Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Desa Wisata Bahari, Tidak Melulu Harus Cantik
20 April 2023 5:10 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Zainab Tahir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Satu waktu pada tahun 2017, saya bersama beberapa kawan mampir ke satu dusun pesisir terpencil yang agak kumuh. Tangkolak, nama dusun itu, terletak di Desa Sukakerta, Karawang.
ADVERTISEMENT
Ceritanya, kami sedang ditugasi kantor untuk mengecek laporan masyarakat bahwa ada ceceran koin berlogo “VOC” dan berinskripsi “Netherlands” di tepi Sungai Pasir Putih yang mengarah ke laut. Selain itu, juga dikabarkan ada botol Eropa dan jangkar kapal yang ditemukan di dasar perairan sekitar Karawang berbatasan Subang.
Tentunya masyarakat melaporkan atas dasar memenuhi kewajiban sebagai warga negara apabila menemukan benda bersejarah, meski tidak luput dari harapan untuk mendapat kompensasi dari laporan tersebut.
Nah, pada saat itu terlintas pemikiran, apakah wisata bahari bisa dikembangkan di dusun nelayan ini sebagai kompensasi?
Cerita penemuan peninggalan kolonial sesaat setelah VOC bangkrut di dasar laut yang dielaborasi dengan cerita sejarah Karawang sebagai hub dan jalur lalu-lalang kapal dari Priangan menuju Batavia pada abad 18, dapat menjadi narasi menarik bagi sebuah kampung kumuh seperti Tangkolak.
Namun, keunikan narasinya rasanya belum mampu menjadi daya ungkit untuk mendorong dusun itu menjadi tujuan wisata bahari. Benar ada potensi wisata edukatif lain seperti mangrove yang luasnya sekitar 8 ha dan menjadi hunian bangau putih, tapi di sela-sela pepohonannya penuh sampah kiriman pada musim air laut pasang.
ADVERTISEMENT
Parahnya, sampah itu telah membentuk timbunan berlapis, entah sudah berapa tahun lamanya. Selain merusak pandangan, hidung juga perlu ditutup secara reguler karena bau. Belum sampah rumah tangga dari Tangkolak sendiri yang menghiasi jalan dan gang-gang sempit di sela hunian padat.
Ada juga sungai yang biasanya diimpikan untuk disulap jadi jalur transportasi sambil duduk manis berperahu ala Desa Giethorn di Belanda, namun nyatanya adalah sungai berwarna coklat pekat bercampur sampah sana sini. Kondisi itu pun diperparah dengan perahu-perahu nelayan yang semrawut berjejer parkir di badan sungai.
Begitu pula akses jalan menuju pusat dusun yang sempit, yang kalau dua mobil berpapasan yang satunya harus melipir terlebih dahulu memberi jalan. Overall, stigma umum tempat wisata nyaris lewat. Sulit mengais sense of attachment apalagi beauty dari dusun semrawut yang berpenghuni 2.390 orang itu.
Saya tidak menampik adanya anomali dalam tren pariwisata modern di mana situasi yang tidak indah, kotor dan kumuh bisa dijadikan objek kunjungan. Jauh sebelum Ronny Poluan menginisiasi tur menyusuri area di Jakarta seperti di sekitar Ciliwung, Galur dan Luar Batang yang kemudian diminati oleh turis mancanegara.
ADVERTISEMENT
Di New York, Catherine Cocks pernah mengulas bagaimana kemiskinan di kota kosmopolitan itu menjadi destinasi pelancong tajir dari London. Dan pada awal abad ke-20, slum tourism bahkan sudah menjadi bagian dari “wisata kota”. Tapi perlu dipahami bahwa itu segmentasi dalam pariwisata yang memang tidak lepas dari target dan perspektif pengunjungnya. Dan Tangkolak bukan tempat yang tepat juga untuk membangun wisata kumuh.
Bicara wisata di pelosok desa, stigma umum masih tetap berlaku bahwa tempat wisata adalah menuju ke sana mudah, punya pemandangan yang indah, bersih tidak bau dan rumah-rumah jejer rapi dengan penghuni yang ramah-ramah.
Idealnya itu seperti Penglipuran di Bali yang diberkahi semesta dengan kemagisan alam berpadu budaya, atau Lauterbrunnen yang sering dianggap sebagai surga dunia di balik Pengunungan Alpen, atau Desa Reine, sebuah desa nelayan di Kepulauan Lofoten, Norwegia yang keindahannya sering menghiasi postcard dan membuat kita mendadak mengkhayal liburan syahdu ke sana.
Tidak ada adegan keasikan walking tour di mangrove tapi kanan dan kirinya, sampah.
ADVERTISEMENT
Walaupun demikian, ada bagian potensi yang membuat surprise di Tangkolak yaitu eksisnya tutupan terumbu karang yang kondisinya cukup sehat di perairan yang letaknya tidak jauh dari daratan dusun. Sebagai informasi, kualitas perairan jalur Pantai Utara Jawa terkenal tidak baik dengan tingkat sedimentasi tinggi. Tidak banyak harapan untuk menemukan terumbu karang yang hidup dengan baik dengan perairan yang jernih di area itu.
