Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Perang Dagang Trump: Tanda Runtuhnya Globalisasi?
27 April 2025 17:20 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Zhafirah Khatir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Perang dagang Trump menandai pergeseran tajam dari era liberalisasi perdagangan global menuju kebangkitan proteksionisme. Hal ini memicu kekhawatiran stabilitas keuangan dan fragmentasi rantai pasok global. Kebijakan tarifnya tidak hanya menghambat aliran barang dan modal, tetapi juga menyebabkan relokasi manufaktur dari China ke negara-negara seperti Vietnam, India, dan Indonesia. Meskipun Trump mengklaim mengurangi defisit perdagangan AS, data menunjukkan defisit tersebut melebar, mencapai 971,12 miliar USD pada 2022. Pasca Trump, pemerintahan Biden mempertahankan sebagian besar tarif, menandakan bahwa era proteksionisme tidak sepenuhnya surut, melainkan bergeser menjadi “de-risking” dan “globalisasi selektif”.
ADVERTISEMENT
Era Globalisasi (1990–2010)
Periode atau era globalisasi kedua, yang berlangsung dari tahun 1990 hingga 2010, ditandai dengan liberalisasi perdagangan dan deregulasi keuangan yang ekstensif. Langkah ini mendorong integrasi ekonomi antarnegara ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Proses ini berjalan beriringan dengan perkembangan pesat dalam teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi, yang semakin mengurangi hambatan bagi pergerakan barang, modal, dan ide melintasi batas negara. Berbagai negara di dunia, termasuk banyak negara berkembang, mulai membuka sektor keuangan mereka dan melonggarkan regulasi. Hal ini memungkinkan lembaga keuangan untuk beroperasi lintas batas, perusahaan untuk mengakses pendanaan internasional, dan investor untuk menanamkan modal secara global dengan lebih mudah. Selain itu, perjanjian internasional seperti GATT, WTO, NAFTA, Uni Eropa (EU), dan ASEAN Free Trade Area (AFTA) memperkuat liberalisasi perdagangan dan mempercepat pertumbuhan perdagangan internasional. Akibatnya, perekonomian berbagai negara menjadi semakin terhubung dan saling bergantung. Kemajuan teknologi, seperti internet, telepon seluler, dan transportasi modern, memfasilitasi pertukaran informasi, barang, dan jasa secara real-time, serta memperluas jangkauan pasar global bagi perusahaan dan individu. Hal ini menyebabkan peningkatan signifikan dalam ekspor-impor, investasi asing, dan pertukaran budaya antarnegara. Meskipun demikian, era ini juga memunculkan tantangan baru, termasuk peningkatan risiko volatilitas keuangan dan ketimpangan global. Oleh karena itu, pengelolaan stabilitas ekonomi menjadi isu krusial bagi banyak negara.
ADVERTISEMENT
Backlash Terhadap Globalisasi
Gelombang penolakan terhadap globalisasi muncul akibat distribusi manfaat yang tidak merata, terutama di Amerika Serikat. Studi dan data menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan AS menanggung beban tarif dalam perang dagang, yang menyebabkan pemotongan upah dan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Ketidakpuasan domestik akibat hilangnya lapangan kerja, stagnasi upah, dan tekanan pada industri dalam negeri memicu sentimen proteksionis yang kuat di kalangan masyarakat dan politisi. Sentimen ini kemudian dimobilisasi secara efektif oleh Donald Trump melalui slogan "America First", yang menekankan perlindungan industri dan pekerja AS dari persaingan global yang dianggap tidak adil. Kebijakan proteksionisme Trump, seperti penerapan tarif tinggi pada produk impor, memicu perang dagang dan memperburuk ketidakpastian ekonomi, baik di dalam negeri maupun global. Respons ini menandai perubahan signifikan dalam kebijakan ekonomi AS, dari pendukung utama globalisasi menjadi negara yang lebih berfokus pada kepentingan dalam negeri dan selektif dalam keterlibatan global.
ADVERTISEMENT
Trump Sebagai “Turning Point”
Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016 menandai perubahan signifikan dalam kebijakan perdagangan global. Trump secara terbuka menyatakan berakhirnya era perdagangan bebas tanpa syarat, yang diwujudkan melalui serangkaian kebijakan proteksionis. Langkah utama yang diambil adalah penerapan tarif impor yang agresif terhadap mitra dagang utama AS, termasuk Tiongkok, Uni Eropa, Jepang, Vietnam, dan Korea Selatan. Selama kampanye dan masa pemerintahannya, Trump menolak perjanjian perdagangan besar seperti Trans-Pacific Partnership (TPP), melakukan renegosiasi terhadap NAFTA, dan secara konsisten mengkritik serta mengancam untuk menarik diri dari berbagai kesepakatan perdagangan yang dianggap merugikan Amerika Serikat. Kebijakan tarif yang diterapkan oleh Trump, seperti tarif universal 10% untuk semua impor (kecuali Kanada dan Meksiko) dan tarif tambahan sebesar 20–50% untuk negara-negara dengan defisit perdagangan besar terhadap AS, merupakan langkah paling agresif dalam sejarah perdagangan modern Amerika. Pendekatan ini menunjukkan pergeseran dari konsensus tiga generasi di AS yang mendukung perdagangan bebas, menuju proteksionisme dan nasionalisme ekonomi. Tujuan utamanya adalah untuk "mengembalikan" sektor manufaktur dan lapangan kerja ke dalam negeri, serta mengurangi defisit perdagangan.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini tidak hanya mengubah arah ekonomi Amerika, tetapi juga memicu ketidakpastian global, perang dagang, dan kekhawatiran akan resesi serta stagflasi di tingkat internasional. Dengan demikian, terpilihnya Trump dan kebijakan perdagangannya menjadi simbol berakhirnya era globalisasi ekonomi yang terbuka, dan menandai dimulainya babak baru proteksionisme dalam hubungan perdagangan dunia.
