Konten dari Pengguna

Konstitusi vs. Investasi: Lex Posterior dalam Pusaran RUU Cipta Kerja

Zhaskia Nabil Apsari
Mahasiswi semester 2 Prodi Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
11 Mei 2025 14:25 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zhaskia Nabil Apsari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.canva.com/design/DAGnCxlpOpY/Qo09WOuLLKvBjswlqON2NA/view?utm_content=DAGnCxlpOpY&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=uniquelinks&utlId=h4a8c949ab9
zoom-in-whitePerbesar
https://www.canva.com/design/DAGnCxlpOpY/Qo09WOuLLKvBjswlqON2NA/view?utm_content=DAGnCxlpOpY&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=uniquelinks&utlId=h4a8c949ab9
ADVERTISEMENT
Menjelang akhir tahun 2020, Indonesia mencatat tonggak penting dalam sejarah perundang-undangan modern dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebagai omnibus law pertama yang diterapkan di Indonesia, regulasi ini dipromosikan oleh pemerintah sebagai jawaban atas persoalan tumpang tindih regulasi, sekaligus sebagai upaya untuk menarik investasi dan membuka lebih banyak peluang kerja.
ADVERTISEMENT
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ini merupakan langkah strategis pemerintah yang kemudian disampaikakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada awal tahun 2020, selanjutnya dibahas secara intensif melalui berbagai tahapan hingga akhirnya disetujui dan disahkan oleh parlemen pada bulan Oktober di tahun yang sama.
Proses perumusan RUU ini dilakukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama dengan pemerintah yang turut berperan aktif. Adapun elemen masyarakat yang diikutsertakan dalam pembahasan tersebut meliputi kalangan akademisi, pakar hukum, praktisi dari berbagai sektor, serta perwakilan dunia usaha.
Perumusan RUU Cipta Kerja berlangsung secara ekstensif dan intensif, bahkan melebihi jam kerja normal. Proses tersebut tetap berjalan meskipun DPR sedang reses dan negara tengah menghadapi pandemi COVID-19, sebagai bagian dari upaya percepatan menuju implementasi regulasi yang dinilai strategis ini.
ADVERTISEMENT
Rentang waktu perumusan dari RUU Cipta Kerja ini juga relatif singkat, yakni kurang dari satu tahun, mengindikasikan proses legislasi yang dipercepat. Hal ini dapat dibandingkan dengan proses legislasi RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP), RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), maupun RUU Masyarakat Adat yang cenderung memakan waktu lebih lama. Sejak tahap perumusan hingga pengesahannya pada tanggal 5 Oktober 2020, beleid ini secara konsisten memicu polemik dan kritik dari berbagai kelompok masyarakat sipil, terutama dari kalangan pekerja/buruh, aktivis lingkungan hidup, juga bahkan dari organisasi yang bergerak di bidang hak asasi manusia.
Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) dalam pernyataan yang disampaikan melalui konferensi pers daring di Jakarta pada Oktober 2020, Bapak Ilamsyah secara tegas menyatakan penolakan organisasinya terhadap sejumlah pasal ketenagakerjaan yang termaktub dalam RUU Cipta Kerja. Menurut pandangannya, implementasi RUU ini berpotensi signifikan meningkatkan angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal dan memperburuk tingkat kesejahteraan masyarakat pekerja.
ADVERTISEMENT
Meskipun pemerintah berargumentasi bahwa RUU Cipta Kerja memiliki potensi untuk memacu adanya peningkatan investasi, yang diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru, seraya menjamin adanya perlindungan dan kemudahan bagi UMKM dan Koperasi, di samping dari meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak pekerja saja. Seperti yang disampaikan oleh Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers di Jakarta pada bulan Oktober 2020, bahwa UU ini akan menarik lebih banyak investasi, yang pada akhirnya akan menciptakan lapangan kerja baru, sambil tetap melindungi UMKM dan koperasi, serta meningkatkan perlindungan bagi pekerja.
