Konten dari Pengguna

Mencapai Kedamaian Jiwa dengan Islam: Antara Amal Saleh dan Kesehatan Mental

Zenitha Septi Trissiani
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia
24 Oktober 2024 13:37 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zenitha Septi Trissiani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
image by freepic.diller on Freepik
zoom-in-whitePerbesar
image by freepic.diller on Freepik
ADVERTISEMENT
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena ia telah menjadi bagian integral dari sejarah dan perkembangan peradaban manusia. Agama, dalam berbagai bentuknya, memberikan landasan moral, spiritual, dan etika yang membimbing individu serta masyarakat dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Namun, meskipun agama memegang peran penting bagi banyak orang, tidak semua individu memeluk atau mengamalkan agama. Pengingkaran atau penolakan terhadap agama mungkin terjadi karena berbagai faktor yang kompleks, yang bisa berasal dari kepribadian seseorang atau pengaruh lingkungan sosialnya. Dari segi kepribadian, ada individu yang lebih cenderung kritis terhadap dogma atau ajaran-ajaran keagamaan tertentu. Mereka mungkin merasa bahwa agama tidak memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai eksistensi atau moralitas.
ADVERTISEMENT
Pengalaman hidup yang penuh dengan penderitaan atau ketidakadilan bisa membuat seseorang meragukan kehadiran atau kebaikan entitas ilahi yang mereka rasakan tidak hadir dalam situasi sulit. Sementara itu, lingkungan sosial juga memainkan peran penting dalam membentuk sikap seseorang terhadap agama. Di sisi lain, pengaruh dari komunitas atau kelompok yang menolak agama secara kolektif juga dapat mengarahkan individu untuk menjauh dari keyakinan agama. Pandangan-pandangan yang terbentuk di dalam kelompok semacam itu seringkali membuat seseorang merasa lebih nyaman berada di luar lingkup agama, karena agama dianggap sebagai sesuatu yang membatasi kebebasan berpikir atau bertindak.
Namun, untuk sepenuhnya menutupi atau meniadakan dorongan dan rasa keagamaan dalam diri manusia tampaknya merupakan hal yang sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan manusia secara alami memiliki unsur batin yang cenderung mengarahkan mereka pada keyakinan dan ketundukan kepada Zat yang gaib atau transenden. Dalam diri manusia terdapat dorongan spiritual yang dalam banyak budaya dan tradisi diidentifikasi sebagai kebutuhan untuk berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Dorongan ini bukan hanya sekadar manifestasi eksternal dari praktik ritual, melainkan juga berasal dari keinginan internal yang mendalam untuk mencari makna, tujuan hidup, dan kedamaian batin.
ADVERTISEMENT
Faktor-faktor ini terkait erat dengan konsep ketundukan atau rasa hormat kepada kekuatan yang lebih tinggi, yang dalam banyak agama disebut sebagai Tuhan. Ketundukan ini mencerminkan bagian dari sifat manusia yang ingin mencari perlindungan, panduan, dan penghiburan di tengah ketidakpastian hidup. Dalam psikologi kepribadian, dorongan ini diidentifikasi sebagai bagian dari diri (self) atau hati nurani (conscience), yaitu komponen internal yang mendorong manusia untuk merenungkan tindakan, moralitas, dan eksistensi mereka. Hati nurani seringkali menjadi pengingat bagi individu tentang keberadaan standar moral yang lebih tinggi, yang kerap diasosiasikan dengan konsep ketuhanan atau spiritualitas.
Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT adalah bahwa manusia diciptakan dengan naluri beragama, yang dalam Islam dikenal sebagai agama tauhid, yaitu keyakinan akan keesaan Allah. Naluri ini melekat dalam setiap individu sejak lahir, sebagai bagian dari fitrah yang Allah tanamkan dalam jiwa manusia. Menurut ajaran Islam, tauhid adalah inti dari seluruh eksistensi manusia dan merupakan pedoman hidup yang mengarahkan manusia untuk mengakui dan mengabdi kepada satu Tuhan yang Esa, Allah SWT. Fitrah ini tidak hanya sekadar keyakinan intelektual, tetapi juga meliputi kecenderungan alami manusia untuk mencari makna hidup dan keterhubungan dengan Sang Pencipta. Dalam perspektif ini, agama tauhid tidak dipandang sebagai sesuatu yang asing bagi manusia, melainkan sebagai dorongan batin yang selaras dengan hati nurani dan akal sehat.
