Konten dari Pengguna

Gen Z dan Masalah Mental: Kita Harus Gimana?

Zein Muchamad Masykur
Dosen UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto
16 Juli 2024 6:09 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zein Muchamad Masykur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kesehatan mental Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kesehatan mental Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Generasi Z, atau yang biasa kita sebut Gen Z, adalah mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Mereka tumbuh di era digital yang super canggih, penuh dengan perkembangan teknologi yang pesat dan perubahan sosial yang cepat. Meskipun terlihat adaptif dan tech-savvy, ternyata banyak dari mereka yang menghadapi berbagai masalah mental yang cukup serius.
ADVERTISEMENT
Mungkin perlu kita bahas lebih dalam masalah mental yang sering dihadapi oleh Gen Z, kenapa bisa terjadi, dan bagaimana kita bisa membantu diri kita sendiri dan terutama Gen Z di era yang semakin membuat pusing ini.

Stres Akademik dan Tekanan Prestasi

Gen Z sering banget dibebani dengan harapan akademik yang tinggi. Tekanan untuk dapat nilai bagus, masuk universitas top, dan membangun karier yang sukses, yang justru bisa bikin mental mereka kewalahan. Bayangin aja, dari kecil sudah dijejali dengan les ini itu, dari yang les matematika, les fisika, les biologi, les musik, belum lagi les karate, dan les-les lain yang merupakan ekspektasi dari orang tua mereka agar anak mereka menjadi lebih hebat dari Super Man.
ADVERTISEMENT
Belum lagi ditambah ujian yang nggak ada habisnya, tekanan dari orang tua dan persaingan di antara teman-teman mereka sendiri. Semua ini bisa bikin mereka kena gangguan kecemasan, depresi, dan burnout alias kelelahan mental.
Gimana enggak? Kalau kata Mbah Iwan Fals, "Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu." Jadi saran saya untuk orang tua yang ambis, tolong anak-anak janganlah terlalu dibebani dengan harapan yang terlampau tinggi. Biarkan mereka tumbuh dengan bahagia menikmati masa kecil mereka. Beri apa yang mereka butuhkan; cinta, kasih, dan perhatian, bukan tekanan.

Pengaruh Media Sosial

Media sosial itu bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, media sosial memudahkan kita buat berkomunikasi dan dapat info terbaru. Tapi di sisi lain, media sosial juga bisa jadi sumber tekanan dan kecemasan yang besar. Kecanduan media sosial, perbandingan sosial dengan teman-teman yang kelihatannya hidupnya sempurna, dan cyberbullying adalah beberapa penyebab utama yang sering dihadapi Gen Z. Akibatnya, mereka sering banget merasa nggak percaya diri, kesepian, bahkan mengalami gangguan tidur.
ADVERTISEMENT
Jika kita lihat anak-anak zaman sekarang-baca Gen Z, mereka dapat disebut sebagai digital native, alias warga asli dari dunia digital itu sendiri. Kita sekarang juga tidak bisa lagi membedakan antara mana yang nyata, dan mana yang maya. Kata Pak Leo, dosen UGM, ini disebut sebagai Manunggaling Kawula lan Mantrayana, berarti menyatunya kita dengan dunia 'yang lain'. Tentu generasi sebelum Gen Z adalah pengungsi semata, bukan warlok, warga lokal.
Tentu kehidupan di dunia maya penuh dengan simulasi dan hiper-realitas (pinjam dulu istilahnya Jean Baudrillard) yang mana membuat Gen Z mengalami kesulitan untuk membedakan mana yang asli mana yang buatan, semua tampak asli. Kemudian mereka mengukur dirinya sendiri dengan apa yang ditampakkan di media sosial dan membuatnya merasa insecure, tertinggal, dan kuno.
ADVERTISEMENT

Krisis Identitas dan Kesehatan Mental

Gen Z juga sering mengalami krisis identitas di tengah perubahan sosial yang cepat. Mereka lebih terbuka terhadap isu-isu seperti gender dan orientasi seksual, tapi ini juga bisa bikin mereka kebingungan dan stres. Eksplorasi identitas diri, penerimaan sosial, dan tekanan untuk "menjadi diri sendiri" adalah beberapa faktor yang mempengaruhi kesehatan mental mereka. Dampaknya bisa berupa depresi, gangguan kecemasan, dan kesulitan dalam hubungan sosial.
Sering kita lihat di dalam slogan-slogan yang beterbangan di media sosial seperti "Be Your Self!", atau "Its My Life", dan semacamnya. Slogan-slogan seperti itu dibarengi dengan video-video yang 'membius' alam pikir Gen Z untuk ikut meleburkan dirinya ke dalam identitas sesaat yang seringkali palsu dan menipu.
ADVERTISEMENT
Seolah-olah berkata, "Ini gue banget!" padahal itu hanya sesaat. Hal itu terjadi berulang kali setiap kali ada video yang di-scroll. Bayangkan jika ada 100 video yang dia scroll di hari itu dan Gen Z berulang kali alam pikir mereka dibius dengan yang "Ini Gue Banget!", akibatnya adalah Gen Z kemudian terjauhkan dari jati dirinya sendiri. Maksud diri ingin "mengenali diri", tapi justru hilang dalam lautan, "siapa aku?"

