Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Hustle Culture: Budaya Kerja Keras di Era Digital
21 Juli 2024 10:02 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Zein Muchamad Masykur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda mengalami kekurangan waktu 24 jam dalam sehari? Rasanya waktu berjalan begitu cepat, semua hal di dunia ini berpacu, sementara daftar tugas Anda bertambah dari hari ke hari. Jawabannya pasti 'ya', karena kemungkinan besar Anda mengalami masalah yang kini umum terjadi di kalangan milenial dan Generasi Z: huslte culture.
ADVERTISEMENT
Hustle culture yang disebut-sebut telah berubah menjadi semacam tren, di mana seseorang harus terus bekerja mati-matian dan bersemangat untuk mencapai kesuksesan dan berbagai tujuan dalam hidupnya. Dalam dunia yang serba digital, budaya kerja keras menjadi mantra baru bagi orang-orang yang menginginkan pencapaian jangka pendek. Namun, apakah budaya ini membantu kita untuk hidup dengan sangat baik? Atau apakah budaya ini mengikat kita dalam lingkaran kelelahan dan kejenuhan yang tak berujung?
Mari selami fenomena budaya kerja keras ini — suka dukanya, dan cara untuk menanggapi budaya ini dengan bijak.
Akar Budaya Kerja Keras dari Bawah Tanah
Konteks sosial dan ekonomi di balik budaya kerja keras inilah yang akan membantu kita memahami hal itu. Persaingan, yang menjadi sangat ketat dengan biaya hidup yang meroket dan ketidakpastian ekonomi yang mengakar di dalamnya, adalah hal yang dialami sebagian besar Generasi Milenial dan Generasi Z. Seiring berkembangnya teknologi dengan cepat, mereka harus mengikuti dan selalu memperbarui keterampilan dan pengetahuan mereka agar tetap dapat bekerja.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, situs media besar memopulerkan budaya kerja keras. Kita disuguhi foto dan kutipan motivasi dari para influencer yang menjalani kehidupan yang sibuk tetapi sukses: "Bangun dan teruslah bekerja", "Tidak ada hari libur", "Tidur adalah untuk yang lemah" – ucapan-ucapan semacam ini menjadi prinsip normatif yang harus dipatuhi seseorang agar dapat menjadi sukses.
Dan budaya kerja keras didorong oleh narasi bahwa kesuksesan hanya dapat dicapai melalui kerja keras yang ekstrem. Kisah sukses para pengusaha yang bekerja 100 jam seminggu atau CEO yang hanya tidur 4 jam sehari telah berkontribusi pada pandangan bahwa untuk menjadi sukses, seseorang harus mengorbankan waktu istirahat, hobi, dan bahkan kehidupan sosialnya.
Dampak Positif Hustle Culture
Meskipun sebagian besar waktu dikorbankan, budaya kerja keras tidak sepenuhnya buruk. Ada beberapa aspek yang dapat diambil secara positif:
ADVERTISEMENT
1. Budaya kerja keras mendorong kita untuk memanfaatkan waktu dan sumber daya yang kita miliki sepenuhnya. Hal ini dapat membentuk kita menjadi produktif dan efisien dalam mengelola pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.
2. Pengembangan etos kerja yang kuat. Semangat budaya kerja keras yang pantang menyerah dapat membantu kita mengembangkan etos kerja yang kuat. Ini adalah kualitas yang sangat dicari di dunia profesional.
3. Mendorong inovasi dan kreativitas. Tekanan untuk terus tumbuh dan mencari peluang baru dapat berfungsi sebagai katalisator menuju inovasi. Banyak perusahaan rintisan dan bisnis baru lahir dari semangat 'kerja keras' para pendirinya.
4. Meningkatkan Keterampilan dan Pengetahuan. Dalam upaya untuk tetap kompetitif, para pekerja keras cenderung bersemangat mencari pengetahuan baru dan pengembangan keterampilan. Hal ini dapat menjadi hasil yang berharga dalam jangka panjang karier mereka.
ADVERTISEMENT
Sisi Gelap Hustle Culture
Di balik semua keberhasilan dan produktivitas yang dijanjikan oleh budaya pekerja keras, ada juga sejumlah dampak negatif yang harus kita waspadai:
1. Kelelahan dan Stres Kronis: Tekanan untuk terus menjadi produktif dan terus bekerja tanpa lelah dapat menyebabkan kelelahan fisik dan mental yang berujung pada kelelahan. Stres kronis disebabkan oleh cara hidup ini dan juga terkait dengan masalah kesehatan jangka panjang.
2. Pengabaian aspek kehidupan lainnya: fokus yang berlebihan pada pekerjaan dan karier biasanya membuat aspek kehidupan lainnya terabaikan. Hubungan pribadi, hobi, dan waktu untuk diri sendiri menjadi korban dari budaya ini.
