Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Otak Cewek vs Cowok: Stereotip atau Realita?
27 November 2024 8:56 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Zhafirah Nur R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernah gak sih kamu merasa kalau perempuan sering dianggap lebih rumit dibandingkan dengan laki-laki? Misalnya, saat mengambil keputusan, perempuan cenderung memikirkan banyak aspek, sedangkan laki-laki lebih sederhana dan langsung to the point. Selain itu, perempuan juga sering disebut lebih jago multitasking dibandingkan laki-laki. Tapi, apakah benar anggapan itu, atau hanya sebuah stereotip saja? Yuk kita bahas!
ADVERTISEMENT
Multitasking vs Fokus: Siapa Lebih Unggul?
Konon katanya, perempuan lebih jago multitasking dibandingkan laki-laki. Dari memasak sambil menelpon atau menonton TV sampai bekerja sambil mengurus anak, perempuan bisa melakukan semua itu secara bersamaan dan terlihat tetap terorganisir. Sementara itu, laki-laki dianggap hanya bisa fokus kepada satu hal saja.
Tapi faktanya? Penelitian menunjukkan bahwa otak manusia –baik laki-laki maupun perempuan– sebenarnya akan lebih optimal ketika fokus pada satu tugas. Nah, hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari University of California pada tahun 2005. Mereka menemukan kalau anggapan populer soal perempuan jago multitasking dan laki-laki cuma bisa fokus itu sebenarnya hasil salah paham atau terlalu melebih-lebihkan data.
ADVERTISEMENT
Jadi, mungkin perempuan kelihatan lebih “jago” multitasking karena mereka terbiasa dengan tuntutan yang ada di rumah atau tempat kerja. Sebagai contoh, perempuan sering dihadapkan dengan pekerjaan rumah dan kewajiban lainnya yang mengharuskan mereka untuk mengatur banyak hal sekaligus.
Pengambilan Keputusan: Emosional atau Rasional
Kita sering banget dengar kalau perempuan cenderung lebih emosional daripada laki-laki yang lebih rasional. Contohnya, perempuan lebih suka “overthinking” dalam mengambil keputusan dibandingkan laki-laki yang lebih simpel dan to the point. Tapi, apa benar begitu?
Ternyata, faktanya menurut penelitian hal itu gak sepenuhnya benar. Studi dari jurnal Scientific Reports menunjukkan bahwa perubahan emosi antara laki-laki dan perempuan sebenarnya gak jauh beda. Penulis dari penelitian ini, Adriene Beltz dari Universitas Michigan juga mengatakan bahwa perubahan emosi sehari-hari lebih dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dan pengalaman hidup.
ADVERTISEMENT
Stereotip soal perempuan lebih emosional dibandingkan laki-laki sebenarnya lebih kepada pandangan lama yang cenderung mengatakan bahwa sifat feminis sebagai “lemah”. Padahal, semua manusia –baik laki-laki maupun perempuan– memiliki emosi. Dr. Catherine McKinley dari Universitas Tulane juga mengatakan kalau anggapan kayak gini cuma bikin orang jadi terbatas dalam mengekspresikan diri.
Selain itu, mengenai kecerdasan emosional perempuan lebih sering dianggap lebih bisa untuk mengekspresikan emosinya dibandingkan laki-laki yang cenderung lebih suka menyimpan emosinya. Tetapi, sebenarnya hal ini lebih dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dan bagaimana cara kita dibesarkan, gak cuma masalah jenis kelamin.
Jadi, klaim kalau perempuan lebih emosional dan laki-laki lebih rasional sebenarnya nggak sepenuhnya benar. Perempuan memang sering mempertimbangkan lebih banyak faktor, termasuk dampak sosial dan emosional. Sementara itu, laki-laki biasanya fokus pada efisiensi dan hasil akhir. Keduanya punya kelebihan, tergantung konteksnya. Penelitian justru menunjukan kalau cara kita memproses emosi dan mengambil keputusan itu hasil dari kombinasi pengalaman, budaya, dan kondisi hidup masing-masing. Nggak ada yang mutlak, kok!
ADVERTISEMENT
Biologi Memainkan Peran Tapi…
Secara ilmiah memang ada penjelasan bahwa terdapat perbedaan antara otak laki-laki dengan perempuan. Contohnya, secara ukuran laki-laki biasanya memiliki ukuran otak yang lebih besar dibandingkan perempuan. Selain itu bagian otak corpus callosum (jaringan penghubung antara belahan otak kiri dan kanan) pada perempuan cenderung lebih tebal, yang bisa membantu mereka memproses informasi lebih cepat antara dua belahan otak.
Hormon-hormon seks seperti androgen (testosteron) dan estrogen memiliki pengaruh signifikan selama masa prenatal. Pada pria, androgen mendorong perkembangan genitalia laki-laki dan dapat memengaruhi otak untuk menciptakan ciri khas maskulin dalam perilaku. Namun, perbedaan ini tidak sepenuhnya menentukan. Selain itu, otak manusia memiliki plasticity atau kemampuan untuk beradaptasi dengan pengalaman hidup. Artinya, meskipun ada perbedaan biologis, otak kita dapat berkembang sesuai dengan lingkungan dan pengalaman yang kita jalani, yang pada akhirnya memengaruhi cara kita berpikir dan berperilaku.
ADVERTISEMENT
Jadi, gak fair rasanya kalau kita hanya melihat dari sisi biologisnya saja.
Efek Stereotip pada Kehidupan Sehari-Hari
Masalahnya, stereotip seperti ini sering membuat kita terjebak ke dalam pola pikir tertentu. Misalnya, perempuan yang gak jago multitasking dianggap tidak cekatan dan laki-laki yang lebih mementingkan perasaannya dianggap lemah. Padahal, setiap orang–baik laki-laki maupun perempuan– memiliki keunikan mereka sendiri terlepas dari gender mereka.
Stereotip gender seperti ini memiliki dampak yang luas, mulai dari penurunan kepercayaan diri, hingga pembatasan dalam pendidikan dan karir. Hal ini juga bisa saja membatasi potensi individu, karena mereka merasa terpaksa harus menyesuaikan diri dengan standar yang sudah ada.
Jadi, Stereotip atau Realita?
Perbedaan cara berpikir antara laki-laki dan perempuan itu ada, tapi gak bisa dipukul rata. Banyak sebenarnya perbedaan ini adalah hasil dari pengalaman hidup, pengaruh lingkungan, dan tekanan sosial. Alih-alih kita terjebak dalam sebuah stereotip ini, kenapa kita gak coba fokus pada bagaimana perbedaan ini bisa saling melengkapi?
ADVERTISEMENT
Karena, pada akhirnya, perbedaan ada bukan untuk saling dipisahkan tetapi untuk saling melengkapi. Ketika kita bisa saling bekerja sama dan belajar dari sudut pandang yang berbeda, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan produktif, baik di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakat. Jadi, bukan soal siapa yang lebih unggul tapi soal bagaimana kita bisa menghargai satu sama lain dan bekerja sama untuk tujuan yang lebih besar!
Referensi:
Beltz, A. M., & Berenbaum, S. A. (2013). "Cognitive and Social Development in Gendered Contexts: The Influence of Prenatal Androgen Exposure." Scientific Reports.
Hines, M., & Sandberg, D. E. (1996). "Gender Development and the Human Brain." Annual Review of Psychology.
Meyer-Bahlburg, H. F. L., Dolezal, C., & Baker, S. W. (1995). "Prenatal Androgens and Gender-Related Behavior." Hormones and Behavior
ADVERTISEMENT