Strategi dan Implementasi Proteksionisme ala Trump
Kebijakan perdagangan era Presiden Donald Trump mencatat serangkaian langkah kontroversial yang mengubah lanskap perdagangan global. Pada Maret 2018, Presiden Trump menerapkan tarif impor 25 % untuk baja dan 10 % untuk aluminium dari sebagian besar negara, dengan alasan bahwa pasokan logam ini krusial bagi keamanan nasional di bawah Section 232, meski beberapa sekutu seperti Kanada dan Meksiko sempat dikecualikan sementara melalui kuota atau pengecualian khusus. Kemudian, di bawah Section 301 terkait praktik dagang Tiongkok, Trump mengenakan tarif antara 10% hingga 25% pada impor barang senilai sekitar 250 miliar dolar AS. Tindakan ini memicu balasan tarif dari Tiongkok hingga 25% pada produk AS, bahkan mencapai 145% dalam beberapa kategori, sebagai respons atas sengketa keamanan dan narkotika.
ADVERTISEMENT
Pada 1 Februari 2025, Trump memperluas penerapan tarif 25% ke hampir semua impor dari Kanada dan Meksiko, dengan alasan darurat nasional untuk memerangi penyelundupan narkotika. Namun, tarif ini ditangguhkan selama 30 hari setelah kedua negara meningkatkan patroli perbatasan dan menegakkan kesepakatan bersama. Dalam upaya merombak NAFTA, Trump menegosiasikan ulang menjadi USMCA, yang mulai berlaku pada 1 Juli 2020. Perjanjian ini memperkenalkan ketentuan bahwa 40–45% konten kendaraan harus diproduksi oleh pekerja dengan upah minimal 16 dolar AS per jam, serta memperkuat standar lingkungan dan perlindungan hak pekerja. Kebijakan tarif Trump tidak hanya berfungsi sebagai alat proteksionis, tetapi juga sebagai leverage diplomatik. Administrasinya secara konsisten menggunakan ancaman tarif untuk memaksa mitra dagang memberikan konsesi politik dan ekonomi, menjadikan tarif sebagai instrumen tawar-menawar dalam negosiasi bilateral.
ADVERTISEMENT
Melihat Kebijakan Proteksionisme Trump melalui kacamata Politik Kerja sama Internasional
Kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Trump menandai perubahan signifikan dalam politik kerjasama internasional, dengan pergeseran tajam menuju unilateralisme. Langkah ini melemahkan norma kerjasama multilateral dan mekanisme penyelesaian sengketa di bawah WTO, yang mendorong negara-negara mitra untuk membentuk aliansi alternatif dan "minilateral" guna menjaga stabilitas perdagangan. Langkah Trump melemahkan WTO dan sistem perdagangan berbasis aturan, terutama dengan memblokir pengisian kursi Appellate Body, yang melumpuhkan mekanisme banding resmi. Negara-negara anggota, termasuk Tiongkok, Uni Eropa, dan Kanada, mengajukan pertanyaan ke sekretariat WTO mengenai dampak tarif AS, sambil mendorong analisis ekonomi dan potensi balasan perang tarif. WTO memperkirakan penurunan pangsa pasar yang diawasi dan kontraksi perdagangan global jika tarif diterapkan penuh. Selanjutnya, Trump menggunakan alasan keamanan nasional dan keadaan darurat untuk memberlakukan tarif, seperti Section 232 untuk logam strategis dan IEEPA untuk defisit perdagangan, yang memicu tantangan hukum dan menguji batas kewenangan eksekutif atas kebijakan perdagangan. Tarif juga digunakan sebagai alat diplomasi, dengan tekanan pada mitra utama seperti Meksiko dan Tiongkok untuk mencapai konsesi politik dan ekonomi, melalui pendekatan "tariffs as leverage" yang menempatkan beban ekonomi pada perusahaan dan konsumen mitra dagang. Implikasi jangka panjangnya mencakup peralihan ke "minilateralism," di mana negara-negara mitra memperkuat kerjasama bilateral dan blok regional kecil sebagai alternatif dari WTO. Tatanan perdagangan internasional perlu beradaptasi dengan memperkuat mekanisme hukum multilateral, menambah transparansi dalam penggunaan otoritas darurat, dan menciptakan ruang inklusif bagi negara berkembang. Tekanan tarif Trump juga mendorong negara lain, seperti India dan Uni Eropa, untuk merancang kebijakan proteksionis mereka sendiri, berpotensi memicu gerakan proteksionisme terbalik. IMF memperkirakan penurunan proyeksi pertumbuhan global akibat eskalasi ketegangan perdagangan, dengan risiko perlambatan investasi dan volatilitas pasar. Secara keseluruhan, kebijakan tarif Trump mencerminkan pergeseran geopolitik di mana negara-negara besar menekankan kedaulatan ekonomi dan leverage diplomatik, memaksa tatanan perdagangan berbasis aturan untuk bertransformasi. Oleh karena itu, kebijakan ini dapat dianggap sebagai katalisator utama dalam mempercepat “kematian globalisasi” setidaknya dalam bentuk yang lama dan mengantarkan dunia ke era baru yang lebih terfragmentasi dan kompetitif. Tantangan terbesar ke depan adalah membangun mekanisme kerjasama internasional yang lebih adaptif dan inklusif untuk menjaga stabilitas ekonomi dunia dalam lanskap global yang berubah cepat.
ADVERTISEMENT