Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bullying Mempengaruhi Hormon Stres Seseorang?
3 Februari 2021 14:39 WIB
Tulisan dari zefanya todoan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fenomena perundungan atau yang biasa dikenal dengan bullying kian marak terjadi, perundungan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa, siswa terhadap guru, sesama teman, orang tua terhadap anak, senior pada junior, atasan terhadap bawahan, rekan kerja di lingkungan kantor.
ADVERTISEMENT
Komisi Nasional Perlindungan Anak, memberi definisi terhadap bullying sebagai kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi di mana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma, depresi, dan tidak berdaya.
Perundungan tidak mengenal usia, gender dan tingkat sosial. Siapa saja bisa menjadi korban maupun pelaku tindak perundungan. Semakin maraknya aksi perundungan menandakan bahwa masalah ini belum menjadi perhatian, belum banyak orang yang sadar akan bahayanya. Sesungguhnya perundungan adalah masalah yang sangat serius dan dapat membawa dampak yang sangat negatif bagi diri si pelaku maupun korban.
Beberapa tahun lalu saya berkesempatan untuk melakukan penelitian terkait bullying. Hal ini membawa saya bertemu dan mewawancarai Ibu Diena Haryana. Seorang Founder dari Yayasan Sejiwa (Semai Jiwa Amini). Penggiat dunia sosial dengan concern bullying. Sejiwa adalah lembaga non profit yang bergerak di bidang pendidikan dan memusatkan perhatian pada permasalahan bullying. Sejiwa adalah sebuah Yayasan yang terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk mewujudkan masyarakat yang damai dengan menciptakan dunia pendidikan yang anti kekerasan. Dari awal berdirinya, Yayasan Sejiwa secara konsisten menyuarakan pesan anti bullying kepada seluruh elemen masyarakat. Selain itu yayasan Sejiwa juga turut aktif dalam meningkatkan kualitas pendidikan yang menghasilkan anak-anak bangsa yang cerdas, bermartabat, kreatif dan ceria.
ADVERTISEMENT
Dalam wawancara saya dengan Ibu Diena, Ia menjelaskan bahwa keprihatinannya timbul ketika dia mengetahui bahwa, apabila ditinjau dari sisi psikologis bullying ini mampu mengubah karakter serta menghambat potensi seorang anak. Ibu Diena mengatakan, “Ketika seorang anak menjadi korban bullying perkembangan otak anak menjadi tidak maksimal. Ia mengatakan, "Anak yang menjadi korban bullying memiliki hormon yang tidak seimbang di dalam tubuhnya.”
Terdapat perbedaan antara anak-anak yang jarang menerima intimidasi atau bullying dengan anak-anak yang kerap kali menerima aksi bullying. Anak-anak yang jarang menerima tindak bullying, akan merasa ceria, gembira, aman dan nyaman dalam hidupnya. Ditilik melalui hubungan antara psikis dan fisik, hal ini tercipta karena pengaruh hormonal yang seimbang di dalam tubuh. Namun ketika seorang anak menjadi korban dari aksi bullying, maka akan memicu hormon tertentu di dalam tubuhnya, yaitu hormon kortisol.
ADVERTISEMENT
Pengaruh hormon kortisol yang dominan dapat membuat seorang anak sangat merasa tertekan. Karena ketika hormon kortisol, diproduksi dengan sangat kuat dalam diri seseorang, maka akan mengakibatkan hormon-hormon lain yang seharusnya berproduksi menjadi terhambat, tidak dapat berproduksi dengan maksimal. Produksi hormon kortisol yang begitu kuat, dapat menghambat hormon – hormon lain, seperti hormon endorfin. Hormon endorfin adalah hormon yang dapat mempengaruhi mood, keceriaan, kebahagiaan, kedamaian diri seseorang, hormon serotonin, melatonin, yang berperan dalam mengatur nafsu makan, membantu fungsi memori, dan membantu fungsi pencernaan, mengatur pola tidur.
Semua hormon-hormon lainnya yang diperlukan oleh tubuh seharusnya dapat berproduksi, jika semua hormon di dalam tubuh bekerja dengan seimbang maka kreativitas akan meningkat, otak dapat bernalar dengan baik, rasa senang dan bahagia dapat tercipta, interaksi dengan orang lain juga akan terbina dengan baik.