Tapi. Tangkolak memberi pengecualian pada bagian ini. Yaa, tentunya ditambah keunikan bahwa di dasar perairannya terkubur jejak sejarah kolonialisme yang menghabiskan posisi Karawang pada abad ke-18.
Baik terumbu karang maupun jejak sejarah pastilah dapat menjadi atraksi selam yang menarik. Tapi apakah itu bekal yang cukup menjadi pendorong satu tempat menjadi tempat wisata? Saya masih tetap ragu!
Pertama, selam bukan jenis aktivitas yang bisa dilakukan orang pada umumnya. Kedua, minat wisata pesisir di Pantura belum bergeser dari wisata komunal berobjek pantai dan ketiga, terumbu karang dan jejak sejarah di bawah laut ini bukan wajah dusun yang pertama kali tampil dan mampu membentuk kesan pertama bagi pengunjung.
ADVERTISEMENT
Sejak Jokowi menggaungkan membangun Indonesia dari pinggiran di antara sembilan poin Nawacita, banyak pihak ramai-ramai membuat program, salah satunya Desa Wisata Bahari yang gawangi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pendekatan dan syarat program ini sedikit banyak serupa dengan program wisata berbasis desa lainnya, yang membedakan adalah penekanan lokusnya yang menyasar desa dan wilayah pesisir.
Kalau soal pinggiran, Tangkolak jelas ada di pinggir. Bukan cuma karena letaknya di pinggir laut tapi juga kondisinya yang semrawut minim pembangunan dan faktor alam yang rentan dilanda pasang yang membuatnya menjadi seperti tong sampah raksasa di pesisir Pantai Utara Jawa. Namun alasan pinggiran untuk didorong menjadi tempat wisata bahari ya itu tadi, pesimis!
Namun dalam satu diskusi dengan pemerintah desa dan masyarakat terlontar beberapa kalimat sarat komitmen,
ADVERTISEMENT
“Kami bersedia membersihkan sampah yang ada di kawasan mangrove!”
“Kami bersedia memelihara ekosistem mangrove supaya tidak mati!”
“Kami siap latihan selam memakai SCUBA,” sebagai informasi nelayan di Tangkolak rata-rata peselam kompresor, yang tidak kompatibel dengan penyelaman untuk wisata.
“Kami siap menjaga peninggalan sejarah di dasar laut supaya tidak ada yang dicuri!”
Pada saat itu yang terbaca bukan lagi permintaan kompensasi tapi adanya kepentingan eksistensial sebuah komunitas. Kepentingan yang kemudian mampu melahirkan aksi untuk menanggulangi permasalahan yang sifatnya antropogenik.
Poin ini seperti mampu jadi pengungkit semangat untuk melayakkan Dusun Tangkolak itu jadi tempat wisata. Toh ada beberapa benchmark yang menyuguhkan motivasi, sebutlah Kampung Pipitan di Serang yang dulunya jorok karena menjadi tempat pembuangan sampah. Dan berbekal energi positif dari karang tarunanya, kampung itu menjelma menjadi tempat wisata tematik yang warganya semakin peduli terhadap lingkungan.
ADVERTISEMENT
Ada lagi Kelurahan Jodipan, di Kota Malang yang berada di daerah aliran Sungai Brantas yang minim fasilitas kebersihan, di mana warga terbiasa membuang sampah dan buang air besar di sungai. Yang mengubahnya adalah komitmen kelompok masyarakat yang secara kreatif membuat terobosan melalui program "Decofresh Warnai Jodipan". Contoh lainnya adalah Kampung Katulampa di Bogor, yang padat dan kusam diubah warganya menjadi sedap dipandang dan bersih.
Berbekal tekad kuat untuk berubah, pada awal tahun 2020 sebelum pandemi melanda, dusun yang telah berbenah itu menerima kunjungan wisatawan lokal hingga seribu orang. Memang tidak banyak pengunjung yang menyelam karena penasaran dengan botol kuno dan jangkar dari Eropa, karena rata-rata pengunjungnya lebih senang berjalan-jalan di sela mangrove yang telah diberi tracking atau menikmati pasir timbul di tengah laut sambil memungut remis, kerang kecil khas Tangkolak.
ADVERTISEMENT
Apakah sampah yang tertimbun sudah hilang sama sekali? Tidak, sampah masih tetap ada tapi sudah jauh berkurang.
Pemerintah Desa pun memantapkan komitmennya menjadikan Dusun Tangkolak sebagai tempat wisata, warga bahu membahu membersihkan sampah kiriman yang setiap tahun menyambangi dan tanpa kenal lelah menyulam mangrove yang mati, dan anak mudanya secara suka rela belajar menyelam untuk sekadar menjadi pemandu selam bagi pengunjung yang ingin menjajal keindahan bawah air Tangkolak.
Benarlah bahwa Dusun itu tidak lahir dengan kemagisan alam yang indah selayaknya Bali, namun ia memiliki masyarakat dengan semangat dan komitmen yang tidak bisa diremehkan. Komitmen untuk menjadikan sekeliling mereka layak untuk dinikmati dan dibagi.
Pada akhirnya saya mau bilang, cantik itu aset, tapi tidak cantik pun tetap bisa berdaya.
ADVERTISEMENT