ADVERTISEMENT
Pengaruh Fitrah Tauhid Terhadap Kesehatan Mental Manusia
Jika ada manusia yang tidak beragama tauhid, maka hal tersebut sebenarnya tidak wajar jika dilihat dari sudut pandang Islam, karena manusia pada dasarnya diciptakan dengan fitrah untuk mengenal dan mengakui keesaan Allah SWT. Ketidakmampuan mereka untuk beragama tauhid umumnya disebabkan oleh pengaruh lingkungan, budaya, atau ajaran yang mereka terima sejak kecil. Lingkungan tempat seseorang tumbuh dan berkembang memainkan peran yang sangat besar dalam membentuk keyakinan dan pandangan hidupnya.
Dalam ajaran Islam, lingkungan yang tidak mendukung tauhid bisa membelokkan fitrah manusia, sehingga mereka mengadopsi keyakinan atau ajaran lain yang jauh dari kebenaran tauhid (Thohir, 2020). Rasulullah SAW pernah bersabda,
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
ADVERTISEMENT
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi,” (HR. Muslim).
Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh lingkungan, termasuk keluarga, pendidikan, dan masyarakat, dalam membentuk keyakinan seseorang. Meskipun seseorang tidak beragama tauhid karena pengaruh lingkungan, Islam meyakini bahwa fitrah tauhid tetap ada dalam dirinya dan bisa dihidupkan kembali. Inilah mengapa Islam sangat menekankan pentingnya dakwah dan upaya untuk mengajak orang kembali kepada kebenaran tauhid. Dengan menyadarkan mereka akan fitrah asalnya dan memberikan bimbingan yang benar, seseorang yang terpengaruh oleh lingkungan non-tauhid masih memiliki peluang untuk kembali kepada ajaran tauhid, yang sejalan dengan fitrah mereka sebagai makhluk ciptaan Allah SWT.
Agama Sebagai Terapi Kesehatan Mental
ADVERTISEMENT
Agama sebagai terapi kesehatan mental dalam Islam telah ditunjukkan secara jelas melalui banyak ayat-ayat Al-Quran yang menawarkan panduan spiritual dan emosional bagi manusia. Islam mengajarkan bahwa dengan beriman kepada Allah SWT dan menjalankan ajaran-ajaran agama, seseorang dapat mencapai kedamaian batin, ketenangan, dan kesejahteraan mental. Al-Qur’an juga memberikan solusi konkret bagi kesehatan mental melalui perintah-perintah untuk memperbanyak dzikir (mengingat Allah). Dalam surat Ar-Ra’d ayat 28, Allah berfirman,
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”
Dzikir dan ibadah lainnya, seperti shalat dan doa, berfungsi sebagai sarana untuk menenangkan pikiran, menyejukkan hati, dan mengembalikan fokus seseorang pada nilai-nilai spiritual yang lebih tinggi. Aktivitas ini secara psikologis dapat memberikan rasa nyaman, melepaskan stres, dan menciptakan perasaan bahwa seseorang tidak pernah benar-benar sendirian dalam menghadapi kesulitan hidup.
ADVERTISEMENT
Peran Sabar dan Shalat dalam Menjaga Kesehatan Mental
Ajaran Islam memberikan tuntunan yang sangat jelas kepada manusia dalam menghadapi cobaan dan kesulitan hidup. Dua prinsip utama yang diajarkan Islam untuk mengatasi segala bentuk ujian dan tantangan adalah sabar dan shalat. Sabar, yang secara harfiah berarti "menahan diri" atau "bertahan," adalah sikap yang dianjurkan dalam berbagai situasi sulit. Dalam Islam, sabar bukan hanya sekadar menunggu atau menerima keadaan, tetapi juga aktif berusaha dengan tetap tenang dan berserah diri kepada Allah. Sabar merupakan salah satu kunci penting dalam menghadapi ujian hidup, baik itu kesulitan ekonomi, penyakit, kehilangan, atau ketidakadilan. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 53:
وَإِذْ ءَاتَيْنَا مُوسَى ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْفُرْقَانَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
ADVERTISEMENT
“Artinya: Dan (ingatlah), ketika Kami berikan kepada Musa Al Kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah, agar kamu mendapat petunjuk.