3. Produktivitas yang beracun: Budaya pekerja keras dapat dilihat sebagai budaya yang mendorong kehidupan di mana istirahat dan bersantai dipandang sebagai kelemahan. Hal ini menciptakan standar yang tidak realistis dan tidak sehat bagi banyak orang.
ADVERTISEMENT
4. Perasaan tidak pernah cukup: Selalu ada tekanan untuk berbuat lebih banyak, meraih lebih banyak, dan menjadi lebih baik. Hal ini pada akhirnya dapat mengakibatkan rasa tidak puas dan merasa tidak berharga, bahkan jika seseorang telah meraih banyak hal.
5. Memuliakan kerja berlebihan: Budaya bekerja keras mengagungkan lembur dan jam kerja yang panjang, tetapi penelitian menunjukkan hal itu sebenarnya dapat membunuh produktivitas dan kreativitas dalam jangka panjang.
Tanggapi Budaya Kerja Keras dengan Bijak
Jadi, bagaimana kita menyikapi semua kearifan budaya kerja keras dengan bijak? Berikut ini adalah beberapa cara untuk melakukannya.
1. Definisikan kesuksesan untuk diri sendiri
Definisi kesuksesan seharusnya tidak ditetapkan berdasarkan persetujuan orang lain. Definisikan apa yang benar-benar penting bagi Anda dan kejarlah.
ADVERTISEMENT
2. Latih keseimbangan kehidupan kerja
Temukan keseimbangan antara produktivitas dan kehidupan pribadi. Terus ingatkan diri Anda bahwa seseorang membutuhkan istirahat dan waktu untuk dirinya sendiri sama seperti seseorang membutuhkan produktivitas.
3. Tetapkan batasan yang jelas
Buat batasan yang jelas antara waktu kerja dan waktu pribadi. Jangan ragu untuk mengatakan "tidak" dengan sopan pada apa pun yang dapat mengganggu keseimbangan.
4. Kualitas lebih penting daripada kuantitas
Daripada waktu yang dihabiskan untuk bekerja, pertimbangkan cara untuk bekerja lebih baik, jika tidak lebih cepat. Pekerjaan yang berkualitas lebih penting daripada jam yang dihabiskan.
5. Investasikan waktu untuk perawatan diri sendiri
Jaga tubuh Anda dan luangkan waktu untuk bermeditasi atau menyendiri. Ini akan mengembalikan keseimbangan Anda.
ADVERTISEMENT
6. Lakukan hobi dan minat lain di luar pekerjaan
Temukan hal-hal di luar pekerjaan yang Anda pedulikan. Tidak hanya menyeimbangkan Anda, tetapi juga menjadi sumber kelegaan yang menyelamatkan Anda dari stres kerja.
7. Bangun sistem pendukung
Bergaullah dengan orang-orang yang akan mendukung Anda dan memahami nilai-nilai Anda. Jangan ragu untuk berbagi beban dan tekanan Anda dengan mencari dukungan dari siapa pun.
8. Latihlah kesadaran
Latihlah diri Anda untuk lebih memperhatikan kenyataan di sekitar Anda. Ini akan membantu Anda sedikit meredakan stres dan melihat kehidupan dengan tenang.
Kesimpulan
Semua aspek budaya kerja keras ini, baik yang positif maupun yang negatif, telah menyatu dalam kehidupan modern. Meskipun memiliki semangat kerja keras dan ambisi adalah hal yang positif, kita tidak boleh terjebak dalam siklus yang tidak sehat.
ADVERTISEMENT
Yang terpenting adalah menemukan keseimbangan yang tepat antara ambisi dan perasaan sejahtera secara umum. Kesuksesan mewakili sesuatu yang lebih dari sekadar karier atau pencapaian finansial; kesuksesan juga mewakili kesehatan, kebahagiaan, dan kepuasan hidup secara keseluruhan. Mari kita ambil sisi baik dari budaya kerja keras—semangat untuk terus berbenah dan bekerja keras—namun jangan lupakan pentingnya istirahat, refleksi, dan menikmati perjalanan hidup. Mengingat, bagaimanapun juga, hidup bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang bagaimana kita menjalani perjalanan tersebut.
Mengetahui lebih banyak tentang budaya kerja keras dan apa yang telah dilakukannya terhadap orang-orang di seluruh dunia akan membantu kita membuat pilihan yang lebih baik dalam hidup dan karier kita—bersikaplah produktif tetapi juga bahagia, karena kenyataan pahit kesuksesan telah mengorbankan banyak impian mereka dengan mengorbankan kesehatan dan kebahagiaan mereka.
ADVERTISEMENT