Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Muda, Malas, atau Salah Paham? Menguak Label Sosial pada Generasi Baru
26 April 2025 11:27 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Zevanya Natasha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mulai dari dicap sebagai 'Generasi Instan' hingga dianggap lebih memilih berlangganan Netflix daripada berinvestasi untuk masa depan, generasi muda secara permanen difitnah sebagai generasi yang malas. Walau ini bukan fenomena baru, akan tetapi orang-orang terus mengeluh tentang 'anak muda zaman sekarang' seperti lagu lama yang terus diputar ulang dari dekade ke dekade.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, pertanyaan yang berulang juga tetap sama dari dekade ke dekade: apakah benar generasi Milenial dan Gen Z lebih lemah dibandingkan Boomer dan Gen X? Atau mungkin, ini hanya bagian dari pola lama yang terus terulang dalam setiap pergantian generasi?
Bukti menunjukkan bahwa keluhan tentang generasi muda ternyata bukan hal baru bahkan sudah berlangsung selama ribuan tahun. Para ahli juga percaya kalau memandang rendah mereka yang datang setelah kita mungkin memang bagian dari sifat alami manusia.
Seperti yang dijelaskan oleh Peter O'Connor, profesor manajemen dari Queensland University of Technology di Australia,
Pola ini, jika dipikir-pikir, memang terasa akrab. Setiap generasi memiliki cara berbicara, berpakaian, hingga cara berpikir yang berbeda. Perbedaan-perbedaan inilah yang sering kali menimbulkan gesekan, yang akhirnya memunculkan anggapan bahwa generasi berikutnya “tidak sebaik sebelumnya.” Namun, apakah anggapan tersebut benar adanya? Atau mungkin, kita hanya belum siap menerima bahwa dunia terus berubah dan begitu juga cara hidup generasi muda?
ADVERTISEMENT
Benar atau Salah?
Walakin, jika ada kebenaran dari keluhan orang tua, mungkin itu bukan karena generasi muda malas, tetapi lebih pada tren signifikan peningkatan kelelahan yang semakin terasa di kalangan remaja. Stres yang semakin meningkat, kelelahan fisik dan mental yang terus memburuk, tidak hanya menyebabkan perasaan kehilangan arah, tetapi juga memunculkan masalah kesehatan mental yang serius. Masalah ini, jika tidak ditangani, bisa berdampak panjang, tidak hanya bagi generasi muda saat ini, tetapi juga bagi masa depan kita semua, termasuk generasi yang akan datang.
Jadi, Apakah Kita Benar-benar Malas?
Jika kita melihat perspektif generasi yang lebih tua, mereka mungkin akan menunjuk pada fakta bahwa Gen Z adalah generasi yang paling tertekan dan cemas sebagai tanda kurangnya ketangguhan. Namun, mereka lupa bahwa ini adalah generasi yang tumbuh dewasa di tengah pandemi global, dalam periode kesepian yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan ketidakamanan ekonomi yang meluas. Tantangan yang dihadapi setiap generasi tidak bisa dibandingkan begitu saja.
ADVERTISEMENT
Proses kelelahan mental yang kita alami sebenarnya juga melibatkan terlalu banyak ekspektasi dan tuntutan, ditambah dengan sumber daya dan dukungan yang terbatas. Tuntutan ini datang baik dari dalam diri, seperti tujuan pendidikan yang tidak realistis dan perfeksionisme, maupun dari luar, seperti biaya kuliah yang terus meningkat, persaingan yang ketat, dan upah yang stagnan. Semua tuntutan ini mendorong generasi muda untuk berfokus pada hasil ekonomi yang bersifat eksternal, membuat mereka lebih banyak menghabiskan waktu bekerja dan memonetisasi apa yang mereka lakukan.
Dengan standar akademik yang tinggi, tekanan sosial, dan kurangnya sumber daya, generasi muda merasa selalu harus "on," terus bekerja dan berusaha sukses, tanpa cukup waktu untuk merasa diri mereka ada dalam dunia ini. Jadi, apakah kita malas? Mungkin bukan karena kita malas, tapi karena kita tertekan oleh sistem sosial yang menuntut terlalu banyak.
ADVERTISEMENT