ADVERTISEMENT
Namun karena pengaruh dari bullying ini hal tersebut tidak dapat terbentuk. Oleh sebab itu, Ibu Diena sangat peduli terhadap masalah bullying ini, beliau mengatakan, “Apabila aksi bullying terus terjadi dalam jangka waktu yang panjang, maka otak seorang anak yang menjadi korban bullying ini akan terlatih untuk membentuk hormon kortisol, jika otak sudah terlatih untuk membentuk hormon kortisol, maka akan terjadi dua kemungkinan yaitu: anak menjadi sangat-sangat tidak percaya diri dan tidak berdaya, atau bahkan sebaliknya, menjadi anak yang luar biasa agresif.”
Mungkin ketika berada di dalam rumah, anak yang menjadi korban bullying menjadi pendiam atau pasif, tetapi pada saat berada diluar rumah anak tersebut akan menjadi sangat agresif. Jadi kemungkinannya, ketika seorang anak sering mendapatkan perlakuan bullying, maka ia menjadi pasif atau menjadi sangat agresif atau bisa menjadi keduanya, menjadi pasif dan agresif. Jika hanya pasif saja atau agresif saja, atau pasif agresif terdapat di dalam diri anak maka kemampuan anak di dalam berinteraksi dengan orang lain, akan sangat berkurang.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Ibu Diena juga menjelaskan bahwa sesungguhnya manusia sukses itu adalah ketika seorang manusia mampu untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain. Setiap manusia yang ingin menciptakan perubahan di dunia, tidak terlepas dukungannya dari orang lain. Jika bullying sudah menjadi sebuah budaya, maka banyak anak yang menjadi pelaku aksi bullying atau menjadi korban bullying. Kedua potensi itu luar biasa buruknya untuk negara. Oleh sebab itu, Ibu Diena merasa bahwa kita perlu melakukan sesuatu yang mengingatkan lingkungan kita untuk stop bullying.
Selain itu, selama melakukan penelitian terkait bullying Ibu Diena mendapatkan beberapa fakta yang berkaitan dengan bullying. Banyak orang tua seperti di beberapa daerah masih memegang prinsip, diujung rotan ada emas. Karena alasan untuk mendisiplinkan anak, mereka harus memukul anaknya dengan rotan. Karena perlakuan tersebut, hal ini mempengaruhi gaya bicara mereka. Kebanyakan dari mereka berbicara dengan nada keras, karena mereka selalu diteriaki dan banyak mendapatkan pukulan. Banyak anak yang menjadi keras dan stress ketika melihat orang tuanya. Oleh karena fakta tersebut, Ibu Diena merasa perlu mengingatkan kepada orang tua dan guru, bahwa sudah saatnya untuk memahami anak dengan cara–cara yang interaktif dua arah, probain. Probain adalah suatu metode untuk menyadarkan anak, dengan bertanya kepada anak atas perbuatan yang mereka lakukan, serta menjelaskan kepada anak dampak dari perbuatan mereka. Dengan cara dua arah, anak akan tersentuh untuk berubah. Mereka akan sadar, bukan sekadar karena ketakutan. Pendisiplinan dengan cara yang keras terhadap anak, tidak membuat anak menjadi patuh atau sadar, melainkan menjadikan anak pemberontak atau sangat lemah dan tidak berdaya. Hubungan harmonis dan keterbukaan antara anak dengan orang tua dan gurunya pun tidak akan pernah terbina.
ADVERTISEMENT
Fakta lainnya yang Ibu Diena hadapi ketika melakukan penelitian tentang bullying di berbagai sekolah di beberapa kota adalah banyak sekolah yang tidak menginginkan sekolahnya untuk diteliti, karena jika pada saat dilakukan penelitian di sekolahnya, kemudian ditemukan fakta bahwa ada kasus bullying di dalamnya, maka pihak sekolah akan merasa malu dan khawatir dianggap sebagai sekolah yang memiliki kualitas yang buruk. Padahal, sudah sepatutnya perundungan atau bullying yang terjadi di sekolah harus segera ditangani dan bukan ditutupi keberadaannya.