Ayat ini menegaskan pentingnya shalat sebagai cara menghadapi segala bentuk kesulitan. Shalat, sebagai salah satu rukun Islam, tidak hanya berfungsi sebagai kewajiban ibadah formal, tetapi juga sebagai sarana penguatan jiwa dan ketenangan batin. Melalui shalat, seorang Muslim dapat merenungkan dan memohon pertolongan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Ketika manusia berhadapan dengan cobaan, shalat memberikan ruang bagi mereka untuk berserah diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta, mencari petunjuk, dan melepaskan kecemasan. Dalam Islam, shalat merupakan terapi spiritual yang kuat untuk mengatasi kesulitan, karena menghubungkan langsung manusia dengan Allah SWT, sehingga menanamkan ketenangan dan rasa aman di tengah badai kehidupan.
ADVERTISEMENT
Al-Qur'an sebagai Obat Penyakit Hati dan Penjaga Kesehatan Mental
Islam, beserta seluruh petunjuk yang terdapat dalam Al-Qur'an, merupakan obat bagi jiwa atau penyembuh segala penyakit hati yang terdapat dalam diri manusia (rohani). Al-Qur'an tidak hanya berfungsi sebagai pedoman hidup dalam aspek fisik dan sosial, tetapi juga sebagai sumber penyembuhan bagi hati dan pikiran yang dilanda berbagai gangguan emosional dan spiritual. Dalam Islam, penyakit hati seperti kebencian, iri hati, kesombongan, kecemasan, dan depresi dapat diatasi dengan mengikuti ajaran-ajaran Allah SWT yang tertuang dalam Al-Qur'an. Ayat-ayat Al-Qur'an berfungsi sebagai penenang bagi jiwa yang gelisah dan membawa cahaya serta ketenangan bagi hati yang resah.
Firman Allah SWT dalam Surat Yunus ayat 57, yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِى ٱلصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”.
Ibadah seperti dzikir, doa, dan membaca Al-Qur'an, hati manusia menjadi lebih kuat dalam menghadapi tantangan hidup. Al-Qur'an memberikan petunjuk untuk menanamkan sifat-sifat baik seperti sabar, tawakal, ikhlas, dan syukur, yang sangat penting dalam menjaga kesehatan mental dan emosional. Penyakit hati yang dapat mengganggu kesejahteraan mental manusia dapat diredakan dengan memperkuat hubungan dengan Allah SWT melalui pemahaman yang mendalam terhadap Al-Qur'an. Oleh karena itu, Islam memandang bahwa kesejahteraan jiwa dan kesehatan mental sangat bergantung pada kedekatan seseorang dengan ajaran-ajaran Al-Qur'an, yang merupakan obat rohani paling efektif untuk setiap penyakit hati.
ADVERTISEMENT
Peranan agama Islam dalam kehidupan manusia sangat signifikan dalam membantu mengobati jiwa dan mencegahnya dari gangguan kejiwaan, serta membina kondisi kesehatan mental yang stabil. Islam memberikan panduan lengkap untuk mencapai ketenangan batin, keseimbangan emosional, dan kebahagiaan melalui penghayatan dan pengamalan ajaran-ajaran yang tertuang dalam Al-Qur'an dan sunnah. Ibadah-ibadah seperti shalat, dzikir, dan doa, serta prinsip-prinsip kehidupan yang mencakup sabar, tawakal, ikhlas, dan syukur, merupakan terapi spiritual yang efektif dalam menjaga kesehatan mental dan melawan gangguan jiwa seperti kecemasan, stres, dan depresi.
Ajaran Islam tidak hanya berfokus pada kebahagiaan duniawi, tetapi juga kebahagiaan abadi di akhirat. Islam memainkan peran yang sangat penting dalam menciptakan hidup yang penuh kebahagiaan, kesejahteraan, dan kedamaian di dunia serta mempersiapkan manusia untuk kehidupan yang lebih baik di akhirat.
ADVERTISEMENT
Zenitha Septi Trissiani, Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia