Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Pelecehan Seksual pada Perempuan: Bukan Soal Pakaian, Tapi Pola Pikir!
14 Februari 2025 12:53 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Zefania Maria Hutabarat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Stop Objektifikasi Perempuan dari Pakaian
![Edited by Zefania Maria Hutabarat](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jm0bzt6s3q0d3qavsy7s1py0.png)
ADVERTISEMENT
Isu pakaian perempuan yang dikaitkan dengan pelecehan merupakan perdebatan yang masih terjadi di banyak masyarakat. Sebagian orang beranggapan bahwa cara berpakaian perempuan bisa “memicu” perilaku tidak pantas dari laki-laki. Namun, perspektif yang lebih adil dan berbasis hak asasi manusia justru menekankan bahwa pelecehan bukan masalah pakaian, tetapi masalah kontrol diri dan budaya patriarki yang masih kuat. Kasus pelecehan terhadap perempuan yang berpakaian tertutup, anak-anak, bahkan lansia membuktikan bahwa pelecehan bukanlah akibat dari cara berpakaian korban. Pelecehan yang terjadi berasal dari pola pikir pelaku dan budaya yang masih permisif terhadap kekerasan seksual. Jika pakaian memang menjadi penyebab, maka perempuan yang mengenakan hijab, pakaian longgar, atau bahkan anak-anak yang berpakaian sederhana tidak akan mengalami pelecehan, bukan? Namun fakta lapangan menunjukkan bahwa mereka tetap menjadi korban.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak kasus, pakaian sering dijadikan alasan atau alat pembenaran atas tindakan pelecehan, seolah-olah korbanlah yang bertanggung jawab atas perbuatan pelaku. Di berbagai asumsi masyarakat, masih ada anggapan bahwa perempuan yang berpakaian terbuka atau dianggap “menarik perhatian” lebih rentan mengalami pelecehan. Padahal, data dari berbagai kesaksian seragam sekolah atau pakaian tradisional, tetap menjadi korban. Berdasarkan data dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang menyatakan bahwa pakaian terbuka bukan penyebab pelecehan seksual dan bahwa 17% korban justru mengenakan pakaian tertutup (Damarjati, 2019). Hal ini menjadi bukti bahwa bukan pakaian yang menjadi pemicu pelecehan, melainkan kurangnya kontrol diri, budaya permisif terhadap kekerasan seksual, serta kurangnya edukasi tentang consent dan penghormatan dalam batasan pribadi.
ADVERTISEMENT
Dimana letak Sexual assault?
Tindakan sexual assault bukan sekadar tindakan spontan akibat “godaan” pakaian korban, tetapi lebih kepada bentuk dominasi, objektifikasi, dan pelecehan terhadap tubuh perempuan tanpa persetujuan mereka. Objektifikasi perempuan terjadi ketika tubuh mereka dipandang sebagai sesuatu yang dapat dinikmati, dikendalikan, atau dieksploitasi tanpa mempertimbangkan keinginan dan hak individu tersebut. Media, budaya populer, dan norma sosial sering kali memperkuat pandangan ini dengan menggambarkan perempuan sebagai objek seksual, yang kemudian menjadi dasar bagi pelaku untuk merasa berhak melakukan pelecehan tanpa rasa bersalah.
Beragam tanggapan dari publik bermunculan di media sosial, di mana mereka membagikan pendapat serta pengalaman mereka. Seorang perempuan dengan username @newme berkomentar dalam suatu konten video di Tiktok, ia menyebutkan bahwa “udah menutup aurat dengan baik, masih saja bisa menjadi korban, bener bener kita perempuan ga boleh lemah”. Lontaran kalimat tersebut menunjukkan reaksi yang antipati terhadap perlakuan pelecehan terhadap perempuan. Ia menyoroti bahwa berpakaian tertutup tidak menjamin terhindarnya seorang perempuan dari pelecehan.
ADVERTISEMENT
Reaksi seperti ini menunjukkan bagaimana pengalaman pelecehan seksual mendorong perempuan untuk lebih waspada dan tegar, tetapi juga menggarisbawahi perlunya perubahan struktural yang lebih besar. Edukasi tentang consent, penegakan hukum yang lebih ketat, serta perubahan budaya dalam menghormati perempuan perlu terus diperjuangkan agar pelecehan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang wajar atau tidak terhindarkan.
Lalu, korelasinya dengan sistem patriarki?
Pernahkah kalian berpikir bahwa kasus pelecehan yang terjadi akibat pakaian perempuan itu berhubungan dengan budaya patriarki? Patriarki merupakan sistem sosial yang memberikan dominasi dan kontrol lebih kepada laki-laki, sering kali dengan cara menekan atau mengontrol perempuan, termasuk dalam hal berpakaian. Dalam sistem patriarki, perempuan sering dianggap sebagai objek yang harus mengikuti aturan tertentu, termasuk dalam cara berpakaian. Ketika seorang perempuan mengenakan pakaian yang dianggap “terbuka” atau “tidak sopan”, ia bisa disalahkan jika mengalami pelecehan, seolah-olah tubuhnya adalah tanggung jawab publik, bukan hak pribadinya.
ADVERTISEMENT
Budaya patriarki cenderung menganggap bahwa perempuan harus mengikuti norma tertentu, termasuk dalam hal berpakaian, agar bisa “dihormati” atau tidak dianggap sebagai objek seksual. Kendati demikian, perempuan berpakaian sopan atau sesuai dengan norma sosial justru menjadi target terbanyak dari korban pelecehan seksual yang ada. Hal ini mengarah pada perilaku dominatif dan merendahkan perempuan, yang bahkan bisa terjadi meskipun perempuan sudah berusaha memenuhi ekspektasi sosial mengenai pakaian dan perilaku mereka. Pelecehan terhadap perempuan yang berpakaian sopan ini menunjukkan bahwa budaya patriarki tidak mengakui otonomi perempuan untuk menentukan apa yang mereka pakai atau bagaimana mereka ingin memperlakukan tubuh mereka.
Untuk menghentikan pelecehan seksual, perlu dilihat dalam konteks yang lebih besar yaitu mengubah budaya patriarki yang masih membudaya di banyak masyarakat. Salah satu cara untuk mengubah pandangan ini adalah dengan menanamkan pemahaman tentang kesetaraan gender dan menghormati otonomi tubuh setiap individu, tanpa memperhatikan apa yang mereka kenakan. Kebebasan seseorang dalam berpakaian merupakan salah satu hak yang bisa seseorang dapatkan. Budaya patriarki yang terus menganggap tubuh perempuan sebagai objek kekuasaan atau pengendalian hanya akan terus memungkinkan pelecehan terjadi, terlepas dari apa yang perempuan kenakan.
ADVERTISEMENT
Perempuan bukanlah objek seksual, objek pandangan, ataupun objek kekerasan. Namun, perempuan adalah subjek yang pantas untuk dihargai layaknya manusia. Perempuan membutuhkan proteksi dari ancaman apapun yang ada di sekitarnya. Perempuan juga perlu merasa aman keluar rumah terlepas dari apapun yang digunakan atau diperbuat. Korban berhak untuk dilindungi bukan dihakimi.
Korban pelecehan mengalami trauma bahkan takut untuk mengungkapkan kasus pelecehan
Lantas, untuk setiap perempuan yang menjadi korban pelecehan, apakah ada perhatian dan perlindungan khusus untuk mereka? Perempuan yang menjadi korban justru sering mendapatkan aksi perundungan yang di mana hal tersebut bisa berpengaruh kepada gangguan mental dan psikis seseorang. Menyalahkan korban hanya akan memperparah trauma mereka dan semakin memperkuat budaya “diam” yang membuat tindakan pelecehan akan terus berulang dan menjadi hal biasa di zaman sekarang.
ADVERTISEMENT
Fokus utama dalam mengatasi pelecehan seharusnya bukan pada cara berpakaian perempuan, melainkan pada perubahan pola pikir masyarakat. Mengajarkan laki-laki untuk bisa menghormati perempuan dalam kondisi apapun, menegakkan hukum yang tegas terhadap pelaku, serta menghapus stigma terhadap korban adalah langkah nyata yang perlu dilakukan. Sebab, tidak ada pakaian yang bisa menghentikan pelecehan jika pelakunya masih berhak melakukannya.
Berikut merupakan strategi yang dapat dilakukan dalam merespons kasus pelecehan terhadap perempuan:
1. Bimbingan dan Kampanye Kesadaran Publik
Kampanye anti-pelecehan seksual melalui media sosial, seminar, dan diskusi publik untuk mengubah pola pikir bahwa pelecehan bukan disebabkan oleh pakaian korban, tetapi oleh perilaku dan pemikiran pelaku. Kampanye ini bertujuan untuk mengubah pola pikir yang masih keliru, di mana pelecehan sering kali dikaitkan dengan cara berpakaian korban, padahal akar permasalahanya terletak pada pola pikir patriarki, kontrol diri pelaku, serta budaya yang masih permisif terhadap kekerasan seksual. Selain itu, edukasi tentang kesetaraan gender, batasan pribadi (consent) dan pencegahan pelecehan seksual harus diintegrasikan kedalam kurikulum sekolah, program di kampus, serta kebijakan di lingkungan kerja. Edukasi ini tidak hanya membantu masyarakat memahami konsep dasar tentang hak dan batasan individu, tetapi juga mengajarkan bagaimana mengenali, mencegah, dan merespons pelecehan seksual dengan cara yang tepat. Dengan adanya pemahaman yang lebih baik sejak dini, masyarakat dapat lebih efektif dalam membangun lingkungan yang aman dan menghormati hak setiap individu, baik di ruang fisik maupun digital.
