangkan pengaruh Tiongkok. Namun jika tidak dikelola dengan bijak, kerja sama semacam ini justru bisa menyeret negara-negara Asia Tenggara ke dalam pusaran rivalitas dua kekuatan besar. Bagi kawasan yang selama ini menganut prinsip non-blok dan sentralitas ASEAN, keterlibatan dalam IPEF harus dikelola secara cermat, dengan mengutamakan kepentingan jangka panjang daripada hanya sekadar mengambil posisi dalam pertarungan geopolitik.
Meskipun begitu, tak dapat dipungkiri bahwa IPEF sendiri menawarkan kerangka kerja yang relevan dengan tantangan abad ke-21 seperti digitalisasi, keberlanjutan, dan keadilan ekonomi. IPEF membuka cukup banyak peluang bagi negara-negara berkembang untuk ikut serta dalam pembentukan standar internasional yang selama ini didominasi oleh negara maju.
ADVERTISEMENT
Namun agar peluang ini bisa benar-benar dimanfaatkan, negara-negara Asia Tenggara perlu melakukan reformasi domestik yang serius mulai dari perbaikan infrastruktur digital hingga penataan ulang regulasi lingkungan dan industri yang mereka miliki.
Pada akhirnya, IPEF ini bisa menjadi momen penting bagi Asia Tenggara untuk naik kelas dalam struktur ekonomi global. Tapi hal itu hanya akan mungkin terjadi jika negara-negara kawasan mampu mengubah janji-janji normatif dalam IPEF menjadi kebijakan nyata di tingkat nasional. Tanpa adanya langkah konkret, IPEF akan tetap menjadi wacana megah yang tak lebih dari sekadar platform diplomatik.
Referensi
Chen, L. (2022). The Indo-Pacific Partnership and digital trade rule setting: Policy proposals. ERIA Discussion Paper Series, No. 466.
ADVERTISEMENT
Jiang, F. (2023). An analysis of the Indo-Pacific Economic Framework (IPEF): Essence, impacts and prospects. East Asian Affairs, 2(2), 1–21.
Ngo, T. Q. (2023). Vietnam opportunities from Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity as regional economic integration: A moderating role of international relations. Croatian International Relations Review, 29(92), 87–107.
Park, S.-C. (2023). Mega FTAs and the Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) in the Asia Pacific Region: Will it be cooperation or competition? International Organisations Research Journal, 18(2), 122–150.
Yang, C., Lin, Z., Li, J., & Chen, C. (2025). Sustainability and challenges of renewable energy in ASEAN countries: Insights from the Indo-Pacific Economic Framework. Environmental Development, 54, 101145.