Koordinator Departemen Pendidikan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Bapak Novri Auliansyah, menyampaikan kekecewaannya terhadap sikap pemerintah yang dinilai kurang transparan dalam proses penyusunan RUU Cipta Kerja dan kurang melibatkan partisipasi aktif dari kelompok masyarakat yang berpotensi terdampak langsung, seperti buruh, petani, nelayan, dan masyarakat hukum adat. Kendati demikian, berdasarkan pernyataan resmi pemerintah, percepatan pembahasan RUU Cipta Kerja dianggap memiliki urgensi yang kuat, terutama sebagai upaya untuk melakukan penyederhanaan, sinkronisasi, dan pemangkasan regulasi yang dinilai hiper-regulasi dan menghambat pencapaian tujuan penciptaan lapangan kerja.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Bapak Novri Auliansyah mengemukakan kekhawatirannya bahwa “RUU ini berpotensi menarik investor yang tidak memiliki komitmen terhadap praktik bisnis yang bertanggung jawab, yang dapat berujung pada eksploitasi sumber daya alam (SDA), melegalkan praktik upah rendah, sementara sanksi bagi pengusaha yang melakukan pelanggaran cenderung bersifat administratif.”
Pascatuntasnya penyusunan RUU Cipta Kerja oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat, serta dengan disahkannya RUU tersebut dalam rapat paripurna DPR pada 5 Oktober 2020, sejumlah organisasi masyarakat sipil menyelenggarakan aksi unjuk rasa secara nasional pada tanggal 6 hingga 8 Oktober 2020 sebagai bentuk protes. Setelah UU Nomor 11 Tahun 2020 resmi diberlakukan, sejumlah elemen masyarakat sipil mengajukan permohonan uji konstitusional ke Mahkamah Konstitusi (MK), mencakup baik aspek formal maupun materiil.
ADVERTISEMENT
Menurut argumentasi para Pemohon, subjektivitas Presiden dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) harus didasarkan oleh keadaan faktual yang objektif dan memenuhi parameter kegentingan yang memaksa. Dalam penilaian tolak ukur berdasarkan tiga tolak ukur yang lazim digunakan, keberlakuan Perppu ini tidak sejalan dengan ketentuan yang disyaratkan karena hingga saat ini Pemerintah masih mengandalkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (UU Cipta Kerja) untuk menangani kebutuhan hukum yang mendesak dalam ruang lingkupnya, sehingga tidak terjadi kekosongan regulasi hukum yang signifikan.
Lebih lanjut, Viktor Santoso Tandjung, salah satu kuasa hukum Pemohon, menyampaikan bahwa permohonan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11/2020 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat. Ketidaksesuaian ini disebabkan oleh ketidaktersediaan naskah akademik dan rancangan undang-undang yang mudah diakses oleh masyarakat, mekanisme pembentukan undang-undang yang tidak menggunakan pendekatan yang terukur dan transparan, serta adanya perubahan substansi materi pasca-persetujuan bersama antara DPR dan Presiden yang dinilai tidak selaras dengan prinsip dasar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, sehingga undang-undang tersebut dianggap cacat formil.
ADVERTISEMENT
Dalam putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pleno terbuka di Gedung MK Jakarta pada tanggal 25 November 2021, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan tersebut. “Menyatakan pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan. Menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini,” demikian ucap Bapak Anwar Usman bersama delapan hakim konstitusi lain yang mendampinginya dalam sidang tersebut.
Dalam putusan yang berjumlah 448 halaman tersebut, Mahkamah Konstitusi juga memerintahkan kepada pihak legislasi penyusun undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan yang signifikan, maka Undang-Undang Cipta Kerja akan dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
ADVERTISEMENT
Anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat, Ibu Christina Aryani, menyatakan bahwa DPR RI sangat terbuka untuk melakukan perbaikan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi. "Kami akan segera menindaklanjuti perbaikan ini agar selesai sebelum tenggat waktu dua tahun. Putusan MK jelas menyebutkan konsekuensi jika perbaikan tidak dilakukan," ujarnya. Tindak lanjut perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai mendesak agar dapat diselesaikan sebelum batas waktu dua tahun yang ditetapkan oleh MK. Hal ini dikarenakan salah satu amar putusan MK menyatakan bahwa UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional) apabila tidak dilakukan tindaklanjut perubahan dalam kurun waktu tersebut.
Ibu Christina juga mengemukakan bahwa pendekatan omnibus law memiliki potensi sebagai solusi alternatif dalam menjawab problematika tumpang tindih regulasi di Indonesia, dengan menawarkan mekanisme penyederhanaan hukum yang cepat, efektif, dan efisien, serta dapat dijadikan sebagai instrumen strategis untuk restrukturisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang telah ada.