ADVERTISEMENT
2. Mendorong Solidaritas dan Dukungan Sosial
Dalam hal ini, istilah women support women menjadi penting dan bisa menekankan pentingnya solidaritas antar perempuan. Alih-alih saling menyalahkan, perempuan harus berdiri bersama untuk menciptakan ruang yang aman dan mendukung bagi setiap korban. Ketika perempuan saling mendukung dan berbicara tentang pengalaman mereka, ini akan mengurangi stigma dan membuka jalan bagi korban untuk merasa lebih diberdayakan untuk melawan pelecehan yang dialami. Melalui aksi yang saling mendukung ini, masyarakat secara keseluruhan akan belajar untuk lebih menghormati dan melindungi hak-hak perempuan. Tidak hanya merujuk pada setiap perempuan, tindakan ini bisa berpotensi untuk merubah pola pikir laki-laki untuk bisa menghargai perempuan yang menjadi korban.
3. Membangun Ruang Publik yang Lebih Aman
ADVERTISEMENT
Banyak korban mendapat perlakuan yang lebih keji dari kasus pelecehan yang sudah mereka rasakan sebelumnya. Menyediakan ruang aman bagi korban merupakan langkah krusial dalam mendukung pemulihan mereka pasca-pelecehan. Setiap orang yang menjadi korban pelecehan, pasti akan mengalami ketidaknyamanan dalam menjalani hidup setelah apa yang sudah dirasakan. Ruang aman ini bisa diwujudkan dengan layanan komunitas pendamping yang memainkan peran penting sebagai wadah bagi korban untuk berbagi pengalaman, mendapatkan dukungan moral, serta memperoleh informasi yang dapat membantu mereka dalam proses pemulihan. Komunitas ini bisa berupa kelompok dukungan offline maupun online yang dikelola oleh organisasi sosial, akademisi, maupun aktivis yang peduli terhadap isu pelecehan seksual.
4. Mendorong Partisipasi Laki-laki sebagai Bagian dari Solusi
ADVERTISEMENT
Tidak hanya terpaut dalam komunitas women support women, dalam hal ini partisipasi laki-laki untuk berperan aktif dalam mencegah pelecehan seksual yang lebih marak merupakan langkah penting dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan setara bagi semua orang. Salah satu cara yang bisa kita lakukan dan dekat dengan kehidupan kita sehari-hari adalah dengan menegur dan menghentikan tindakan pelecehan yang dilakukan oleh teman, rekan kerja, atau orang di sekitar mereka. Sikap diam atau membiarkan pelecehan terjadi hanya akan memperkuat normalisasi perilaku tersebut. That’s why, laki-laki harus berani untuk mengintervensi secara langsung, menyatakan keberatan, dan menolak keterlibatan dalam candaan seksis atau objektifikasi perempuan.
5. Memanfaatkan Media Sosial sebagai Alat Edukasi
Dengan menyebarkan cerita korban secara anonim atau dengan izin mereka, publik dapat lebih memahami dampak nyata dari pelecehan serta bagaimana hal itu mempengaruhi dampak nyata dari pelecehan serta bagaimana hal itu mempengaruhi kehidupan korban secara fisik, mental, dan emosional. Media sosial juga dapat digunakan untuk mengadakan diskusi interaktif, webinar, atau kampanye digital yang melibatkan pakar, aktivis, serta penyintas untuk berbagi wawasan dan strategi dalam mencegah serta menangani pelecehan seksual. Lebih dari sekadar menyebarkan informasi, media sosial juga bisa menjadi wadah bagi korban untuk mencari dukungan, menemukan komunitas yang peduli, serta mendapatkan akses ke layanan bantuan hukum dan psikologis.
ADVERTISEMENT
Referensi
Damarjati, D. (2019, July 23). Hasil Lengkap Survei KRPA soal Relasi Pelecehan Seksual dengan Pakaian. Detiknews. https://news.detik.com/berita/d-4635791/hasil-lengkap-survei-krpa-soal-relasi-pelecehan-seksual-dengan-pakaian