Tekanan Lingkungan dan Masa Depan

Gen Z sangat sadar akan isu-isu global seperti perubahan iklim dan ketidakpastian ekonomi. Kesadaran ini seringkali menimbulkan kekhawatiran dan pesimisme tentang masa depan. Berita tentang perubahan iklim yang makin parah, ketidakpastian ekonomi global, dan kurangnya lapangan kerja seringkali bikin mereka merasa cemas, depresi, dan nggak berdaya. Rasanya masa depan tuh kayak awan gelap yang nggak jelas.
ADVERTISEMENT
Padahal Gen Z, sebagai anak kemarin sore, mereka tidak ikut bertanggung jawab terhadap krisis iklim dan kerusakan lingkungan. Jelas generasi sebelum-sebelumnya yang bertanggung jawab penuh akan seluruh kerusakan lingkungan yang terjadi. Gini deh, tambang yang punya siapa? Bukan Gen Z. Yang ngerusak terumbu karang di laut gegara kapal tongkang siapa? Bukan Gen Z. yang ngerusak hutan untuk dijadiin... Apa pun itu... Bukan Gen Z. Tapi Gen Z yang disuruh hidup di bumi yang sudah dirusak ini. Generasi-generasi sebelumnya sih enak, bentar lagi udah pindah dunia, ya kan?
Nah, pemikiran-pemikiran dan kesadaran-kesadaran semacam itu didapat Gen Z dari akses informasi yang sekarang sangat amat luas, yang bahkan mereka rasakan langsung sekarang dampaknya. Gimana nggak stres? Gimana nggak khawatir? Gimana nggak pesimis?
ADVERTISEMENT

Kurangnya Dukungan Mental

Walaupun sekarang kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental makin meningkat, akses ke layanan kesehatan mental masih terbatas buat banyak Gen Z. Stigma tentang kesehatan mental, kurangnya fasilitas dan layanan, serta biaya yang tinggi adalah beberapa penyebab utamanya. Akibatnya, banyak masalah kesehatan mental yang nggak tertangani, risiko bunuh diri meningkat, dan kualitas hidup mereka menurun.
Saya agak enggan membahas bagaimana kasus bunuh diri meningkat di Indonesia. Bukan gimana-gimana, tapi ternyata sudah sebegitu mengkhawatirkannya kondisi mental Gen Z sekarang. Dulu saya pikir Indonesia masih aman dari yang gitu-gitu. Eh ternyata, beritanya langsung muncul satu-persatu.
Oleh karena itu, saya memohon dengan amat sangat, Bapak-bapak dan Ibu-ibu pemegang nasib rakyat. Tolong perhatikan masalah mental Gen Z ini.
ADVERTISEMENT

Solusi dan Rekomendasi

Pertama, kita perlu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental melalui edukasi di sekolah, kampus, dan semua tempat yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Tidak hanya pada Gen Z, tapi juga kepada orang tua. Kedua, perluas akses ke layanan kesehatan mental yang terjangkau dan berkualitas.
Ini penting karena beberapa berita terkait dengan kasus (itu tadi), seringkali tidak terdeteksi dan tidak ada gejala yang gimana-gimana. Tau-tau masuk headline. Ketiga, bentuk komunitas yang mendukung dan saling peduli untuk mengurangi rasa kesepian dan isolasi. Saya pikir, kesendirian adalah pintu masuk dari depresi. Jangan sampai teman-teman di sekitar Anda benar-benar 'sendiri'.
Pastikan mereka punya tempat di sisi teman-temannya. Keempat, ajarkan teknik-teknik manajemen stres seperti mindfulness, yoga, dan meditasi. Ini penting, setidaknya dapat mengurangi efeknya di tingkat individu. Mungkin perlu diturunkan ke dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah sehingga siswa/mahasiswa tahu cara mengelola emosi mereka.
ADVERTISEMENT
Jangan hanya dituntut untuk berprestasi, tapi penyelenggara pendidikan harus ikut bertanggung jawab terhadap tekanan yang diberikan. Terakhir, batasi waktu penggunaan media sosial dan ajarkan penggunaan yang lebih sehat. Literasi digital jangan hanya berfokus pada bagaimana masyarakat pintar menggunakan teknologi, tapi juga bijak dalam menggunakan teknologi.
Sebagai penutup, tentu permasalahan mental Gen Z adalah isu yang kompleks dan multidimensional. Meskipun mereka terlihat adaptif dan berdaya saing dalam banyak aspek kehidupan, tantangan mental yang mereka hadapi sama sekali nggak bisa diabaikan. Dengan pendekatan yang tepat, harapannya kita bisa membantu Gen Z untuk mengatasi tekanan mental mereka dan menciptakan masa depan yang lebih sehat dan happy ending.