ADVERTISEMENT
Langkah cepat dari pemerintah dan DPR dalam merespons putusan MK tentu menjadi perhatian masyarakat. Salah satu aspek penting yang ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah bahwa "dalam masa 2 tahun perbaikan maka pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dikembalikan status keberlakuannya". Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum jika perbaikan tidak segera dilakukan.
Namun, aspek yang paling fundamental adalah perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja perlu secara komprehensif mewakilkan kebutuhan dan tuntutan publik, sebagaimana yang selama ini disuarakan oleh kalangan buruh, mahasiswa, dan masyarakat luas. Kasus ini secara jelas mengilustrasikan bahwa konstitusi menempati posisi tertinggi dalam hierarki norma hukum dan wajib dijadikan acuan utama dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat mencerminkan bahwa segala bentuk kebijakan seperti investasi pun harus disusun dan dijalankan dengan tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip konstitusional serta tunduk pada sistem hukum nasional yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Dalam mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah upaya untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum. Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori menjadi prinsip hukum yang sangat penting, yang memungkinkan diberlakukannya peraturan atau regulasi baru dengan menggantikan ketentuan lama yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum atau keadaan yang baru. Namun, meskipun perubahan peraturan tersebut diizinkan, tetap harus dilakukan dengan memperhatikan batasan-batasan konstitusional yang berlaku, yaitu asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, yang mengharuskan bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, khususnya konstitusi negara
Dewan Perwakilan Rakyat kemudian melakukan perumusan dan mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 yang dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 21 Maret 2023. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap putusan MK, meskipun bentuk responsnya adalah penerbitan undang-undang baru, bukan perbaikan terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, alih-alih melakukan perbaikan substansial terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 sesuai dengan arahan Mahkamah Konstitusi, pihak legislasi penyusun undang-undang memilih untuk menerbitkan undang-undang baru yang secara substansial menggantikan undang-undang sebelumnya. Strategi ini menimbulkan pertanyaan mengenai kepatuhan terhadap semangat putusan MK yang menghendaki adanya perbaikan prosedural dalam pembentukan UU Cipta Kerja.
Pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 membawa implikasi yuridis yang signifikan. Berdasarkan prinsip hukum lex posterior derogat legi priori, undang-undang yang lebih baru ini secara tegas mengesampingkan atau menggantikan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020. Dengan kata lain, meskipun Mahkamah Konstitusi sebelumnya menyatakan adanya permasalahan formil yang mendasar dalam pembentukan undang-undang yang lama, kerangka regulasi yang berlaku saat ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Namun dengan disahkannya UU Nomor 6 Tahun 2023, asas lex posterior kembali menegaskan arah regulasi yang berlaku. Pelaku usaha, pemerintah, dan masyarakat secara umum harus merujuk pada ketentuan-ketentuan dalam UU yang terbaru sebagai landasan hukum dalam bertindak dan mengambil keputusan. Kebijakan-kebijakan yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2023, yang mungkin berbeda dengan UU sebelumnya, mendapatkan legitimasi hukum berdasarkan asas lex posterior. Instansi pemerintah memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan regulasi yang terbaru, dan masyarakat diharapkan untuk mematuhinya.
ADVERTISEMENT
Namun, penting untuk dicatat bahwa meskipun asas lex posterior memiliki kekuatan hukum yang signifikan, penerapannya harus tetap sesuai dengan prinsip hukum yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengannya, terutama konstitusi (lex superior derogat legi inferiori). Jika terdapat pihak yang beranggapan bahwa ketentuan dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mereka tetap memiliki hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian terhadap konstitusionalitas suatu undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi. Hal ini menggambarkan penerapan mekanisme checks and balances dalam sistem hukum Indonesia yang memastikan adanya pengawasan dan keseimbangan antar lembaga negara
Dengan demikian, asas lex posterior berfungsi sebagai mekanisme hukum yang sangat penting dalam memastikan bahwa perubahan regulasi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 ke Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 memiliki dasar hukum yang sah dan dapat diimplementasikan dengan efektif. Meskipun demikian, penerbitan undang-undang baru sebagai langkah pengganti perbaikan terhadap ketentuan yang ada telah menimbulkan perdebatan di kalangan ahli hukum mengenai sejauh mana langkah tersebut sesuai dengan substansi dan implementasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK), khususnya dalam hal kepatuhan terhadap prinsip-prinsip konstitusional yang telah diputuskan.
ADVERTISEMENT